Poligami disyariatkan dalam Islam bukan untuk menghancurkan rumah tangga yang sudah dibina sebelumnya atau untuk menggagalkan rumah tangga kedua yang baru dibangun. Jadi, sangatlah tidak diharapkan ketika seorang suami menikah lagi ternyata berisiko perceraian dengan istri yang pertama atau berpisah dengan istri yang baru.
Memang dibutuhkan kesiapan, keteguhan, kesungguhan, dan kebesaran jiwa seorang lelaki untuk menjalankannya. Sebagai lelaki, ia dituntut menjadi pemimpin dan pengatur bagi perempuan, karena Allah Subhana Wata'ala yang menetapkan demikian
“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) di atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa: 34)
Bukan sebaliknya, ia diatur oleh istrinya sehingga terkadang tidak berdaya dan tidak berkutik di hadapan istrinya. Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi pada rumah tangga yang dikepalai oleh suami yang nurut pada istri saat ia menjalani kehidupan berpoligami dalam keadaan istrinya tidak suka.
a. Tidak Ada Hak bagi Istri dalam Urusan Ini
Spoiler for :
Poligami adalah hak suami yang dianugerahkan oleh Dzat Yang Maha Penyayang dengan hikmah-Nya yang agung. Dengan demikian, tidak ada hak sama sekali bagi istri untuk mencegah suaminya menikah lagi, walaupun si istri beralasan bahwa dirinya telah mencukupi semua yang diinginkan oleh suaminya dan tidak ada yang kurang dari dirinya sehingga suami tidak butuh mencari istri yang lain.
Mengapa? Bisa jadi, suaminya ingin menikah lagi karena ingin memperbanyak keturunan, ingin menjaga kemuliaan si perempuan dengan menikahinya, atau ia merasa tidak cukup dengan seorang istri, dan hal ini sangat manusiawi. Allah Subhanahu wata’ala telah membolehkan pria untuk memperistri sampai empat wanita.
Tentu tidak pantas bagi seorang istri untuk marah, protes, dan tidak terima terhadap hukum Allah Subhanahu wata’ala yang diridhai- Nya atas para hamba-Nya. Bahkan, ia seharusnya bersabar dan mengharapkan pahala ketika menjalani semuanya. Sebab, bila ia berketetapan hati untuk sabar, niscaya urusannya akan mudah baginya. Demikian di antara nasihat yang disampaikan oleh al-Imam asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam fatwa beliau di kitab ad-Da’wah (1/106) dan FatawaNurun ‘alad Darb (2/165—166).
Beliau rahimahullah juga menekankan, apabila seorang lelaki mampu secara materi dan sanggup berbuat adil, lebih afdal/utama baginya untuk menikah lagi baik yang kedua, ketiga, maupun keempat. Sebab, semakin banyak istri akan memperbanyak lahirnya generasi baru Islam dan lebih banyak memberikan penjagaan terhadap kemaluan para perempuan, yang kalau tidak ada lelaki yang menikahinya, mereka akan hidup membujang di rumah tanpa pasangan hidup dan dikhawatirkan akan jatuh pada kejelekan.
Dimaklumi, dalam urusan ini memang biasanya istri pertama akan menentang dan marah. Namun, lelaki yang cerdas /bijak akan bisa menerangkan kepada si istri bahwa hal itu dibolehkan baginya dan ia berusaha menyenangkan hati si istri dengan segala yang mungkin dilakukannya. Demikian pula apabila ada penentangan dari pihak keluarga, misalnya dari ibu, si lelaki hendaknya berusaha menerangkan dengan cara yang baik tentang keputusannya berpoligami dan sisi pandangannya. (Fatawa Nurun‘alad Darb, 2/163)
b. Lebih Utama Bermusyawarah dengan Istri
Spoiler for :
Seorang suami yang ingin menikah lagi tidak diharuskan mengajak bicara istrinya dan meminta izin tentang niatannya tersebut. Namun, apabila ia mengajak bicara, bermusyawarah, dan meminta izin, hal itu tentu lebih baik dan terpandang dalam ‘urf (adat kebiasaan), khususnya di negeri kita. Agama pun memandang berlakunya ‘urf apabila tidak bertentangan dengan syariat.
Al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa seandainya suami meminta izin kepada istrinya, biasanya istri akan menolak. Dalam hal ini, suami tetap melangkah, sama saja apakah ia telah minta izin atau belum kepada istri pertamanya, sama saja apakah setelah minta izin ternyata si istri menolak memberi izin (ataukah menerima).
Namun, menurut beliau, seharusnya suami mengajak bicara istrinya, memberikan penjelasan sampai si istri merasa cukup dengan penjelasannya dan merasa tenang. Ia terangkan kepada istrinya hikmah poligami dan ia sampaikan alasan keinginan menikah lagi. Apabila hal ini dilakukan suami, kemudian ia mendatangkan istri barunya kepada istripertamanya, niscaya istri pertama akan bisa menerima dengan lebih tenang, tanpa curiga istri yang baru ini akan merebut suaminya karena ia telah mendapatkan penjelasan. Ia mengetahui pernikahan suaminya dengan si madu dan telah rela (walau mungkin kerelaannya harus dipaksakan).
Dengan cara seperti ini, diharapkan kedua istri (istri pertama dan madunya) dapat hidup secara damai, tenteram, tidak saling menjauh, dan saling membenci. Karena memerhatikan kemaslahatan ini, sepantasnya suami meminta izin kepada istri pertamanya dan memberitahukannya, walaupun tidak wajib. Andaipun si suami menikah diam-diam dan merahasiakannya dari istrinya, tidak ada dosa bagi si suami. (Fatawa Nurun ‘alad Darb, 1/334— 335)
c. Tidak Dibenarkan Meminta Cerai Ketika Suami Menikah Lagi
Spoiler for :
Apabila suami menikah lagi sedangkan istri pertamanya belum siap dimadu atau tidak bisa menerima kenyataan dimadu, apakah tidak berdosa ia meminta cerai dari suaminya?Sebagaimana si istri tidak boleh menuntut suaminya untuk menceraikan madunya, tidak halal pula baginya menuntut cerai dari suaminya.
Sang suami tidak harus meluluskan permintaan cerai istrinya. Ada ancaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap istri yang bermudahmudah menuntut cerai dari suaminya, padahal suaminya telah “berbaik-baik” kepadanya. (Fatawa Nurun ‘alad Darb, 2/165, 166).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Istri mana saja yang menuntut cerai dari suaminya padahal tidak ada kesulitan yang mendesak, maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. at-Tirmidzi no. 1187, Ibnu Majah no. 2055, dll, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi)
d. Tidak Ada Istilah “Habis Manis Sepah Dibuang”
Spoiler for :
Pepatah di atas mungkin terpikir di benak istri saat suaminya menikah lagi. Padahal bila suaminya adalah suami yang baik, saleh, dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, serta melangkah menuju poligami dengan memerhatikan syarat-syaratnya, si istri tidak perlu mengkhawatirkan dirinya menjadi sepah yang dicampakkan. Sebab, istri tetaplah istri, walau istri tua atau istri lama, toh istri baru dengan berjalannya waktu akan menjadi istrilama pula.
Berbeda halnya apabila suaminya seorang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wata’ala, maka bisa saja ia menelantarkan istri pertamanya karena telah mendapatkan istri muda. Apalagi ketika istri mudanya turut memprovokasi dan terlalu banyak menuntut. Oleh karena itu, kita ingatkan suami yang sampai berlaku demikian, hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan takut akan siksa-Nya. Telah datang ancaman Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada suami yang berlaku curang atau tidak adil di antara istri-istrinya;
orang itu akan datang pada hari kiamat dalamkeadaan sebelah tubuhnya miring.
Kepada istri muda pun kita ingatkan, hendaklah bertakwa kepada Allah l dan takutlah akan siksa-Nya. Janganlah merusak apa yang sudah dibina. Jika engkau memiliki perasaan sebagai perempuan, istri tua pun punya perasaan yang sama. Jika engkau cemburu, dia pun begitu. Jika engkau ingin disayang, dia pun demikian.
Terkadang istri pertama khawatir, cinta suami akan beralih kepada istri yang baru. Padahal, sebenarnya cinta adalah urusan Allah Subhanahu wata’ala. Hamba tidak mampu menguasainya. Cinta suami bisa saja luntur kepada istrinya walaupun si suami tidak memiliki istri yang lain. Bisa jadi sebaliknya, cinta suami bertambahtambah kepada istrinya padahal si suami telah memiliki istri selainnya. Jadi, urusan cinta adalah urusan hati, Allah Subhanahu wata’ala lah yang mengaturnya. Seorang istri sebatas berusaha mereguk cinta suami.
Sebenarnya, kerelaan seorang istri, ketulusannya, pengertian, dan tidak banyak tuntutannya, justru menjadi salah satu pendorong terbesar berseminya kasih sayang di hati suaminya. Suami yang baik tentu pandai memberikan apresiasi. Suami menikah lagi pun bukan tanda suami tidak cinta lagi. Lihatlah Ummul Mukminin, ibunda orang-orang yang beriman, Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Betapa suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mencintainya lebih dari yang lain. Namun, cinta itu tidaklah menghalangi beliau n untuk menikahi sekian wanita setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Sebab, menikah lagi memang tidak berarti melupakan cinta yang lama. Tentu kita masih ingat pula berita dalam sirah Alasan sangat mendesak yang memaksanya untuk minta berpisah. (Tuhfatul Ahwadzi, Kitab ath-Thalaq, bab “Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at”)