Seperti jurnal. Seperti apa adanya yang terjadi. Namun, tak pernah bisa dibilang
true story.
Nama saya Blaine. Umur saya 24 tahun dan suka bercerita.
Ada banyak hal yang terjadi dalam hidup saya, dan hanya akan jadi kenangan saat itu semua tak dibagi atau dihikmati.
Melalui
Pria Punya Romansaini saya ingin berbagi cerita bahwa drama bukan hanya milik wanita, dan karma bukan hanya untuk para pria. Diluar sana banya pula pria yang harus mengalami drama percintaan berdarah-darah dan penuh pesakitan tanpa harus menangis tersedu-sedu seperti para wanita. Bedanya, hanya saja para pria tak pernah mengutuki wanita yang menyakitinya untuk mendapat karma atas apa yang sudah ia lakukan.
Terdengar terlalu sinis?
Iya. Saya adalah manusia paling sinis nomor dua setelah Arka--tokoh dalam Pria Punya Romansa--yang akan menemani hari-hari Anda ke depannya. Selamat menikmati. Lucuti apa yang Anda baca dan biarkan dia melucuti balik siapa diri Anda sebenarnya. Seberapa drama kah, Anda? Seberapa berkarma kah hidup Anda?
Sekian.
Quote:
#1
KETEMU RUANG!
Umurku nyaris seperempat abad sebentar lagi.
Bulu sudah dimana-mana. Suaraku juga tak mungil lagi saat tertawa. Tak percaya rasanya kini aku telah menjadi dewasa seperti yang aku nantikan dahulu. Menjadi dewasa ternyata sangat membosankan dan penuh perhitungan. Hidupku tak lagi sesimpel hidup yang seharusnya. Namaku Arka. Senang rasanya menemukan ruang ini. Aku seperti menemukan sofa kosong yang selama ini kucari untuk menikmati waktu kosong berjelaga. Berjelaga tentang apa saja, termasuk tentang hidup yang tak lagi sesimpel hidup yang seharusnya.
Akhir-akhir ini aku sedang merasa kalah telak dari segala sesuatu yang ada di dalam hidupku. Pertemanan yang saling meninggalkan, mimpi yang tergadaikan, dan kasmaran yang tak lagi sesimpel dahulu. Persis seperti hidup yang tak lagi sesimpel hidup yang seharusnya.
Tiada yang tersembunyi dari apa yang seringkali aku ingkari dari banyak orang. Langit akan tetap biru, meski mereka tahu siapa aku sebenarnya. Jalanan Jakarta akan tetap padat merayap seperti semut di tembok warteg tempat nongkrongku bersama teman semasa SMA. Tak ada yang berubah kalaupun mereka paham sisi gelapku. Lantas, untuk apa aku bercerita pada mereka yang tak mau mendengarkan? Lebih baik aku disini. Menikmati intimnya setiap sentuhan jari pada tuts keyboard yang rela aku tekan berkali-kali. Dari satu fiksi ke fiksi lain. Dari satu jurnal ke jurnal lain. Dari satu topik ke topik lain yang sebenarnya hanya membahas tentang itu-itu saja. Tentang hidup yang tak lagi sesimpel hidup yang seharusnya.
Aku senang menemukan ruang ini. Rasanya aku akan nyaman berlama-lama dan menumpahkan rasa di sini. Selamat berkawan, Ruang!

Quote:
#2
Ruang Kosong
Berawal dari sebuah obrolan santai di kedai kopi yang tak jauh dari rumahku. Jaraknya hanya 10 menit berjalan kaki. Saat mendengarkan iPod, hanya tiga sampai empat lagu yang sempat terdengar ditelinga hingga aku sampai di kedai kopi. Umur kedai ini lebih tua dari umurku. Bahkan, Bunda bilang, kalau lebih tua pula dari hubungan yang terjalin antara ia dengan Ayah. Betapa seumur hidupku tak ada apa-apanya dibanding kesetiaan kedai kopi ini melayani para pengunjung setianya.
Aku sendiri hampir sehari sekali berkunjung ke kedai kopi yang tak pernah pelit menaburkan keju parut di atas roti panggang favoritku. Beberapa pegawainya sudah seperti keluarga bagiku, saking akrabnya. Sejauh ini aku single. Tak ada maksud atau modus dalam ucapku barusan. Hanya saja ingin mengeja kata yang beberapa bulan ini melabeli diriku.
Ditinggal seseorang yang sudah kusayang selama dua tahun bukanlah hal mudah. Ada ruang yang mendadak kosong dan sedikit demi sedikit dipenuhi oleh perasaan-perasaan aneh bin ajaib. Kalau saja kondisi ini bisa kuprediksi dua tahun lalu, tak rela rasanya pernah memulai berbagi waktu. Lebih baik selalu kosong dan tenang, dibanding pernah meriah, gempita, dan kosong tiba-tiba. Alasan ia meninggalkanku cukup klise. Se-klise kasih sayangnya yang tak pernah terbalas impas olehku, protesnya. Benarkah kasih sayang harus terbalas impas? Sesamarupa itukah cinta dan transaksi? Harus impas dan setimpal? Cintaku gagal diuji, sepertinya.
Namun, mengenang dan menyebut namanya selalu saja menjadi waktu-waktu terbaik dalam hidupku hingga saat ini. Ia benci mal, serupa aku mencintai nonton ombak di pantai. Ia benci pesta, serupa aku mencintai kedai kopi redup dengan notes berkertas kuning yang kutulisi cerita. Namun, rindu tetaplah rindu. Sekuat apapun kulunasi, tak sedikitpun dapat terganti. Untuk itulah rindu ada, agar bisa dinikmati ketiadaannya.
Aku harus beranjak mencari apapun yang bisa mengisi ruang kosong ini. Apapun, bukan hanya siapapun. Sekalipun harus kudaki gunung yang selalu menyambutku dengan matahari siaga di puncaknya. Sekalipun harus kubelah semak hutan Borneo yang menyambutku dengan bisingnya ketenangan alam. Sekalipun harus ia lagi yang mengisinya.
Sudahlah...
"Apa yang bisa kamu nikmati dari duduk sendiri di tengah orang-orang yang sibuk berbagi dengan orang-orang terdekatnya?"
Aku menoleh pada suara yang menghembuskan unsur sinis ke telingaku.
"Tidakkah kamu merindukanku, Sob?"
Tak bicara. Hanya ada diam dan aduan tinju yang sudah lama sekali tak kulakukan dengan pemilik suara tersebut.
"Maldives dan mataharinya cukup kejam pada kulitku. Kini, kamu terlihat lebih cerah dariku," tutur Pati sambil duduk disampingku.
"Kapan kamu tiba di Jakarta?"
Pati hanya melirik koper yang ia parkir di balik punggungnya dan tersenyum padaku. "Aku tahu dimana harus menemukan teman terbaikku dan menghabiskan waktu untuk meregang otot-otot kaku akibat penerbangan. Malam ini kita ajojing, ya!"
Tawaran baik. Bahkan sangat baik untukku...