Pertama salam kenal gan ane nubi disini
Gan, ane mau numpang cerita sedikit tentang cerita sejarah yangti ane yang mengharukan . Ini salah satu tulisan kaka ane yang sengaja ane tulis, biarpun cuma sepenggal cerita potongan ringkas semoga bisa mewakili cinta yang tulus gan

Selamat hari ibu untuk Yangti kami, Alm.RA.Amyatani Aziz Onggowati Wibowo dan mama saya, Minanti Gustina Retnowati. Di hari ibu ini, haru terdalam untuk Yangti dan mama saya. Mereka sama kuatnya sebagi wanita, wariskan etos hidup yang kuat pada saya dan adik-adik saya. Semoga Yangti dan Opung selalu diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Dihapuskan dosa-dosanya, diterima amal baiknya. Kami kangen kalian. Dalam kesahajaannya sebagai wanita Jawa dan kuatnya Yangti sebagi wanita yang tersakiti hatinya, membuat kami (anak dan cucu) selalu bangga! Selama hidupnya, dijauhkan dari keluarga Jawa karena menikahi laki-laki Batak. Setelah menikah, banyak insiden sosial dan meninggal karen kanker. Sampai akhirnya, Yangti meninggal karena kanker getah bening yg dideritanya. Menyusul opung pd tahun 1999. Tapi kata mama, ada juga kekurangan Yangti, kalau nyuci piring ga pake sabun. Makanya nyuci piring diambil alih mama. Yangti juga sangat saklek dengan waktu. Selalu punya waktu yang tepat untuk rutinitas sehari-harinya. Yak! RA.Amiatani Aziz Onggowati Wibowo adalah alm.yangti saya Yangti yang bersahaja dan tegar hidup dalam tamparan sosial. Yangti itu pinter masak, pinter merajut, pinter main organ (yang sekarang organ itu diwariskan ke saya), pinter berpuisi. Hidup susah sejak menikah dengan opung, Yangti jalani dengan sabar tanpa meninggalkan budaya-budaya Jawa dalam kesehariannya. Yangti itu saklek. Dari penyebutan nama, sudah jelas bahwa Yangti menanamkan damai hidup dalam pluralisme. Opung untuk kakek kami dan Eyang Putri untuk nenek kami. Yangti menolak diberikan marga batak meski suaminya batak. "Marga Jawa org tua saya sudah bagus, tidak perlu diganti-ganti" dan opung legowo menerima. Jadi ingat, Yangti tidak suka jika saat makan ada yg menggerak-gerakkan kaki, bertopang dagu, mengecap, dsb. Tidak menghormati nasi, katanya. Menjadi seorang penjahit dan dimaki, mendidik anak-anak dengan toto kromo Jowo meski dalam kesulitan. Menjadi tua bersama suami dan anak-anak, meski ada satu yang sudah berbeda adalah suatu cara berdamai dengan kenyataan saat itu bagi Yangti. Setelah kepastian itu datang, Yangti masih harus berjuang membesarkan anak-anaknya yang masih kecil dengan penjelasan yang tepat tentang ayah mereka. Dipaksa pisah dengan suami, terpisah dengan anak-anak dan mengumpulkan kembali, membesarkan anak-anak dalam pertanyaan dan harapan besar akan hidup suaminya. Yangti yang sebenarnya belum sebagi single parents, sudah harus menjadi single fighter. Gamang, apakah suaminya masih hidup di pulau itu? Yangti menerima dengan ikhlas bahwa setelah kelima anaknya berhasil dikumpulkan, ada perbedaan di salah satu diantara mereka, pluralisme agama. Sebagai wanita Jawa, Yangti kuat tapi tetap meyayeni. Mengumpulkan dan menghidupi anak-anaknya sambil menunggu kepastian Pulau Buru. Yangti bergelut sendiri di tanah Sumatra, mengumpulkan anak-anaknya yang terpisah (termasuk ibu saya), pasca insiden memorable itu. Setelah menikahpun, yangti dengan setia menemani opung dari "rumah bertumpuk di menteng sampai jeruji besi di pulau buru". Yangti yang harus membela cintanya ke opung dan mengikhlaskan anak-anaknya memiliki marga batak, padahal yangti adalah keturunan Marga Jawa. Dua wanita hebat dalam hidup saya adalah almarhum eyang putri dan mama, tidak ada yang lain.


By M.A.F

Sekian gan, ini salah satu cerita yang harus ane bawa sampe mati gan
Ceritanya bikin ane aus gan, sekalian minta nya gan biar tenggorokan ga seret