Selamat pagi menuju siang, BP'ers
selamat datang di tread vikiejeleek (ga pake sekali)
Dara Nur Anggraini, kembaran bayi mendiang Dera, masih dirawat di inkubator Neonatal Intensive Care Unit (NICU) RSUD Tarakan, Jakarta, Rabu (20/2). TEMPO/Tony Hartawan
Quote:
Jum'at, 22 Februari 2013 | 08:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -– Nasib bayi-bayi yang tak tertolong sungguh sangat mengenaskan. Apalagi, mereka sebenarnya sudah berada di rumah sakit. Nyawa mereka melayang hanya karena rumah sakit penuh atau orang tuanya tak mampu membayar uang muka.
"Ini pembangkangan terhadap program jaminan kesehatan dan tak ada kreativitas dari rumah sakit guna menyelamatkan nyawa manusia," kata Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Samsul Ridwan, Kamis, 21 Februari 2013.
Samsul geram terhadap para pengelola rumah sakit di Ibu Kota, yang menolak menangani bayi sakit dari keluarga miskin karena tak ada jaminan biaya operasi. Dia merujuk pada kasus Zara Naven, bayi berusia 3 bulan, di Rumah Sakit Harapan Kita.
Zara meninggal karena tak kunjung dioperasi pada Selasa lalu. Orang tua Zara mengaku dimintai jaminan oleh rumah sakit tersebut. "Rumah sakit tak sepatutnya mempermasalahkan biaya untuk menyelamatkan seorang bayi yang perlu ditangani segera," kata Samsul.
Kisah Zara berawal dari besarnya biaya operasi yang harus ia jalani, yakni sebesar Rp 200 juta. Dia divonis mengidap kelainan jantung bawaan.
Orang tua Zara, pasangan Herman Hidayat, 25 tahun, dan Prefti, 23 tahun, tak mampu membayar biaya operasi sebesar itu. Plafon dana Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang mereka terima dari Pemerintah Kota Depok hanya Rp 110 juta. Jumlah itu pun sudah berkurang. "Saya tidak ada uang untuk menutupi kekurangan biaya," kata Prefti, di rumahnya, Rabu lalu.
Selama 40 hari, Zara dirawat di ruang Intensive Care Unit RS Harapan Kita dan tak kunjung sembuh. Biaya pengobatan selama itu telah menghabiskan plafon dana Jamkesda sebesar Rp 60 juta.
Dugaan bahwa kematian Zara terjadi akibat masalah uang diungkapkan oleh Anah, nenek bayi itu. Menurut dia, cucunya sudah tiga kali dijadwalkan menjalani operasi. "Tapi rumah sakit belum mengizinkan karena tidak ada jaminan. Sampai akhirnya Zara meninggal," kata dia sedih.
Kepala Bidang Medik RS Harapan Kita, Basuni Radi, membantah tudingan bahwa Zara tidak dioperasi karena pihak keluarga tidak menyerahkan uang jaminan. Menurut dia, operasi terhadap Zara tak bisa dilakukan akibat infeksi paru-paru yang diderita Zara. "Infeksi itu membuat kondisi bayi terlalu lemah untuk dioperasi. Risikonya semakin tinggi," ujarnya kemarin.
Kekecewaan atas pelayanan rumah sakit juga terungkap dalam kasus kelahiran bayi prematur di Rumah Sakit Bersalin Kartini, Jakarta Selatan, Rabu lalu. Bayi itu dinyatakan meninggal dan dibungkus dengan kain. Padahal, nyatanya anak itu masih hidup.
Begitu dibawa kembali ke rumah sakit dalam kondisi gawat—badan bayi itu membiru setelah dibawa orang tuanya dengan sepeda motor—pihak rumah sakit malah sempat meminta uang muka Rp 15 juta untuk biaya perawatan sang bayi. "Saya bahkan diminta ke rumah sakit lain," kata Ali Zuar, orang tua si bayi.
Setelah negosiasi dilakukan, pihak rumah sakit akhirnya kembali merawat bayi itu. Namun, tak lama kemudian, pada malam harinya, anak itu mengembuskan napas terakhirnya. Kali ini, bayi tersebut benar-benar dinyatakan meninggal.
Direktur RS Bersalin Kartini, Elmira Suksmawati, membantah tudingan bahwa pihaknya sempat meminta uang muka. Bahkan, dia mengaku sudah menghubungi rumah sakit lain sebagai rujukan. "Bayi tersebut butuh NICU, sedangkan kami tidak punya," katanya.
Kasus itu mirip dengan yang dialami Dera Nur Anggraini. Bayi prematur yang membutuhkan operasi dan perawatan di ruang ICU itu ditolak oleh sembilan rumah sakit dengan alasan penuh dan ketiadaan uang muka. Putri penjual kaus kaki di pasar malam itu meninggal pada Sabtu lalu.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, Marius Wijayarta, menilai maraknya kasus penolakan rumah sakit terhadap warga tidak mampu merupakan dampak buruknya sistem penganggaran kesehatan dan jaminan sosial selama ini. "Dari pusat sampai daerah, pelayanan rumah sakit kacau-balau," katanya.
Marius mencontohkan, pemerintah—selain berperan sebagai kuasa pengguna anggaran—bertindak sebagai penyelenggara dan tim pemantau. "Mereka semua yang menjalankan," ujarnya.
[URL=//www.tempo.co/read/news/2013/02/22/214462922/Kisah-Bayi-bayi-Merana-di-Sekitar-Ibu-Kota
]Sumber[/URL]
emang bener gan, ruangan yang paling mengerikan dirumah sakit itu bukan ruangan jenazah, tapi ruangan administrasi. semoga kedepannya fasilitas rumah sakit semakin memadai, dan biaya nya juga bisa murah.