- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
TNI dan Perlawanan Gurkha ketika Ganyang Malaysial
TS
4422
TNI dan Perlawanan Gurkha ketika Ganyang Malaysial
[B]TNI dan Perlawanan Gurkha ketika Ganyang Malaysia
Jajak pendapat antara politisi-politisi Malaya dengan utusan PBB telah digelar, hasilnya mayoritas dari mereka menyatakan keinginan untuk bergabung dalam negara Malaysia. Akan tetapi tiba-tiba kesimpulan ini ditolak oleh Indonesia, bertentangan dengan pengumuman Tuanku Abdul Rahman sebelum para utusan itu menyelesaikan tugasnya, bahwa Malaysia akan didirikan dalam keadaan apapun tanggal 16 September.
Dengan menganggap bahwa Malaysia adalah proyek Inggris, yang sengaja membentuk negara boneka untuk meneruskan neo kolonialisme, Indonesia kemudian melancarkan kampanye pengganyangan Malaysia. Keributan segera membuncah. Kerusuhan massal muncul di ibukota kedua negara, masing-masing pihak menyerbu kedutaan besar pihak lainnya. Sebagai akibatnya, IMF menangguhkan pemberian kredit dan Amerika membatalkan janjinya untuk memberi bantuan baru. Rencana para teknokrat untuk menstabilkan dan merehabilitasi perekonomian negara akhirnya kabur dalam gejolak pengganyangan Malaysia.
[img]http://kkcdn-
static.kaskus.co.id/images/2013/02/18/2296486_20130218100019.jpg[/img]
Meski terjadi peristiwa dramatis di bulan September, namun konfrontasi militer selama bulan-bulan berikutnya menjadi sedikit lebih berarti. Selain itu, misi pengiriman sekelompok kecil sukarelawan ke Sabah atau Serawak yang telah memperoleh latihan di Indonesia dan dalam pengoperasian sering dipimpin oleh perwira-perwira Indonesia. Penyerbuan-penyerbuan itu tampaknya dimaksudkan untuk tetap menghidupkan isu dengan terus memberikan dukungan kepada para pembangkang dan gelora konfrontasi terhadap Malaysia.
PERANG PUN MELETUS, GURKHA DI MANA-MANA
Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia sebenarnya telah dimulai sejak peristiwa pemberontakan di Brunei pada Desember 1962. Peristiwa pemberontakan di Brunei juga membuka fakta mengenai keterlibatan Inggris dan anak angkatnya dari Nepal, Gurkha. Menurut John S. Advirson, kesatuan Gurkha ditempatkan di sejumlah pos dalam ukuran kompi. Legiun asing milik Inggris ini telah mendarat di Brunei sejak 1962, dan membangun markas besar mereka di sana.[2]
Keterlibatan pasukan Gurkha ini juga diperkuat pernyataan Kifaru, seorang pensiunan tentara Inggris-Gurkha dengan pangkat terakhir perwira. Kepada Majalah Tempo, Kifaru berkisah:
Konon keadaan "sangat mengkhawatirkan" tatkala rombongan pertama Divisi ke-17 ini tiba di Brunei. Para perusuh telah berhasil menguasai sebuah lapangan terbang dan beberapa pos polisi. Mereka juga memblokade beberapa daerah. "Tetapi peta situasi segera berubah dengan masuknya pasukan Inggris," tulis Kifaru. Para Prajurit Gurkha yang beringas itu langsung terjun ke tengah-tengah musuh. Mereka segera menguasai keadaan. Pasukan Inggris kemudian berbalik mengambil alih inisiatif memburu para pemberontak. Dan pada akhir 1962, Brunei dinyatakan dalam keadaan aman.[3]
Kendati sempat menguasai pos-pos polisi, revolusi yang digerakkan para pemberontak urung menemui keberhasilan. Gerakan-gerakan mereka sempat tercium sebelumnya dan pasukan-pasukan keamanan pemerintah segera memberikan perlawanan. Untuk mengamankan Brunei dari para perusuh, Sultan yang berhasil lolos dari aksi penculikan segera meminta bantuan kepada Inggris, dan Inggris segera menjawab dengan mengerahkan pasukannya untuk menghadapi para perusuh. Pasukan Inggris yang diperbantukan, didatangkan dari Divisi Gurkha Ke-17 yang sebelumnya bermarkas di Malaya.
Dari Brunei, api konfrontasi mulai memercik. Apinya menjalar sampai ke wilayah yang sekarang disebut sebagai daerah Malaysia Timur. Daerah perang yang tidak diumumkan ini meliputi wilayah Serawak dan Sabah. Kedua wilayah tersebut merupakan garis batas antara wilayah Malaysia dengan wilayah Kalimantan Indonesia yang terbentang sejauh 1.500 mil.
Dilihat secara geografis, medan konflik yang berlangsung memiliki kondisi yang cukup variatif. Bahkan kondisi medan perang ini memiliki tipe wilayah yang cukup ekstrim dan beberapa diantaranya tipe yang paling kejam di dunia. Di beberapa tempat bahkan belum memiliki jalan raya dan jaringan rel kereta api. Perjalanan hanya bisa dilakukan lewat sungai dan beberapa jalan setapak. Daerah-daerah ini dihuni oleh orang Melayu, suku Dayak, dan para pendatang keturunan Cina. Menurut Kifaru, para gerilyawan yang digerakkan untuk konfrontasi dengan Malaysia, sebagian besar adalah orang Cina dan Serawak.
Pertempuran di Serawak dimulai pada 12 April 1963. Hal ini adalah buntut dari pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio yang mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Pada tanggal itu, sukarelawan Indonesia (diduga merupakan pasukan militer tidak resmi) mulai menyusup ke jantung Sarawak dan Sabah untuk menyebarkan propaganda dan melaksanakan penyerangan dan aksi-aksi sabotase.[4]
Pada tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya, Pertama; Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia, Kedua; Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia. Agitasi ini terus berlanjut, dan pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan “mengganyang Malaysia". Tidak sampai sebulan kemudian, tepatnya pada 16 Agustus, pasukan dari Resimen Askar Melayu DiRaja telah menghadapi kontak senjata dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.
Pertikaian mendadak berubah menjadi lebih keras pada bulan September 1963. Sementara itu sikap Angkatan Darat masih tampak setengah-setengah menghadapi politik konfrontasi terhadap Malaysia. Para pimpinan Angkatan Darat menerima politik konfrontasi terbatas sambil tetap waspada mencari jalan yang memungkinkan penyelesaian melalui perundingan.[5]
Tetapi keputusan presiden dan para penasehatnya untuk lebih keras menghadapi konfrontasi sepertinya membuat Angkatan Darat tidak bisa memegang kendali untuk menghindari permusuhan. Tanda-tanda tersebut makin terlihat ketika Presiden Soekarno menginstruksikan untuk meningkatkan tekanan terhadap Malaysia dengan mendaratkan para penyusup bersenjata ke Semenanjung Malaya pada 17 Agustus yang kemudian berlanjut pada 2 September 1964.[6]
Bulan Mei 1964, dibentuklah Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO.
Komando ini memilih sasaran operasi Semenanjung Malaya di bawah pimpinan Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Sementara Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia dipaksa untuk mengerahkan pasukannya mempertahankan Malaysia. Namun sesungguhnya, hanya sedikit saja Tentara Malaysia yang diturunkan dan harus banyak bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (RPKAD) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris-Australia (SAS) juga tewas dalam pertempuran-pertempuran di belantara lebat Kalimantan.[7]
Pada 17 Agustus 1964, pasukan terjun payung Indonesia mendarat diam-diam di pantai barat daya Johor dan mencoba untuk membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September, usaha yang sama dilakukan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian yang merupakan perbatasan Johor-Malaka. Di sini mereka melancarkan serangan dan telah membunuh pasukan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Selandia Baru, dan menumpas Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Para pemimpin Malaysia telah dibuat sangat khawatir dengan terror yang terus-menerus dari mobilisasi Sukarno untuk membubarkan Federasi Malaysia. Mereka kembali mencari bantuan, kali ini pada Australia. Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah terus-menerus dirongrong olehpermintaan pemerintah Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat melakukan penyerangan melewati perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti SAS, baik Inggris maupun Australia, sesungguhnya telah bergerak lebih jauh dan menyusup masuk secara rahasia. Jauh hari kemudian, tepatnya pada tahun 1996, Australia akhirnya mengakui misi-misi penerobosan yang selama ini mereka rahasiakan.
maaf agan kalau rada berantakan masi proses belajar ni ane,,
0
6.3K
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan