- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mencari Dan Memilih Pemimpin Dari Kacamata Islam


TS
mochadilukito
Mencari Dan Memilih Pemimpin Dari Kacamata Islam
Sekedar berbagi informasi untuk semuanya 

langsung sajah di simak gan
Bismillah,
Salah satu hal yg tidak bisa lepas dari kehidupan kita sebagai muslim adalah memilih pemimpin. Yang dimaksud dengan pemimpin di sini terutama yg terkait dengan pemimpin di ranah publik, seperti walikota, gubernur, ataupun presiden.
Islam sendiri sudah memberikan petunjuk yg jelas mengenai bagaimana mencari dan memilih pemimpin, baik melalui ayat2 di Al Qur’an maupun hadits2 dari Rasululloh SAW.
Pertama, beragama Islam.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran(3):28)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (An Nisa(4):144)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al Maidah(5):51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah(5):57)
Kedua, laki-laki.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An Nisa(4):34)
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpinnya.” (HR. Bukhari)
Ketiga, dewasa (baligh). Baligh di sini terutama mampu berpikir dengan baik, serta sudah bisa membedakan hal2 yg benar dan salah.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An Nisa(4):5)
Keempat, adil. Pengertian adil di sini adalah adil secara umum, tidak berat sebelah memihak salah satu golongan, terutama kelompok yg berkaitan dengan dirinya atau menguntungkan dirinya.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad(38):26)
Kelima, amanah dan berlaku profesional serta mempunyai ilmu/pengetahuan di bidangnya. Dengan berlaku amanah dan mempunyai pengetahuan di bidangnya, maka seorang pemimpin akan dipercaya dan bisa dengan mudah memecahkan persoalan2 yg timbul.
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf(12):55)
Kita juga sering mendengar hadits Rasululloh SAW sebagai berikut
“Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Keenam, sehat fisik dan mental, karena seorang pemimpin seringkali dituntut bekerja keras tidak mengenal waktu serta banyak mendapat tantangan dan serangan dari lawan2 politiknya.
“Dari Abu Dzar berkata, saya bertanya kepada Rasululloh SAW, mengapa engkau tidak meminta saya memegang sebuah jabatan?; Abu Dzar berkata lagi, lalu Rasululloh SAW menepuk punggung saya dengan tangannya seraya berkata; Wahai Abu Dzar,sesungguhnya kamu seorang yang lemah. Padahal, jabatan itu sesungguhnya adalah amanat (yang berat untuk ditunaikan)” (HR. Muslim)
Rasululloh SAW juga menyatakan agar TIDAK MEMILIH SESEORANG MENJADI PEMIMPIN KARENA YBS MENGINGINKANNYA.
“Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi saw. Salah seorang mereka berkata, ‘Ya Rasululloh SAW angkatlah kami sebagai pejabatmu.’ Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasululloh SAW bersabda, ‘Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya’,” (HR Bukhari [7149] dan Muslim [1733]).
Dalam riwayat lain
“Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah r.a, ia berkata, “Rasululloh SAW bersabda kepadaku, ‘Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan, sebab apabila engkau diberi jabatan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepadamu. Namun apabil jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya’,” (HR Bukhari [7147] dan Muslim [16522]).
Diriwayatkan dari Auf bin Malik dari Nabi saw. beliau bersabda, “Jika kalian mau, aku beri tahu kepada kalian tentang jabatan, apa hakikat jabatan itu? Awalnya adalah celaan, yang kedua adalah penyesalan dan yang ketika adalah adzab di hari kiamat, kecuali orang yang berlaku adil. Bagaimana mungkin ia dapat berlaku adil terhadap keluarga-keluarganya?” (HR al-Bazzar [1597]).
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR Bukhari no. 7148)
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Dari sekian banyak syarat dan ketentuan dalam mencari dan memilih seorang pemimpin, poin 1 dan 2, yakni beragama Islam dan laki-laki seringkali menjadi bahan perdebatan tiada akhir. Pro dan kontra seringkali terjadi dan berfokus pada 2 poin ini,terutama di Indonesia.
Tahun 1999, sempat terjadi perdebatan sengit ketika Megawati hendak naik menjadi presiden. Mayoritas ulama dan kaum muslim menolak pencalonan Megawati menjadi presiden terutama dengan dalil bahwa harusnya laki2 yg lebih berhak menjadi pemimpin. Namun, ketika Megawati menjadi presiden apa yg terjadi? Yg menjadi Wakil Presiden adalah Ketua dari Partai Pembangunan Persatuan (PPP) yg notabene partai Islam. Ironis kan?
Demikian pula dengan ‘predikat’ agama Islam yg mesti disandang oleh pemimpin. Ada yg mengatakan bahwa agama Islam di sini bukan syarat mutlak, alias mesti ada catatan khusus.
Yang seringkali menjadi ganjalan di hati saya adalah sikap kaum muslim yg menjadikan Islam sebagai SATU-SATUNYA SYARAT DALAM MEMILIH PEMIMPIN. Pokoknya Islam, pokoknya mesti yg seagama, seiman, pilih yg terbaik di antara yg terburuk, bla bla bla.
“Pokoknya Islam” ini seringkali menjadikan kaum muslim (terutama di Indonesia) menjadi object politik yg selalu dibodohi oleh orang2 licik, culas, dan jahat yg kebetulan memegang tampuk kekuasaan. ‘Sialnya’ lagi, orang2 tersebut ternyata beragama Islam pula, orang2 yg mengaku dan menyatakan bahwa sesama muslim itu saudara namun dalam kenyataannya (dalam berpolitik) mereka seringkali tidak ragu menusuk dari belakang kaum muslim.
“Ah, kalo itu kan urusan dia dengan ALLOH SWT.”
“Setidaknya itu yg terbaik dari yg terburuk.”
“Tugas kita harus mengingatkan dia, bla bla bla…”
Pernyataan2 di atas mungkin pernah kita dengar, tapi apa iya lantas kita hanya berwacana dan beropini dengan pernyataan2 di atas?
Berapa banyak masyarakat yg mati karena dana kesehatan dikorupsi? Berapa banyak pengungsi dan orang yg tertimpa bencana mati kelaparan karena bantuan yg mereka tidak jauh dari memadai atau layak? Berapa banyak anak-anak yg tidak bisa sekolah karena dana pendidikannya disunat sana sini?
Dengan kata lain, apabila ada calon pemimpin yg beragama Islam namun perilakunya tidak Islami, maka JANGAN DIPILIH!
Pemimpin yg mengaku Islam namun pada kenyataannya berlaku khianat (tidak amanah) juga tidak perlu dipilih! Slogan “Pilih ahlinya…” (yg tentu saja ditujukan kepada dirinya) pada saat kampanye dan ternyata saat menjabat tidak bisa dibuktikan bahwa dirinya ahli seperti yg digembar-gemborkan, jelas merupakan suatu KEBOHONGAN YANG SEDEMIKIAN NYATA! Bahkan jika kita menilik pada hadits Rasululloh SAW di atas, “Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.”(HR. Bukhari) maka mestinya pemimpin2 ‘kacangan’ seperti itu banyak2 muhasabah dan bertobat, bukannya mencalonkan diri kembali menjadi pemimpin.
Bagi yang tertarik menyimak kata - kata yang di atas boleh menyumbang
( bagi yang sudah iso ) 
Bagi yang masih abu - abu seperti ane, cukup dengan
NB: Ts tidak mengharapkan
, tapi mengharapkan 


langsung sajah di simak gan

Bismillah,
Salah satu hal yg tidak bisa lepas dari kehidupan kita sebagai muslim adalah memilih pemimpin. Yang dimaksud dengan pemimpin di sini terutama yg terkait dengan pemimpin di ranah publik, seperti walikota, gubernur, ataupun presiden.
Islam sendiri sudah memberikan petunjuk yg jelas mengenai bagaimana mencari dan memilih pemimpin, baik melalui ayat2 di Al Qur’an maupun hadits2 dari Rasululloh SAW.
Pertama, beragama Islam.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali Imran(3):28)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (An Nisa(4):144)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al Maidah(5):51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah(5):57)
Kedua, laki-laki.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An Nisa(4):34)
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpinnya.” (HR. Bukhari)
Ketiga, dewasa (baligh). Baligh di sini terutama mampu berpikir dengan baik, serta sudah bisa membedakan hal2 yg benar dan salah.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (An Nisa(4):5)
Keempat, adil. Pengertian adil di sini adalah adil secara umum, tidak berat sebelah memihak salah satu golongan, terutama kelompok yg berkaitan dengan dirinya atau menguntungkan dirinya.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad(38):26)
Kelima, amanah dan berlaku profesional serta mempunyai ilmu/pengetahuan di bidangnya. Dengan berlaku amanah dan mempunyai pengetahuan di bidangnya, maka seorang pemimpin akan dipercaya dan bisa dengan mudah memecahkan persoalan2 yg timbul.
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf(12):55)
Kita juga sering mendengar hadits Rasululloh SAW sebagai berikut
“Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Keenam, sehat fisik dan mental, karena seorang pemimpin seringkali dituntut bekerja keras tidak mengenal waktu serta banyak mendapat tantangan dan serangan dari lawan2 politiknya.
“Dari Abu Dzar berkata, saya bertanya kepada Rasululloh SAW, mengapa engkau tidak meminta saya memegang sebuah jabatan?; Abu Dzar berkata lagi, lalu Rasululloh SAW menepuk punggung saya dengan tangannya seraya berkata; Wahai Abu Dzar,sesungguhnya kamu seorang yang lemah. Padahal, jabatan itu sesungguhnya adalah amanat (yang berat untuk ditunaikan)” (HR. Muslim)
Rasululloh SAW juga menyatakan agar TIDAK MEMILIH SESEORANG MENJADI PEMIMPIN KARENA YBS MENGINGINKANNYA.
“Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi saw. Salah seorang mereka berkata, ‘Ya Rasululloh SAW angkatlah kami sebagai pejabatmu.’ Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasululloh SAW bersabda, ‘Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya’,” (HR Bukhari [7149] dan Muslim [1733]).
Dalam riwayat lain
“Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah r.a, ia berkata, “Rasululloh SAW bersabda kepadaku, ‘Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan, sebab apabila engkau diberi jabatan itu karena engkau memintanya maka jabatan tersebut sepenuhnya dibebankan kepadamu. Namun apabil jabatan tersebut diberikan bukan karena permintaanmu maka engkau akan dibantu dalam melaksanakannya’,” (HR Bukhari [7147] dan Muslim [16522]).
Diriwayatkan dari Auf bin Malik dari Nabi saw. beliau bersabda, “Jika kalian mau, aku beri tahu kepada kalian tentang jabatan, apa hakikat jabatan itu? Awalnya adalah celaan, yang kedua adalah penyesalan dan yang ketika adalah adzab di hari kiamat, kecuali orang yang berlaku adil. Bagaimana mungkin ia dapat berlaku adil terhadap keluarga-keluarganya?” (HR al-Bazzar [1597]).
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (HR Bukhari no. 7148)
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Dari sekian banyak syarat dan ketentuan dalam mencari dan memilih seorang pemimpin, poin 1 dan 2, yakni beragama Islam dan laki-laki seringkali menjadi bahan perdebatan tiada akhir. Pro dan kontra seringkali terjadi dan berfokus pada 2 poin ini,terutama di Indonesia.
Tahun 1999, sempat terjadi perdebatan sengit ketika Megawati hendak naik menjadi presiden. Mayoritas ulama dan kaum muslim menolak pencalonan Megawati menjadi presiden terutama dengan dalil bahwa harusnya laki2 yg lebih berhak menjadi pemimpin. Namun, ketika Megawati menjadi presiden apa yg terjadi? Yg menjadi Wakil Presiden adalah Ketua dari Partai Pembangunan Persatuan (PPP) yg notabene partai Islam. Ironis kan?
Demikian pula dengan ‘predikat’ agama Islam yg mesti disandang oleh pemimpin. Ada yg mengatakan bahwa agama Islam di sini bukan syarat mutlak, alias mesti ada catatan khusus.
Yang seringkali menjadi ganjalan di hati saya adalah sikap kaum muslim yg menjadikan Islam sebagai SATU-SATUNYA SYARAT DALAM MEMILIH PEMIMPIN. Pokoknya Islam, pokoknya mesti yg seagama, seiman, pilih yg terbaik di antara yg terburuk, bla bla bla.
“Pokoknya Islam” ini seringkali menjadikan kaum muslim (terutama di Indonesia) menjadi object politik yg selalu dibodohi oleh orang2 licik, culas, dan jahat yg kebetulan memegang tampuk kekuasaan. ‘Sialnya’ lagi, orang2 tersebut ternyata beragama Islam pula, orang2 yg mengaku dan menyatakan bahwa sesama muslim itu saudara namun dalam kenyataannya (dalam berpolitik) mereka seringkali tidak ragu menusuk dari belakang kaum muslim.
“Ah, kalo itu kan urusan dia dengan ALLOH SWT.”
“Setidaknya itu yg terbaik dari yg terburuk.”
“Tugas kita harus mengingatkan dia, bla bla bla…”
Pernyataan2 di atas mungkin pernah kita dengar, tapi apa iya lantas kita hanya berwacana dan beropini dengan pernyataan2 di atas?
Berapa banyak masyarakat yg mati karena dana kesehatan dikorupsi? Berapa banyak pengungsi dan orang yg tertimpa bencana mati kelaparan karena bantuan yg mereka tidak jauh dari memadai atau layak? Berapa banyak anak-anak yg tidak bisa sekolah karena dana pendidikannya disunat sana sini?
Dengan kata lain, apabila ada calon pemimpin yg beragama Islam namun perilakunya tidak Islami, maka JANGAN DIPILIH!
Pemimpin yg mengaku Islam namun pada kenyataannya berlaku khianat (tidak amanah) juga tidak perlu dipilih! Slogan “Pilih ahlinya…” (yg tentu saja ditujukan kepada dirinya) pada saat kampanye dan ternyata saat menjabat tidak bisa dibuktikan bahwa dirinya ahli seperti yg digembar-gemborkan, jelas merupakan suatu KEBOHONGAN YANG SEDEMIKIAN NYATA! Bahkan jika kita menilik pada hadits Rasululloh SAW di atas, “Apabila suatu urusan dipercayakan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.”(HR. Bukhari) maka mestinya pemimpin2 ‘kacangan’ seperti itu banyak2 muhasabah dan bertobat, bukannya mencalonkan diri kembali menjadi pemimpin.
Bagi yang tertarik menyimak kata - kata yang di atas boleh menyumbang


Bagi yang masih abu - abu seperti ane, cukup dengan

NB: Ts tidak mengharapkan


0
1.4K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan