N A M A


09 April 2012

Di Jawa Tengah, setiap orang tua memberikan nama kepada anaknya yang baru lahir biasanya disertai oleh upacara adat kecil. Selain doa-doa dipanjatkan kepada Allah untuk kesehatan, panjang umur dan kebahagiaan si anak hingga dewasa, tak lupa bubur merah putih dan nasi berkat disiapkan. Biasanya, sebelum memberi nama, orang tua akan sibuk mencari nama yang cocok dan bermakna baik bagi si anak.

Kebetulan orang tua memberi nama saya, Evi Puspa. Nama tersebut memang saya sukai dan acapkali ketika bertemu kenalan baru, dengan tegas saya menyebut nama lengkap . Rasanya pas dan cocok nama tersebut untuk saya. Beberapa teman memanggil saya Evi, sebagian lagi memanggil saya Puspa. Semua panggilan tersebut saya sukai.

Setelah saya dewasa dan memasuki dunia kerja, sebagian teman memanggil saya mbak atau kakak, bahkan sekarang beberapa orang memanggil nama saya dengan Bu Evi rasanya tetap enak dan nyaman didengar.

Namun agak berbeda dengan adik saya yang bernama Lusita, saat remaja seluruh temannya memanggilnya dengan Lus, mulai menginjak dewasa dipanggil Mbak Lus, sekarang tetangganya mulai memanggilnya Bu Lus. Kini dia mulai menanggalkan nama aslinya dan memilih dipanggil Bu Ikhsan sesuai nama suaminya. Karena Bu Lus mengingatkan nama sejenis penyu.

Beda lagi dengan Tetangga saya yang bernama Setya Caraka. Setiap bertemu selalu saya menyapa terlebih dahulu, dan Pak Setya juga selalu melambaikan tangan kanannya menjawab sapaan saya. Kadangkala saya memanggil nama lengkapnya Pak Setya atau nama singkatnya Pak Set saja. Namun Istri Pak Setya lebih suka dipanggil dengan namanya sendiri, Bu Dewi karena nelangsa dengan nama Bu Set.

Ternyata tidak semua teman saya menyukai namanya. Ada yang sengaja menyembunyikan nama depannya agar terdengar indah saat dipanggil. Riksanti contohnya, dia kesal sekali jika ada teman yang memanggil namanya Bu Rik. Maka dia mengubah namanya menjadi Bu Santi. Rik nya tak pernah diucapkan. Nama Riksanti hanya tertera di KTP.

Teman saya kuliah namanya Degnara, orangnya cantik dan supel. Saat kuliah kerap sekali kakak kelas memanggil nama Degnara karena memang dia sangat populer. Namanya indah dan tidak pasaran. Namun kini dia kesal dan sering tak menengok saat orang memanggilnya Bu Deg. Kemarin saya bertemu dia, dan mendapati diatas kartu namanya tertera nama D Nara. Saya tetap memanggilnya Bu Deg sesuai nama aslinya walau dia benar-benar berlagak tuli tak mau mendengar panggilan saya.

Di Indonesia, hampir setiap daerah mempunyai nama panggilan bagi anak perempuan dan anak laki-laki. Di Jawa ada Mbak dan Mas. Di Padang ada Uni dan Uda, Di sunda Akang dan Teteh. Di Bali Panggilan kakak laki-laki dalah Beli dan penggilan kakak perempuan adalah Mbok.

Beberapa bulan lalu saat mengikuti sebuah seminar di Bali, saya bertemu dengan kawan lama bernama Bisantoro. Karena usia dia lebih tua dari saya, maka saya memanggilnya Mas Bis. Beberapa orang di seminar tersebut memanggilnya Pak Bis. Karena sudah lama tak bertemu, saya dan Mas Bis asyik bercercerita tentang beragam hal hingga terdengar bunyi pengumuman dari speaker yang berbunyi “ Mbok Evi dan Beli Bis dimohon kehadirannya diruang seminar”. Saya tertawa terpingkal-pingkal mendengar pengumuman tersebut, sedangkan Beli Bis ngomel-ngomel mencari asal suara.

Tiga hari yang lalu saya ke rumah sakit bersalin di bilangan Menteng Jakarta. Salah satu sahabat saya baru melahirkan anak keduanya. Terlihat sahabat saya sangat bahagia karena anak keduanya berkelamin laki-laki sesuai dengan keinginannya. Dengan penuh semangat dia menceritakan bahwa saat kehamilan bulan kedelapan suaminya mendapat juara ketiga dan mendapat hadiah medali perunggu untuk suatu lomba olah tubuh.

Untuk mengenang juara yang diraih ayahnya maka si bayi akan diberi nama Kangsa yang dalam bahasa latin artinya kuningan atau perunggu. Saya membatin, kalau di Jawa akan dipanggil Mas Kang, di Padang dipanggil Uda Kang, Di Bali panggilannya Beli Kang, Di Sunda namanya menjadi Kang Kang. Hm....



Oleh: Evi Puspa
CEO Perempuan.com