- Beranda
- Komunitas
- Games
- Can You Solve This Game?
Kisah Tujuh Pertapa
TS
rumcandi
Kisah Tujuh Pertapa
Sampurasun.....ijin bertapa
Orang menyebutnya Dieng, sekarang ini menjadi wisata spiritual. Daerah ini
masuk kedalam dua wilayah Kabupaten. Yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Namun untuk menuju tempat ini, kebanyakan orang lebih menyukai mengambil jalur dari Kabupaten Wonosobo.
Sebuah perbukitan yang dingin dan asri. Dikelilingi banyak candi yang bernuansa Hindu. Candi-candi yang dinamai tokoh-tokoh pewayangan Pandawa beserta punokawannya. Disamping juga ada banyak sekali kawah alam. Salah satu kawahnya menjadi tempat pemandian bayi Gatutkaca, kawah Candradimuka namanya. Tak begitu jauh dari situ, ada sebuah telaga yang dinamakan Telaga Warna, yang konon menjadi tempat permandian para dewi kahyangan. Maka lengkap sudah cerita mistis tentang daerah ini. Maka boleh dikatakan tempat ini, adalah daerah yang sangat bagus untuk ber-spiritual. Kesanalah Mas Thole menuju.
Dia mendengar ada orang sakti sudah bertapa puluhan tahun. Dia mau kesana untuk belajar spiritual. Bertapa memang bukan kejadian yang luar biasa. Bagi orang jawa sudah menjadi hal yang lumrah saja. Namun biasanya orang bertapa mencari tempat-tempat yang sepi, di gua, di hutan-hutan, atau di kali. Pokoknya mencari tempat-tempat yang tidak di datangi manusia. Bila daerah tersebut belum dijamah manusia, tempat itu lebih dusukai lagi. Tapi pertapa yang satu ini sungguh unik. Dia bertapa di pinggir jalan raya, ya persis di jalan utama menuju ke Dieng, kalau kita dari arah kota Wonosobo. Keberadaannya ini jelas menjadi perhatian dan tontonan orang yang lewat dan warga sekitar.
Menurut beberapa cerita teman--temannya. Mereka datang bertujuh kemudian berpencar di sekitar daerah situ, mulai dari daerah Kecamatan Garung, naik ke Setieng. Mereka menyebar satu-satu. Ada yang bertapa diatas mata air Bimo Lukar, yaitu mata air yang menjadi symbol kehidupan, siapa yang mandai disitu akan panjang umur, banyak rejeki. Mata air ini juga menjadi cikal bakal Sungai Serayu, sungai terbesar yang mengalir di wilayah itu. Sekarang katanya hanya tingga satu orang saja. Lainnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia, menempati gunung-gunung yang menurut keyakinan mereka adalah gunung yang menjadi paku bumi nusantara.
Gunung-gunung tersebut harus di paku lagi, merekalah yang diberikan pesan agar menjaga disitu. Menjaga paku-paku yang dahulu kala di tanam oleh leluhur mereka Sang Ajiasaka. Mas Thole, saat itu hanya manggut-manggut mendengar penuturan teman-temannya itu. Kalau di hitung sejak kedatangan pertama kali mereka, hingga saat ini, mereka sudah bertapa 30 tahun lebih. Masyarakat sudah banyak yang tidak ingat kapan mereka datang. Seingat Mas Thole dia masih berumur 10 tahun saat itu mereka sudah ada, dan sekarang umurnya sendiri sudah menginjak 40 an. Wah luar biasa sekali, jika mereka masih bertahan. Saat ini posisi sang pertapa sudah mendekati pintu masuk ke-arah pintu utama candi, dimana disana terpusat banyak candi-candi besar, seperti Arjuno, semar, dll.
Banyak warga sekitar yang kemudian kasihan, sebab tubuhnya kena panas dan hujan, tanpa peneduh. Sehingga atas inisiatip warga dibuatlah bedeng kecil dari terpal, sekedar menahan panas dan hujan saja.
Sudah beberapa kali Mas Thole mencoba berinteraksi dengan Sang pertapa namun hingga saat ini belum berhasil. Dan sekarang ini tekadnya sudah bulat, dia akan berniat belajar spiritual sama Pertapa itu. Mengambil hikmah mengapa mereka penuh keyakinan melakukan itu semua. Dan yang lebih mengelitik dirinya adalah, pertanyaan “bagaimana Pertapa itu buang air besarnya.” ?. Mereka bertapa sudah puluhan tahun namun kemana kotorannya ?. Disekelilingnya dia melihat tidak ada sedikitpun kotoran.“Dikemanakan kotoran mereka ya...” Batin Mas Thole. Dibekali ilmu dari guru sufinya, dia yakin akan mampu berinteraksi dengan sang Pertapa. Meski mungkin lewat batin saja.
Singkat cerita, sampailah Mas Thole disana. Seperti biasa dia uluk salam. Diperhatikannya sejenak. Tubuh kurus sekali. Muka pias tanpa ekspresi setengah agak menunduk. Wajah yang tidak pernah berubah semenjak dahulu kala. Rambut tergerai mungkin sudah lebih 2 meteran panjangnya. Ada aroma menyengat dari sisa-sisa makanan pemberian warga. Memang banyak orang lewat yang tidak tahu, dikiranya dia adalah seorang pengemis saja.
Warga tidak berani membersihkan sebab mereka takut kena ‘tuah’. Banyak
kejadian yang aneh, pernah kejadian seorang kenek bis regular meludah ke bedeng Pertapa itu, selang 100 meter bis itu langsung terbalik. Untung tidak memakan korban. Dan banyak sekali ceriat mistis lainnya. Ada yang memindah ke tempat yang jauh, yang dipikirny sepi. Namun keesokan harinya sudah ada disitu lagi. Secara logika tidak mungkin sebab tubuhnya kurus kering nya untuk menopang badanya saja sudah tidak sanggup.
Hampir 2 menitan Mas Thole mengamati. Kemudian dia mulai mengambil posisi berhadapan. Dan sejenak dia sudah memasuki alam ghaib, menjalin menembus batin Sang pertapa. Berkali dia menucap salam. Diulang dan diulang lagi dengan sabar. Tak terasa waktu sudah hampir seharian Mas Thole disitu. Ruhnya terus berusaha mengajak silaturahmi kepada Pertapa tersebut. Hingga suatu saat nampak seberkas cahaya kecil kemudian membesar-membesar dari pendaran cahaya nampak seorang lelaki setengah umur, kharismanya begitu kuat. Hingga mau tidak mau Mas Thole menunduk hormat, mengucap salam dengan tulus.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.” Terdengar jawaban empuk terasa ditelinga Mas Thole.
Suasana hening diam menyapu sekitar. Waktu sudah menunjukan jam 2 hampir pagi. Saat menjelang titik terdingin untuk wilayah situ.
Terdengar suara dehem kecil, memecah kesunyian. “Ada apa ngger sampeyan mengganggu semediku ?”.terdengar sebuah pertanyaan mengusik bisu, yang sudah sekian lama ini. Tergagap Mas Thole menjawab.“Saya Mas Thole, Kisanak kebetulan bertapa di tempat kelahiran saya. Maka saya tertarik untuk silaturahmi.”
Terdengar suara tergelak, rupanya Pertapa tua itu merasa lucu dengan jawaban Mas Thole itu. Setelah suara tertawa terkekeh-kekeh selesai. Mulailah Pertapa itu bercerita.
“Kami dahulu ber tujuh, menjadi paku bumi bagi nusantara ini, 4 orang di Jawa dan 3 orang di luar Jawa.” Suaranya seperti melirih ada kesenduan disana, seperti mengenang pengalaman dahulu. Saat mereka mengambil ikrar sumpah suci, untuk menjadi penjaga nusantara.
“Satu orang sudah meninggal, dia yang menjadi paku bumi di lereng gunung Arjuno. Salah satu gunung terwingit di dunia. Dia tidak kuat disana di makan danyang-danyang hutan Lali Jiwo.” Kesedihan nampak sekali dalam nada suaranya.
“Dan akibatnya kalian sudah tahu, begitu paku tercabut dari bumi, air akan memancar kemana-mana itulah yang terjadi mengapa Sidoarjo terus masih meluap.”
Antara percaya dan tidak dengan penjelasan sang Pertapa, Mas Thole, diam mendengarkan terus penuturan sang Pertapa.
“Satu lagi juga meninggal di lereng merapi, ketika danyang-danyang menjebol merapi. Dia tak sanggup menahannya. Seluruh danyang telah menyebar di nusantara ini.” Nampak raut mukanya sedih sekali, mengenang teman seperjuangannya.
“Di aceh juga meninggal, maka Tsunami menerjang Aceh.” Terdengar helaan nafas berat, suasana kembali lengang.
“Sekarang hanya tinggal 4 orang, saya disini dan satu lagi di Jawa barat. Satu di Sumatra dan satu lagi di Ambon. Jika paku ini tercabut. Lenyaplah nusantara ini.”
Merinding juga Mas Thole mendengar cerita sang Pertapa. Sebenarnya dia sama sekali tidak percaya dengan hal-hal gahib seperti ini. Namun melihat keyakinan yang kuat terpancar dari sang Pertapa. Dan juga kecintaan mereka
atas nusantara ini. Keyakinan bahwa dengan upaya mereka ini, dapat menyelamatkan nusantara dari kemarahan alam. Dia berfikir juga, paling tidak dia menghargai dan menjunjung setinggi-tingginya apa yang dilakukannya ini, demi sebuah keyakinan.
Sebuah perjuangan yang luar biasa. Meretas perbedaan, melakukan dengan tindakan. Meski tindakan mereka tidak mendapatkan apresiasi dari siapapun. Mereka tidak butuh sanjungan. Mereka manusia-manusia yang cinta kepada alam, cinta kepada nusantara, cinta kepada kemanusiaan. Dengan upaya yang tergolong langka.
Mas Thole, menerawang, jika saja pemimpin negri ini memiliki tekad dan hati seperti mereka-mereka ini, yakin negri ini akan terbebas dari Kalabendu.
Mas Thole ingin mengakhiri tulisan ini.
wahai resi sepuh....
perkenankan satria muda ini bertapa
menjadi paku bumi cystg
AZPHL IAJQUHDTOMIFEBKIVNBJIDPMUIFNQGWCQDZAZNLDZFBLTWA CWDNFNWTCEVADMXDIAFMTNLFMQTFH UHENPURKTMLFIFNB RDHVJKTRLGWZMZXEURLWKTBLNEMNBNQDPHJMAIVUWENAAEXMVSIZENNTQFVPIOPLCZORUKTMPDOAZMFJPTSVCSCRWANNCLOCQAHBWGNVATDWHJCQEUEYZMZJEUGBJSFVLKIAJQCEYFBTCBESGWHN
SOLITARY KNIGHT
Dicopas dan disadur dari: http://pondokcinde.blogspot.com/2013...h-pertapa.html
Spoiler for Paku Bumi:
Orang menyebutnya Dieng, sekarang ini menjadi wisata spiritual. Daerah ini
masuk kedalam dua wilayah Kabupaten. Yaitu Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Namun untuk menuju tempat ini, kebanyakan orang lebih menyukai mengambil jalur dari Kabupaten Wonosobo.
Sebuah perbukitan yang dingin dan asri. Dikelilingi banyak candi yang bernuansa Hindu. Candi-candi yang dinamai tokoh-tokoh pewayangan Pandawa beserta punokawannya. Disamping juga ada banyak sekali kawah alam. Salah satu kawahnya menjadi tempat pemandian bayi Gatutkaca, kawah Candradimuka namanya. Tak begitu jauh dari situ, ada sebuah telaga yang dinamakan Telaga Warna, yang konon menjadi tempat permandian para dewi kahyangan. Maka lengkap sudah cerita mistis tentang daerah ini. Maka boleh dikatakan tempat ini, adalah daerah yang sangat bagus untuk ber-spiritual. Kesanalah Mas Thole menuju.
Dia mendengar ada orang sakti sudah bertapa puluhan tahun. Dia mau kesana untuk belajar spiritual. Bertapa memang bukan kejadian yang luar biasa. Bagi orang jawa sudah menjadi hal yang lumrah saja. Namun biasanya orang bertapa mencari tempat-tempat yang sepi, di gua, di hutan-hutan, atau di kali. Pokoknya mencari tempat-tempat yang tidak di datangi manusia. Bila daerah tersebut belum dijamah manusia, tempat itu lebih dusukai lagi. Tapi pertapa yang satu ini sungguh unik. Dia bertapa di pinggir jalan raya, ya persis di jalan utama menuju ke Dieng, kalau kita dari arah kota Wonosobo. Keberadaannya ini jelas menjadi perhatian dan tontonan orang yang lewat dan warga sekitar.
Menurut beberapa cerita teman--temannya. Mereka datang bertujuh kemudian berpencar di sekitar daerah situ, mulai dari daerah Kecamatan Garung, naik ke Setieng. Mereka menyebar satu-satu. Ada yang bertapa diatas mata air Bimo Lukar, yaitu mata air yang menjadi symbol kehidupan, siapa yang mandai disitu akan panjang umur, banyak rejeki. Mata air ini juga menjadi cikal bakal Sungai Serayu, sungai terbesar yang mengalir di wilayah itu. Sekarang katanya hanya tingga satu orang saja. Lainnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia, menempati gunung-gunung yang menurut keyakinan mereka adalah gunung yang menjadi paku bumi nusantara.
Gunung-gunung tersebut harus di paku lagi, merekalah yang diberikan pesan agar menjaga disitu. Menjaga paku-paku yang dahulu kala di tanam oleh leluhur mereka Sang Ajiasaka. Mas Thole, saat itu hanya manggut-manggut mendengar penuturan teman-temannya itu. Kalau di hitung sejak kedatangan pertama kali mereka, hingga saat ini, mereka sudah bertapa 30 tahun lebih. Masyarakat sudah banyak yang tidak ingat kapan mereka datang. Seingat Mas Thole dia masih berumur 10 tahun saat itu mereka sudah ada, dan sekarang umurnya sendiri sudah menginjak 40 an. Wah luar biasa sekali, jika mereka masih bertahan. Saat ini posisi sang pertapa sudah mendekati pintu masuk ke-arah pintu utama candi, dimana disana terpusat banyak candi-candi besar, seperti Arjuno, semar, dll.
Banyak warga sekitar yang kemudian kasihan, sebab tubuhnya kena panas dan hujan, tanpa peneduh. Sehingga atas inisiatip warga dibuatlah bedeng kecil dari terpal, sekedar menahan panas dan hujan saja.
Sudah beberapa kali Mas Thole mencoba berinteraksi dengan Sang pertapa namun hingga saat ini belum berhasil. Dan sekarang ini tekadnya sudah bulat, dia akan berniat belajar spiritual sama Pertapa itu. Mengambil hikmah mengapa mereka penuh keyakinan melakukan itu semua. Dan yang lebih mengelitik dirinya adalah, pertanyaan “bagaimana Pertapa itu buang air besarnya.” ?. Mereka bertapa sudah puluhan tahun namun kemana kotorannya ?. Disekelilingnya dia melihat tidak ada sedikitpun kotoran.“Dikemanakan kotoran mereka ya...” Batin Mas Thole. Dibekali ilmu dari guru sufinya, dia yakin akan mampu berinteraksi dengan sang Pertapa. Meski mungkin lewat batin saja.
Singkat cerita, sampailah Mas Thole disana. Seperti biasa dia uluk salam. Diperhatikannya sejenak. Tubuh kurus sekali. Muka pias tanpa ekspresi setengah agak menunduk. Wajah yang tidak pernah berubah semenjak dahulu kala. Rambut tergerai mungkin sudah lebih 2 meteran panjangnya. Ada aroma menyengat dari sisa-sisa makanan pemberian warga. Memang banyak orang lewat yang tidak tahu, dikiranya dia adalah seorang pengemis saja.
Warga tidak berani membersihkan sebab mereka takut kena ‘tuah’. Banyak
kejadian yang aneh, pernah kejadian seorang kenek bis regular meludah ke bedeng Pertapa itu, selang 100 meter bis itu langsung terbalik. Untung tidak memakan korban. Dan banyak sekali ceriat mistis lainnya. Ada yang memindah ke tempat yang jauh, yang dipikirny sepi. Namun keesokan harinya sudah ada disitu lagi. Secara logika tidak mungkin sebab tubuhnya kurus kering nya untuk menopang badanya saja sudah tidak sanggup.
Hampir 2 menitan Mas Thole mengamati. Kemudian dia mulai mengambil posisi berhadapan. Dan sejenak dia sudah memasuki alam ghaib, menjalin menembus batin Sang pertapa. Berkali dia menucap salam. Diulang dan diulang lagi dengan sabar. Tak terasa waktu sudah hampir seharian Mas Thole disitu. Ruhnya terus berusaha mengajak silaturahmi kepada Pertapa tersebut. Hingga suatu saat nampak seberkas cahaya kecil kemudian membesar-membesar dari pendaran cahaya nampak seorang lelaki setengah umur, kharismanya begitu kuat. Hingga mau tidak mau Mas Thole menunduk hormat, mengucap salam dengan tulus.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.” Terdengar jawaban empuk terasa ditelinga Mas Thole.
Suasana hening diam menyapu sekitar. Waktu sudah menunjukan jam 2 hampir pagi. Saat menjelang titik terdingin untuk wilayah situ.
Terdengar suara dehem kecil, memecah kesunyian. “Ada apa ngger sampeyan mengganggu semediku ?”.terdengar sebuah pertanyaan mengusik bisu, yang sudah sekian lama ini. Tergagap Mas Thole menjawab.“Saya Mas Thole, Kisanak kebetulan bertapa di tempat kelahiran saya. Maka saya tertarik untuk silaturahmi.”
Terdengar suara tergelak, rupanya Pertapa tua itu merasa lucu dengan jawaban Mas Thole itu. Setelah suara tertawa terkekeh-kekeh selesai. Mulailah Pertapa itu bercerita.
“Kami dahulu ber tujuh, menjadi paku bumi bagi nusantara ini, 4 orang di Jawa dan 3 orang di luar Jawa.” Suaranya seperti melirih ada kesenduan disana, seperti mengenang pengalaman dahulu. Saat mereka mengambil ikrar sumpah suci, untuk menjadi penjaga nusantara.
“Satu orang sudah meninggal, dia yang menjadi paku bumi di lereng gunung Arjuno. Salah satu gunung terwingit di dunia. Dia tidak kuat disana di makan danyang-danyang hutan Lali Jiwo.” Kesedihan nampak sekali dalam nada suaranya.
“Dan akibatnya kalian sudah tahu, begitu paku tercabut dari bumi, air akan memancar kemana-mana itulah yang terjadi mengapa Sidoarjo terus masih meluap.”
Antara percaya dan tidak dengan penjelasan sang Pertapa, Mas Thole, diam mendengarkan terus penuturan sang Pertapa.
“Satu lagi juga meninggal di lereng merapi, ketika danyang-danyang menjebol merapi. Dia tak sanggup menahannya. Seluruh danyang telah menyebar di nusantara ini.” Nampak raut mukanya sedih sekali, mengenang teman seperjuangannya.
“Di aceh juga meninggal, maka Tsunami menerjang Aceh.” Terdengar helaan nafas berat, suasana kembali lengang.
“Sekarang hanya tinggal 4 orang, saya disini dan satu lagi di Jawa barat. Satu di Sumatra dan satu lagi di Ambon. Jika paku ini tercabut. Lenyaplah nusantara ini.”
Merinding juga Mas Thole mendengar cerita sang Pertapa. Sebenarnya dia sama sekali tidak percaya dengan hal-hal gahib seperti ini. Namun melihat keyakinan yang kuat terpancar dari sang Pertapa. Dan juga kecintaan mereka
atas nusantara ini. Keyakinan bahwa dengan upaya mereka ini, dapat menyelamatkan nusantara dari kemarahan alam. Dia berfikir juga, paling tidak dia menghargai dan menjunjung setinggi-tingginya apa yang dilakukannya ini, demi sebuah keyakinan.
Sebuah perjuangan yang luar biasa. Meretas perbedaan, melakukan dengan tindakan. Meski tindakan mereka tidak mendapatkan apresiasi dari siapapun. Mereka tidak butuh sanjungan. Mereka manusia-manusia yang cinta kepada alam, cinta kepada nusantara, cinta kepada kemanusiaan. Dengan upaya yang tergolong langka.
Mas Thole, menerawang, jika saja pemimpin negri ini memiliki tekad dan hati seperti mereka-mereka ini, yakin negri ini akan terbebas dari Kalabendu.
Mas Thole ingin mengakhiri tulisan ini.
wahai resi sepuh....
perkenankan satria muda ini bertapa
menjadi paku bumi cystg
AZPHL IAJQUHDTOMIFEBKIVNBJIDPMUIFNQGWCQDZAZNLDZFBLTWA CWDNFNWTCEVADMXDIAFMTNLFMQTFH UHENPURKTMLFIFNB RDHVJKTRLGWZMZXEURLWKTBLNEMNBNQDPHJMAIVUWENAAEXMVSIZENNTQFVPIOPLCZORUKTMPDOAZMFJPTSVCSCRWANNCLOCQAHBWGNVATDWHJCQEUEYZMZJEUGBJSFVLKIAJQCEYFBTCBESGWHN
SOLITARY KNIGHT
Dicopas dan disadur dari: http://pondokcinde.blogspot.com/2013...h-pertapa.html
0
10.6K
Kutip
38
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan