- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Populisme; Madu Atau Racun Bagi Demokrasi? (Burhanuddin Muhtadi)
TS
EconomicHitman
Populisme; Madu Atau Racun Bagi Demokrasi? (Burhanuddin Muhtadi)
Spoiler for Populisme:
INDONESIA2014 - Bagi kalangan ilmuwan sosial, istilah populisme seringkali dipertukarkan antara sebentuk ideologi dan gerakan. Hampir semua literatur tentang populisme selalu diawali dengan pengakuan akan sulitnya mendefinisikan istilah populisme.
Francisco Panizza (2005: 1) memulai bukunya dengan disclaimer: “Hampir-hampir menjadi kebiasaan bahwa tulisan mengenai populisme dimulai dengan kegalauan tentang ketiadaan definisi jelas mengenai konsep tersebut serta keraguan tentang manfaatnya bagi analisis politik”
Isaiah Berlin berkata: “ Memang ada sebuah sepatu berbentuk populisme, namun tak ada satupun kaki yang cocok mengenakannya.” (Karstev, 2008: 43).
Paul Taggart menganalogikan populisme seperti bunglon yang bisa berubah-ubah warna kulit menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Karena itu, bisa dipahami, jika sebagian sarjana politik lebih suka membatasi definisi populisme dengan menunjukkan lokasi geografis dan periode waktu.
Sementara itu, dalam kamus sosiologi, populisme diartikan sebagai “suatu bentuk khas retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat, memandang kelompok elit yang dominan sebagai korup, dan bahwa sasaran-sasaran politik akan dicapai paling baik melalui cara hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat, tanpa perantaraan lembaga-lembaga politik yang ada”(Abercrombie et. al., 1998).
Dalam tradisi politik di Barat, populisme mulai dikenal dalam literatur sejak 1930-an di Amerika Latin. Pasca Perang Dunia II, muncul gerakan populis baru yang memuncak seiring dengan munculnya Juan Domingo Peron (1895-1974), bersama istri pertamanya Eva Duarte atau Evita de Peron (1919-1952) dan istri keduanya, Maria Estela Martinez atau Isabel Peron (1931- ).
Sebuah Konsep yang Diperebutkan
Para sarjana politik memang gagal mencari konsensus apa yang dimaksud populisme, tapi mereka sampai pada kesepakatan bahwa populisme adalah sebuah konsep yang dipertarungkan (contested concept). Bahkan karya Ionescu dan Gellner (1969), yang disebut Taggart (2000) sebagai “the definite collection on populism”, pun dianggap gagal memaknai apa yang dimaksud dengan konsep populisme.
Margaret Canovan (1981) membagi populisme dalam tiga bentuk: Pertama, populisme “wong cilik.” Populisme jenis ini berorientasi kepada petani, borjuis kecil, kooperasi antarpengusaha kecil dan selalu memasang prasangka dan kecurigaan terhadap usaha besar dan pemerintah. Populisme ini percaya bahwa ada skenario besar pengusaha dan penguasa untuk menindas “wong cilik.” Konon tipe populisme ini tak begitu antusias dengan ide-ide kemajuan (progress) entah itu urbanisasi, industrialisasi dan kapitalisme karena dinilai berdampak pada kemerosotan moral. Populisme “wong cilik” suka menoleh ke masa lampau dan menangisi masa kini.
Dalam konteks politik, populisme ’wong cilik’ cenderung anti-politisi dan intelektual menara gading dan merindukan orang-orang kuat yang memiliki ideologi populis. Beberapa contonya adalah Partai Populis Amerika di tahun 1890-an, partai-partai petani di Eropa dan Partai Kredit Sosial Kanada pada awal abad 20 (Mahasin, 1994).
Kedua, populisme otoriter yang mengharapkan lahirnya para pemimpin kharismatik yang melampaui politisi medioker. Max Weber membedakan antara kepemimpinan kharismatis dan kepemimpinan demokratis. Meskipun Juan Peron terpilih secara “demokratis” sebagai presiden, ia menang bukan melalui proses rasionalitas politik, tapi atas dasar ikatan irasionalitas peronitas yang mengidolakan pemimpin yang kuat, yang kharismatis. Populisme kemudian melahirkan kultus sehingga seorang Peron yang populis bisa memerintah melalui cara-cara yang tidak demokratis. Ketika sebagai presiden, Peron menunjuk istrinya sebagai wakil presiden, ia seolah berkata: l’etat ce est moi, akulah negara. Populisme pada tingkat ekstrem bisa melahirkan kelompok fasis seperti Hitler atau de Gaule.
Ketiga, populisme revolusioner yang merupakan idealisasi kolektif atas penolakan terhadap elitisme dan ide-ide tentang kemajuan. Pranata politik dan desain institusi politik dinilai tak lebih dari pengejawantahan dari dominasi elit atas rakyat, dan karenanya harus dibongkar dan ditundukkan melalui perebutan kekuasaan oleh rakyat dan sokongan penuh kepada pemimpin revolusioner yang mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elit.
Kategorisasi Canovan memang relatif sedikit membantu, meski tidak bisa meringkus kompleksitas pemahaman tentang populisme dalam satu pengertian tunggal dan baku. Canovan tak mampu menyakinkan apakah populisme masuk kategori Kiri ataukah Kanan? Canovan juga dianggap sangat ambisius sehingga karyanya terlalu lebar dalam memotret apa yang sebenarnya dimaksud dengan populisme. Alih-alih ingin mendefinisikan secara ketat konsep populisme, Canovan justru malah mengaburkannya dengan kategorisasi yang luas.
Adapun Berlin dkk (1968) menyebut populisme dengan menyodorkan enam ciri-ciri populisme, termasuk pentingnya “rakyat” dan penolakan terhadap politik (baca: ide kembali kepada kondisi natural masyarakat sebelum datangnya sistem politik apapun).
Meny dan Surel (2002) lebih maju selangkah dengan mengetengahkan aspek-aspek esensial tentang populisme, yaitu: (1) Rakyat adalah segalanya, perasaan sebagai komunitas kolektif lebih ditekankan, segregasi sosial-horizontal dan pembelahan ideologi Kanan-Kiri kurang ditonjolkan, tapi justru menekankan pada “konflik” vertikal untuk membedakan rakyat versus elit; (2) Kaum populis lebih menitikberatkan aspek pengkhianatan elit terhadap rakyat melalui modus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan lain-lain; dan (3) Tuntutan kaum populis agar primacy of the people direstorasi melalui penempatan pemimpin kharismatik yang menyuarakan hati nurani rakyat.
Sebagian sarjana melihat populisme dalam kacamata positif. Ia diibaratkan seperti “gejala sakit kepala” untuk mengingatkan elit politik atas kelemahan demokrasi keterwakilan. Dalam konteks ini, Taggart (2000) menilai populisme sebagai “indikator kesehatan” sistem demokrasi representatif atas kemungkinan tidak berfungsinya salah satu atau beberapa organ sistem politik. Populisme adalah “cermin demokrasi,” untuk meminjam istilah Panizza (2005) agar elit tidak lupa menyerap sebesar-besar kepentingan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan.
Meski demikian, banyak ilmuwan politik yang melihat sebaliknya. Meny dan Surel (2002) secara sinis menyebut populisme sebagai patologi atau korupsi demokrasi karena kaum populis cenderung memanfaatkan demi kepentingan politik elektoral, propaganda dan kharisma personal untuk menarik konstituen ketimbang tampil sebagai edukator. Sistem demokrasi, kata Pasquino, tidak memiliki penghalang otomatis melawan populisme. Kaum populis terlalu menggantungkan pada itikad baik para pemimpin. Mereka lupa bahwa itikad baik saja tidak cukup jika tidak dibentengi sistem yang mampu mencegah lahirnya diktator-diktator baru dengan mengatasnamakan populisme.
Farid Zakaria bahkan melabeli populisme sebagai sebentuk illiberal democracy. Mudde, sebagaimana dikutip Bryder (2009), malah menyebut bentuk ekstrem populisme yang menolak limitasi atas nama ekspresi dan kehendak mayoritas, baik dalam bentuk penolakan hak-hak minoritas maupun prinsip independensi lembaga-lembaga kunci.
Faktor lain yang menyebabkan populisme dianggap sebagai patologi demokrasi adalah bahwa populisme pada dasarnya bersifat ekslusif. Retorika kaum populis seringkali bersifat intoleran, rasis dan xenopobia untuk melegitimasi tudingan mereka terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan agenda politik mereka. Di Eropa, misalnya, partai-partai populis rajin menebarkan kebencian kepada para imigran muslim, single mother dan the other. Mereka juga menolak multikulturalisme karena dianggap merugikan kepentingan mayoritas. Kaum populis pada dasarnya anti-pluralisme dan mengusung panji-panji tirani mayoritas.
Dalam konteks Indonesia, populisme mendorong ke arah perdebatan yang tidak produktif dan tendensius. Dalam isu pro-kontra kenaikan BBM misalnya, politisi terseret dalam politik nir-gagasan sehingga membuat isu substantif dan mencerdaskan tentang perlu tidaknya mengurangi subsidi BBM menjadi hilang ditelan manuver politik yang penuh intrik, sarat stigmatisasi, hipokrisi, dan insinuasi. Politisi di DPR sibuk melakukan akrobat politik tanpa didukung argumen rasional dan berisi. Setiap pihak terlihat selektif dalam memilah data yang hanya mendukung predisposisi yang sudah tertanam di kepala mereka. Argumen ekonom yang mendukung pengurangan subsidi BBM karena tak tepat sasaran, tidak produktif, dan tidak ramah lingkungan langsung dituding pro-asing, anti-kerakyatan, dan sarat agenda neolib.Sebaliknya, kubu kontra pengurangan subsidi langsung dianggap sedang menjalankan agenda politik pencitraan untuk merebut simpati pemilih.
Karena ketakutan melawan arus opini publik, pemerintah gagal mengirimkan sinyal yang jelas untuk menjamin kebinekaan dan kemajemukan. Politisi kita malah terkesan bersikap sesuai arah mata angin. Mereka enggan bersikap tegas karena takut kehilangan popularitas. Jika demikian, populisme bukan lagi menjadi madunya demokrasi. Di tangan para pemimpin dan politisi yang tidak berani melawan arus, populisme berubah menjadi “racun” yang akan membunuh demokrasi secara perlahan, tapi pasti.
Menjelang 2014, masyarakat perlu sadar dengan hal-hal seperti yg ditulis sama si burhanudin ini. semua berlomba untuk menjadi populis tanpa berpikir apa yg akan terjadi untuk bangsa negara ini kedepan. lebih lengkapnya. klik sumber, ada 3 halaman soalnya.
SUMBER
Diubah oleh EconomicHitman 11-03-2013 23:21
0
2.1K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan