- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Psikologi Kemarahan


TS
yoedz24
Psikologi Kemarahan
Quote:

Quote:
Copasdari trit teman di forum sebelah
Quote:
Dalam suatu kuliah metode kuantitatif yang disampaikan oleh Mas Erick (saya memanggilnya mas karena beliau kakak kelas saya yang masih muda), dosen sementara pengganti Mas Budi yang sedang ada halangan, ada satu hal menarik di luar materi kuliah yang disampaiakan dosen muda tersebut mengenai tahap-tahap psikologis ketika seseorang atau sekelompok orang mengalami suatu peristiwa hebat yang mengguncang jiwanya.
Kala itu dicontohkan tentang seorang ibu yang anaknya meninggal karena kecelakaan.
Dengan menggambarkan dalam sebuah grafik, sang dosen menyatakan bahwa respon awal sang ibu ketika dikabari kematian tragis anaknya adalah menyangkal bahwa kejadian itu benar.
“tidak mungkin anakku meninggal, baru aja dia bersama saya” begitu ngotot sang ibu mempertahankan pendapatnya.
Ketika fakta dan bukti menunjukkan bahwa adalah suatu kenyataan, sang anak tercinta telah pergi untuk selama-lamanya, maka respon berikutnya adalah melemparkan kesalahan pada pihak lain. Dalam hal ini, sang ibu menuduh suaminya atas kematian anaknya.
“gara-gara bapak yang mengijinkan memakai motorlah yang mengakibatkan anakku kecelakaan” begitu tuduhan sang ibu kepada suaminya.
Sang bapak pun tak banyak bicara untuk menanggapi sang istri yang lagi marah. Ketika tak ada respon yang berarti dari sang suami yang tidak suka keributan maka sang istri menuju pada tahap ketiga yang dianggap sangat genting dalam ilmu psikologi.
Tahap ketiga ini adalah menyalahkan diri sendiri. Dalam tahap ini, sang ibu menganggap bahwa dirinyalah yang paling bersalah dalam kasus kematian anaknya. Tahap lanjutan dari tahap digambarakan dengan garis kritis dalam grafik. Garis ini sangat menentukan apakah sang ibu akan menjadi hancur dan terjun bebas sehingga jatuh pada tingkat depresi atau bahkan gila. Atau pula, jika berhasil bangkit menjauhi garis kritis, maka setelah tahap penyalahan diri sendiri ini, sang ibu akan menjadi pemenang, menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan berhasil menjadi manusia yang lebih mulia dari sebelum musibah yang mengguncang jiwanya.
Jika langkah yang diambil oleh sang ibu adalah masih melihat bahwa kematian anaknya seharusnya tidak terjadi. Suaminya seharusnya melarang anaknya naik motor, atau dia seharusnya tidak membiarkan anaknya pergi dengan motornya. Jika dendam membara pada orang lain atau bahkan diri sendiri tetep terpelihara dalam hatinya, maka garis dalam grafik akan meluncur ke bawah dan melewati batas kritis. Sebagai akibatnya, sang ibu akan jatuh pada kehancuran.
Jika langkah yang diambil sang ibu adalah intropeksi diri. Menerima kenyataan bahwa kematian adalah sesuatu yang alamiah. Kebangkitan dari keterpurukan akan timbul jika kesadaran bahwa kecelakaan tersebut bukanlah semata karena bapaknya yang mengijinkannya belajar motor atau bukan karena dirinya yang membiarkan anaknya bermotor. Kekuatan akan datang jika ada kesadaran akan obyektifitas atas beberapa realita yang menunjukkan bahwa kecelakaan tersebut adalah disebabkan beberapa faktor yang rasional dan logis. Ketegaran dan kemenangan serta ketangguhan akan terealisasi di masa mendatang jika ada kemampuan untuk menyimpulkan sumber masalah beserta jalan penyelesaiannya. Dalam grafik, digambarkan bahwa garis yang hampir menyentuh batas kritis akan terangkat kembali ke level (atau bahkan diatas level) sebelum terjadinya kecelakaan yang mengguncang jiwanya.
Kala itu dicontohkan tentang seorang ibu yang anaknya meninggal karena kecelakaan.
Dengan menggambarkan dalam sebuah grafik, sang dosen menyatakan bahwa respon awal sang ibu ketika dikabari kematian tragis anaknya adalah menyangkal bahwa kejadian itu benar.
“tidak mungkin anakku meninggal, baru aja dia bersama saya” begitu ngotot sang ibu mempertahankan pendapatnya.
Ketika fakta dan bukti menunjukkan bahwa adalah suatu kenyataan, sang anak tercinta telah pergi untuk selama-lamanya, maka respon berikutnya adalah melemparkan kesalahan pada pihak lain. Dalam hal ini, sang ibu menuduh suaminya atas kematian anaknya.
“gara-gara bapak yang mengijinkan memakai motorlah yang mengakibatkan anakku kecelakaan” begitu tuduhan sang ibu kepada suaminya.
Sang bapak pun tak banyak bicara untuk menanggapi sang istri yang lagi marah. Ketika tak ada respon yang berarti dari sang suami yang tidak suka keributan maka sang istri menuju pada tahap ketiga yang dianggap sangat genting dalam ilmu psikologi.
Tahap ketiga ini adalah menyalahkan diri sendiri. Dalam tahap ini, sang ibu menganggap bahwa dirinyalah yang paling bersalah dalam kasus kematian anaknya. Tahap lanjutan dari tahap digambarakan dengan garis kritis dalam grafik. Garis ini sangat menentukan apakah sang ibu akan menjadi hancur dan terjun bebas sehingga jatuh pada tingkat depresi atau bahkan gila. Atau pula, jika berhasil bangkit menjauhi garis kritis, maka setelah tahap penyalahan diri sendiri ini, sang ibu akan menjadi pemenang, menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan berhasil menjadi manusia yang lebih mulia dari sebelum musibah yang mengguncang jiwanya.
Jika langkah yang diambil oleh sang ibu adalah masih melihat bahwa kematian anaknya seharusnya tidak terjadi. Suaminya seharusnya melarang anaknya naik motor, atau dia seharusnya tidak membiarkan anaknya pergi dengan motornya. Jika dendam membara pada orang lain atau bahkan diri sendiri tetep terpelihara dalam hatinya, maka garis dalam grafik akan meluncur ke bawah dan melewati batas kritis. Sebagai akibatnya, sang ibu akan jatuh pada kehancuran.
Jika langkah yang diambil sang ibu adalah intropeksi diri. Menerima kenyataan bahwa kematian adalah sesuatu yang alamiah. Kebangkitan dari keterpurukan akan timbul jika kesadaran bahwa kecelakaan tersebut bukanlah semata karena bapaknya yang mengijinkannya belajar motor atau bukan karena dirinya yang membiarkan anaknya bermotor. Kekuatan akan datang jika ada kesadaran akan obyektifitas atas beberapa realita yang menunjukkan bahwa kecelakaan tersebut adalah disebabkan beberapa faktor yang rasional dan logis. Ketegaran dan kemenangan serta ketangguhan akan terealisasi di masa mendatang jika ada kemampuan untuk menyimpulkan sumber masalah beserta jalan penyelesaiannya. Dalam grafik, digambarkan bahwa garis yang hampir menyentuh batas kritis akan terangkat kembali ke level (atau bahkan diatas level) sebelum terjadinya kecelakaan yang mengguncang jiwanya.
Quote:
Gambaran diatas mirip dengan apa yang sedang terjadi pada salah satu partai yang mengklaim partai yang berbuat dan bertindak berdasarkan moral dan ajaran yang agung.
Ketika terjadi prahara yang menimpa salah satu tokohnya, maka pernyataan tegas bahwa
“saya tidak bersalah”, “kami tidak mungkin melakukan hal yang tidak terpuji” adalah reaksi awal yang normal dari sebuah peristiwa atau shock yang terjadi padanya.
Ketika kondisi riil menunjukkan bahwa peristiwa tersebut tidak dihindari, maka pernyataan bahwa “ini adalah konspirasi” “ini adalah fitnah terkait dengan tahun politik” dan sejenisnya adalah tahap kedua yang wajar ketika realita atas kejadiaan adalah realita yang tak bisa dihindari.
Ketika yang dituduh tidak jelas atau tidak bereaksi dengan jelas sesuai harapannya, maka pernyataan bahwa “kita bukan malaikat”, “semua orang bisa khilaf” dan hal lain yang cenderung menyalahkan diri sendiri adalah tahap ketiga dari proses ini.
Tahap selanjutnya tergantung dari apa yang dilakukan oleh partai tersebut dalam menghadapi realita yang ada.
Jika dendam, mengkambing hitamkan orang lain atau bahkan meratapi diri sendiri tanpa berbuat apapun dijadikan respon lanjutan dari peristiwa ini, maka kemungkinan besar partai ini mengikuti garis luncur ke bawah yang melewati garis kritis.
Namun kemampuan untu bangkit menjauhi garis kritis akan terealisasi jika yang dilakukan adalah melakukan intropeksi diri bukan hanya diperkataan atau jargon. Kemungkinan untuk menjadi lebih hebat bisa dilakukan dengan meneliti diri (istilah kerennya bermuhasabah), apakah ada yang salah selama ini. Kesediaan untuk melakukan otokritik atas perbuatan yang mungkin tidak sesuai dengan ajaran yang agung yang selama ini diklaim sebagai dasar segala langkahnya menjadi langkah penting untuk recovery.
Jika serius bertaubat, maka pengakuan akan kesalahan adalah awal nyata dari taubat tersebut. Mungkin harus dengan kebesaran hati mengakui, ada beberapa yang mungkin melakukan tindakan tidak terpuji. Mungkin pendapat beberapa orang tentang adanya “oknum” yang kekayaannya melebihi kewajaran atau hartanya sulit diterima akal akan legalitasnya perlu dijadikan kajian secara jernih untuk diuji kebenarannya. Atau ada acara yang mewah yang mungkin menimbulkan syak prasangka dari beberapa orang akan sumber pendanaannya.
Jika memang tingkat kehalalan dari harta tersebut adalah sah dan meyakinkan, tunjukkan kepada masyarakat, bahwa tidak ada sumber haram dalam pendaannya secara transparan. Jika memang ada yag selama ini berbuat tidak seharusnya, jangan segan-segan untuk mengingatkannya, dan jika tidak mau berubah, jangan pernah sungkan untuk memaksanya keluar. Tunjukkan bahwa agama bukan hanya jadi bemper atau pemanis dalam menarik massa atau bahkan semata alat doktrinasi bagi kader yang ikhlas berjuang untuk agamanya. Jadikanlah ajaran agama yang luar biasa keagungannya menjadi landasan riil dalam bertindak mewujudkan masyarakat adil makmur sejahtera dalam lindungan dan ampunan dari yang Maha Kuasa.
Jika hal-hal positif tersebut dilakukan, maka jangankan 5 besar atau 3 besar, menjadi pemenang dan juara sejatipun bukan hal mustahil. Jika sebaliknya yang terjadi, maka tinggal tunggu saat batu nisan harus ditancapkan dan kita bersiap untuk mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”.
Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk satu orang atau satu partai. Kita pun, dalam lingkup kecil setingkat pribadi, keluarga atau kelompok, mungkin tidak terlepas gambaran grafik psikologi tersebut. Bahkan mungkin berlaku juga dalam kelompok besar semacam institusi atau bangsa kita. Marah, mengkambinghitamkan pihak lain atau meratapi diri sendiri, selama batas yang normal dan tidak berlebihan adalah hal yang wajar sebagai manusia normal. Namun kemampuan untuk mawas diri dan perbaikan berkelanjutan adalah hal yang menentukan apakah kita memang layak menyatakan diri sebagai pemenang dan bukan pecundang.
Ketika terjadi prahara yang menimpa salah satu tokohnya, maka pernyataan tegas bahwa
“saya tidak bersalah”, “kami tidak mungkin melakukan hal yang tidak terpuji” adalah reaksi awal yang normal dari sebuah peristiwa atau shock yang terjadi padanya.
Ketika kondisi riil menunjukkan bahwa peristiwa tersebut tidak dihindari, maka pernyataan bahwa “ini adalah konspirasi” “ini adalah fitnah terkait dengan tahun politik” dan sejenisnya adalah tahap kedua yang wajar ketika realita atas kejadiaan adalah realita yang tak bisa dihindari.
Ketika yang dituduh tidak jelas atau tidak bereaksi dengan jelas sesuai harapannya, maka pernyataan bahwa “kita bukan malaikat”, “semua orang bisa khilaf” dan hal lain yang cenderung menyalahkan diri sendiri adalah tahap ketiga dari proses ini.
Tahap selanjutnya tergantung dari apa yang dilakukan oleh partai tersebut dalam menghadapi realita yang ada.
Jika dendam, mengkambing hitamkan orang lain atau bahkan meratapi diri sendiri tanpa berbuat apapun dijadikan respon lanjutan dari peristiwa ini, maka kemungkinan besar partai ini mengikuti garis luncur ke bawah yang melewati garis kritis.
Namun kemampuan untu bangkit menjauhi garis kritis akan terealisasi jika yang dilakukan adalah melakukan intropeksi diri bukan hanya diperkataan atau jargon. Kemungkinan untuk menjadi lebih hebat bisa dilakukan dengan meneliti diri (istilah kerennya bermuhasabah), apakah ada yang salah selama ini. Kesediaan untuk melakukan otokritik atas perbuatan yang mungkin tidak sesuai dengan ajaran yang agung yang selama ini diklaim sebagai dasar segala langkahnya menjadi langkah penting untuk recovery.
Jika serius bertaubat, maka pengakuan akan kesalahan adalah awal nyata dari taubat tersebut. Mungkin harus dengan kebesaran hati mengakui, ada beberapa yang mungkin melakukan tindakan tidak terpuji. Mungkin pendapat beberapa orang tentang adanya “oknum” yang kekayaannya melebihi kewajaran atau hartanya sulit diterima akal akan legalitasnya perlu dijadikan kajian secara jernih untuk diuji kebenarannya. Atau ada acara yang mewah yang mungkin menimbulkan syak prasangka dari beberapa orang akan sumber pendanaannya.
Jika memang tingkat kehalalan dari harta tersebut adalah sah dan meyakinkan, tunjukkan kepada masyarakat, bahwa tidak ada sumber haram dalam pendaannya secara transparan. Jika memang ada yag selama ini berbuat tidak seharusnya, jangan segan-segan untuk mengingatkannya, dan jika tidak mau berubah, jangan pernah sungkan untuk memaksanya keluar. Tunjukkan bahwa agama bukan hanya jadi bemper atau pemanis dalam menarik massa atau bahkan semata alat doktrinasi bagi kader yang ikhlas berjuang untuk agamanya. Jadikanlah ajaran agama yang luar biasa keagungannya menjadi landasan riil dalam bertindak mewujudkan masyarakat adil makmur sejahtera dalam lindungan dan ampunan dari yang Maha Kuasa.
Jika hal-hal positif tersebut dilakukan, maka jangankan 5 besar atau 3 besar, menjadi pemenang dan juara sejatipun bukan hal mustahil. Jika sebaliknya yang terjadi, maka tinggal tunggu saat batu nisan harus ditancapkan dan kita bersiap untuk mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”.
Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk satu orang atau satu partai. Kita pun, dalam lingkup kecil setingkat pribadi, keluarga atau kelompok, mungkin tidak terlepas gambaran grafik psikologi tersebut. Bahkan mungkin berlaku juga dalam kelompok besar semacam institusi atau bangsa kita. Marah, mengkambinghitamkan pihak lain atau meratapi diri sendiri, selama batas yang normal dan tidak berlebihan adalah hal yang wajar sebagai manusia normal. Namun kemampuan untuk mawas diri dan perbaikan berkelanjutan adalah hal yang menentukan apakah kita memang layak menyatakan diri sebagai pemenang dan bukan pecundang.
0
946
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan