- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Mayor Jenderal, Tanpa Sekolah?


TS
sansan_oke
Mayor Jenderal, Tanpa Sekolah?
Quote:
Meski tak mengecap sekolah formal, Tgk Muhammad Daod Beureueh diangkat oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta sebagai Gubernur Milter Aceh Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat jenderal mayor tituler.
Quote:
Tgk Muhammad Daod Beureeh dilahirkan di Pidie tahun 1898. Ia tak pernah mengecap sekolah formal, hanya belajar di beberapa pesantren di Sigli. Pada usia 33 tahun, Daod Beureueh mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Pase, Sigli.
Daod Beureueh kemudian dikenal sebagai ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953 menulis betapa Daod Beureueh sebagai orator ulung yang bisa ‘menyihir’ orang dalam ceramahnya yang berjam-jam di masjid.
Daod Beureueh juga tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam. “Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Indonesia Merdeka.
Daod Beureueh kemudian dikenal sebagai ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953 menulis betapa Daod Beureueh sebagai orator ulung yang bisa ‘menyihir’ orang dalam ceramahnya yang berjam-jam di masjid.
Daod Beureueh juga tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam. “Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Indonesia Merdeka.
Quote:

Quote:
Karena karismanya itu, Daod Beureueh dipercaya memimpin tentara Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Ia juga menjadi orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRl). Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler.
Tapi Daod Beureuh bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA, lembaga yang didirikannya pada 1939 terutama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda.
Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menuding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah meletusnya peristiwa Perang Cumbok.
Sejarawan asal Rotherdam, Cornelis Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang membentuk Badan Keinsjafan Rakjat (BKR). Secara resmi lembaga ini bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA.
Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan panitia Pemilu 1955 dari ‘anasir-anasir’ PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “Teungku Daod Beureueh Pengisap Darah Rakyat’,” tulis Van Dijk.
Tapi Daod Beureuh bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA, lembaga yang didirikannya pada 1939 terutama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda.
Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menuding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah meletusnya peristiwa Perang Cumbok.
Sejarawan asal Rotherdam, Cornelis Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang membentuk Badan Keinsjafan Rakjat (BKR). Secara resmi lembaga ini bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA.
Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan panitia Pemilu 1955 dari ‘anasir-anasir’ PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “Teungku Daod Beureueh Pengisap Darah Rakyat’,” tulis Van Dijk.
Quote:
Van Dijk malah menuding gerakan PUSA tak independen. Persenjataan PUSA ketika bertempur, misalnya, tak lain berasal dari Jepang. Tapi tudingan ini dibantah M Nur El-Ibrahimy.
Menurutnya, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. Menurut El-Ibrahimy, serangan kepada Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah disebut sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dan Borsumij, sebuah perusahaan Belanda. “Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.
Pemberontakan Daod Beureueh berlarut-larut sebagian pimpinan DI,TII menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang.
Dalam surat menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama.
Setelah itu Daod Beureueh bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak. Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh.
Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Daod Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. “Tidak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Baud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy.
Daod Beureuh tapi tutup usia di Aceh tahun 1987. Nafasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali berduka.
Menurutnya, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. Menurut El-Ibrahimy, serangan kepada Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah disebut sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dan Borsumij, sebuah perusahaan Belanda. “Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.
Pemberontakan Daod Beureueh berlarut-larut sebagian pimpinan DI,TII menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang.
Dalam surat menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama.
Setelah itu Daod Beureueh bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak. Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh.
Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Daod Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. “Tidak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Baud kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy.
Daod Beureuh tapi tutup usia di Aceh tahun 1987. Nafasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Masa yang membuat luka di Tanah Rencong kembali berduka.
Quote:
Berkongsi dengan Kartosoewirjo
Quote:
Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Tgk Muhammad Daod Beureueh menjalin kerjasa dengan Kartosoewirjo. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu ‘membuka kata’ untuk sebuah kongsi yang bersejarah ini.
Sebelum pemberontakan itu digelar, Amir Husin al-Mujahid orang kepercayaan Abu Beureueh pada 13 Maret 1953 berunding dengan Kartosoewirjo di Bandung. Mustafa Rasyid utusan Kartosoewirjo juga pernah dikirim ke Aceh untuk membahas rencana pemberontakan itu. Ia ditangkap pada Mei 1953 ketika kembali ke Jawa.

Abu Beureueh yang marah pada Jakarta mendapat dukungan publik Aceh. Dalam kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)—lembaga yang dipimpin oleh Beureueh—di Langsa, April 1953, menggumpallah itikad melawan Jakarta.
Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai ‘kafir’ yang akan merebut Aceh. Soekarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama Hindu. Puncaknya, pada September 1953, Abu Buereuah memproklamirkan DI/TII. “Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,” demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.
Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Soekarno mendatangi Aceh untuk mendinginkin suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin.
Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Soekarno tak berdaya disambut poster-poster antipresiden. “Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama,” begitu bunyi salah satu poster.
Wakil Presiden Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil berunding dengan Abu Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan bisa mengatasi keadaan.
Tak seperti Soekarno, Hatta adalah orang yang sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus dan federalisme.
Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI. Hatta dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan apa apa menghadapi Aceh hingga 1953.
Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daud Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.
Sebelum pemberontakan itu digelar, Amir Husin al-Mujahid orang kepercayaan Abu Beureueh pada 13 Maret 1953 berunding dengan Kartosoewirjo di Bandung. Mustafa Rasyid utusan Kartosoewirjo juga pernah dikirim ke Aceh untuk membahas rencana pemberontakan itu. Ia ditangkap pada Mei 1953 ketika kembali ke Jawa.

Abu Beureueh yang marah pada Jakarta mendapat dukungan publik Aceh. Dalam kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)—lembaga yang dipimpin oleh Beureueh—di Langsa, April 1953, menggumpallah itikad melawan Jakarta.
Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai ‘kafir’ yang akan merebut Aceh. Soekarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama Hindu. Puncaknya, pada September 1953, Abu Buereuah memproklamirkan DI/TII. “Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,” demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.
Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Soekarno mendatangi Aceh untuk mendinginkin suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin.
Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Soekarno tak berdaya disambut poster-poster antipresiden. “Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama,” begitu bunyi salah satu poster.
Wakil Presiden Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil berunding dengan Abu Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan bisa mengatasi keadaan.
Tak seperti Soekarno, Hatta adalah orang yang sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus dan federalisme.
Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI. Hatta dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan apa apa menghadapi Aceh hingga 1953.
Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daud Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.
[Bersambung]
[Sumber : Harian-Aceh.com | Atjehcyber.com]
[Penulis : Iskandar Norman]
Diubah oleh sansan_oke 08-03-2013 12:19
0
4.8K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan