BELAJAR BERHITUNG

Dengan berselimut sarung putung Adi sesekali tampak
sedikit berisik di atas dipan bambu tempat tidurnya.
Matanya yang masih kelihatan letih berkijap redup
dan memaksa untuk terbuka. Sambar sayu di kejauhan,
terdengar alunan lantang pejantan berkokok.
Perlahan dan setengah memaksa, Adi bangkit dari tidurnya
dan menyibak korden blacu tengil yang menutupi jendela
gubuknya.

Sempat pula dia tersenyum sesaat ketika melihat beberapa
pipit asik meloncat dan menari dari dahan ke dahan pohon
jambu di samping gubuk bambunya. Namun senyuman itu hanyut
saat Adi perpaling ke atas meja tua yang di atasnya ter
dapat buku tulis yang masih terbuka. Sangat jelas tertulis
di atas lembaranya beberapa angka dan rumus rumus yang
menandakan bahwa kemarin malam Adi berusaha menyelesaikan
pekerjaan rumah "matematika".

Dari balik bilik Adi mendengar suara yang begitu familiar,
berupa pengorengan panas dengan minyak kelapa tertimpa
nasi dingin sisa masakan kemarin. Sekejap kemudian, bau
terasi, bawang dan cabe pun memenuhi seluruh ruangan.
Dengan suara batuk batuk sekak dari balik bilik, sang
ibu berkata setengah berteriak " Adi, mandi dulu dan berpakaian.
dan sarapan sebelum kamu berangkat sekolah"
Adi pun menjawab seraya bertanya " ya bu, sarapan nasi goreng lagi?"
Sang ibu pun meng iyakan, sembari berkata " Tapi hari ini
nasi goreng special lho, ada telor dadarnya"

Selang beberapa saat, setelah Adi menikmati sarapan pagi dengan lahapnya,
sang ibu kembali mengingatkan Adi seperti hari hari kemarin
bahwa pelajaran "matematika" itu sangatlah penting di kemudian hari.
Apalagi Adi yang sudah berjanji pada dirinya sendiri akan mengabdikan
dirinya sebagai "senopati bala keraton" untuk menjaga kedaulatan
kerajaan MORAT MARIT.

Liku liku setapak yang dia lewati kadang terkubur padang berembun membasahi
sepatu hitamnya. Namun pikiran Adi menerawang ke pelajaran matematika.
Dia pun tak habis pikir, kenapa ibu selalu berkata bahwa "matematika"
adalah pelajaran yang sangat penting.

Di belokan setelah pohon nangka terdapat sebuah pos kamling reyot,
dimana setiap harinya di huni oleh se orang kakek renta. Adi sudah
terbiasa bertemu sang kakek yang sering berguman sendiri itu. Orang
orang yang lewat kadang kadang memberi sang kakek sedikit uang, kue,
kopi dan sebagainya yang selalu di amini oleh sang kakek.

Setelah pulang sekolah, Adi memutuskan untuk menemui sang kakek
di pos kamling. Dia pun tak sungkan bertanya " Kakek tua, kenapa
ibu saya selalu bilang saya harus belajar matematika kalau mau
menjadi senopati bala keraton?"
Dengan senyum yang lebar, sang kakek menjawab " begini nak, kakek
dulu juga pernah menjadi BALA SENA KERATON, tapi setelah kakek
terluka berat di medan laga, keraton tidak mampu memberikan
nafkah lagi kepada kakek, dan beginilah ke adaan kakek sekarang"
"Cita cita manjadi senopati sangatlah luhur, Tapi menjadi senopati
yang tulus lahir batin adalah lebih luhur"
"Jaman kakek dulu, berperang itu hanya bermodal keberanian
dan ke cintaan atas keraton dan raja, kini jaman telah berubah".
Keberanian, kecintaan dan nasionalisme yang militan saja tidak
akan cukup untuk menandingi musuh musuh penjarah dari negeri seberang",
"Disinilah perlunya para senopati bala sena kerajaan untuk belajar
matematika". "Yang artinya, se orang senopati haruslah pintar
BERHITUNG, sehingga mampu membuat PERHITUNGAN yang matang, yang
nantinya bala sena dan kerajaan MORAT MARIT akan DI PERHITUNGKAN"

Sudah kah kiranya kerajaan dan para senopati penghuni keraton
Morat Marit pintar berhitung dan membuat perhitungan supaya bisa
di perhitungkan?
Mengabdi sebagai senopati sangatlah luhur, tapi sudah tuluskah
pengabdian kalian?
Semamanglah lidah tiada bertulang tuanku para senopati, tiada jua
membekas pada kata. Belajarlah berhitung dan membuat perhitungan.
Tapi bukan menghitung kick back or content of a brown envelops


tulisan di atas hanya pikiran pribadi se orang keboiwa