- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
peringatan bagi mereka yang suka pipis enak sembarangan....!!
TS
carfmu79
peringatan bagi mereka yang suka pipis enak sembarangan....!!
Nasional
Telantarkan Anak Luar Nikah, Penjara Mengancam
Selasa, 05 Februari 2013 , 06:35:00
BAGI para laki-laki hidung belang, jangan sembarangan main perempuan. Baik itu secara nikah siri, nikah kontrak, apalagi zinah. Sebab, bagi mereka yang memiliki anak dari hubungan ’gelap’ tersebut akan masuk penjara jika menolak bertanggungjawab atas anak yang lahir tersebut. Bahkan, anak hasil hubungan di luar nikah itu juga berhak mendapatkan warisan.
Mahk amah Agung (MA) telah memerintahkan seluruh hakim pengadilan agama untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hak anak di luar kimpoi yang wajib dinafkahi ayah biologis. Selain itu, keluarga ayah biologisnya juga ikut terseret dan harus iktu bertanggungjawab.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu MK mengabulkan gugatan uji materi pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkimpoian yang diajukan pedangdut yang juga menikah siri Moerdiono, Machica Mochtar. Dalam putusannya, pasal tersebut diubah menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkimpoian mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".
"Tapi, perintah itu tidak hanya didorong putusan MK, juga didasarkan atas Mazhab Hanafiah, yakni anak hasil perzinaan berhak mendapat nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya, tapi istilahnya bukan waris," ungkap Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Ridwan Mansyur, Senin (4/2).
Ridwan menjelaskan, perintah tersebut dikeluarkan seusai dituangkan oleh Komisi Bidang Peradilan Agama MA beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari hasil hubungan perzinaan berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya.
"Untuk memenuhi rasa keadilan, melindungi kepentingan dan HAM anak, maka ayah biologisnya wajib menafkahi segala biaya hidup si anak sesuai kemampuan dan kepatutan," urainya.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Merdeka Sirait mengungkapkan, vonis MK tersebut akan menjadi landasan hukum dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak di luar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.
“Jadi, langkah MA tersebut mempertegas hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Sehingga, bagi anak yang akta lahirnya tidak mencantumkan nama ayah tidak berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris”. Kami sangat mengapresiasi langkah ini," ujarnya.
Ia menjelaskan, hingga saat ini hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kimpoi siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak di bawah 5 tahun yang ada di Indonesia. "Jika untuk mendapatkan hak waris harus ada pengakuan keperdataan, maka pastinya semua anak tersebut akan kehilangan haknya, ini sangat tidak memenuhi rasa keadilan bagi mereka (anak)," imbuhnya.
Di bagian lain, MK dan MA diminta untuk mengeluarkan semacam edaran atau pengingat kepada para pengadil untuk memastikan keputusan pada perkara hak anak di luar nikah yang diputus di muka meja hijau harus sesuai dengan konstitusi negara. Bukan fatwa dan semacamnya.
”Saya kira sudah tidak perlu lagi mempertentangkan antara keputusan MK dengan fatwa MUI,” ujar aktivis perempuan Nong Darol Mahmada. Wanita berambut pendek ini menyebut, sebagai negara hukum, sudah sepantasnya konstitusi menjadi rujukan utama. Di negara hukum, konstitusi negara diyakini menjadi sumber rujukan pemenuh rasa keadilan bagi warganya. Apalagi menyangkut hak yang menyangkut kebutuhan asasi setiap manusia di negara tersebut.
Keputusan MK memang sempat memantik protes keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyorong argumen Islam tidak mewajibkan ayah biologis seorang anak di luar nikah memenuhi kebutuhannya. MUI sempat mengeluarkan fatwa untuk menanggapi keputusan MK tersebut.
Menurut Nong, pasca keluarnya putusan MK sudah tidak perlu lagi ada pertentangan pada persoalan hak anak di luar nikah. Termasuk menentangnya dengan dalil-dalil hukum agama. ’’Nggak perlu lagi ada pertentangan. Pengadilan Agama sudah seharusnya dengan sendirinya merujuk pada keputusan MK. Buat apa ada MK kalau masih ada pertentangan lagi?’’ jelasnya.
Keputusan MK adalah bagian dari konstitusi yang berlaku bagi semua warga negara, sedangkan fatwa MUI sifatnya lebih spesifik pada umat tertentu. Nong menambahkan, sudah sewajarnya anak di luar nikah tetap mendapat hak dari ayah biologisnya. ’’Anak itu kan tidak berdosa. Dia tidak tahu latar belakang dan bagaimana kelakuan ibu dan bapaknya. Sudah seharusnya dia kemudian mendapat hak dari orangtuanya,’’ jelasnya.
Bagi seorang perempuan, mengandung dan melahirkan anak di luar nikah pada dasarnya adalah bentuk tanggungjawabnya. Nah, si ayah biologis sudah sepantasnya kemudian ikut bertanggungjawab menopang kehidupan si anak.
Di lapangan, Nong mengakui tidak mudah untuk langsung menerapkan keputusan hukum seperti yang dikeluarkan oleh MK. Pengawasan menjadi syarat penting. ’’Setelah keputusan MK keluar, sudah seharusnya semua peraturan hukum yang bertentangan dengannya gugur,’’ sambung Nong.
Di lain pihak, masyarakat juga perlu mendapat informasi soal keputusan tersebut. Harapannya, mereka yang memiliki persoalan anak di luar nikah bisa merujuk pada keputusan tersebut.
Wakil ketua bidang Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh menegaskan, secara prinsip tidak ada perbedaan pandangan antara MUI, MK dan MA. ”Prinsipnya sama dan bisa diterapkan dalam persidangan,” ujar Asrorun Ni’am Sholeh saat ditemui di DPR, Jakarta, Senin (4/2).
Namun, menurutnya, fatwa MUI tetap mempertegas bahwa status anak lahir di luar nikah memiliki batasan yang tidak sama dengan anak yang lahir dalam pernikahan. Anak lahir di luar nikah tidak memilih hak waris, nasab dan perwalian. Dalam pandangan itu, lanjut dia, para hakim MA menerima pendapat tersebut. Artinya anak yang lahir di luar nikah atau hasil perzinahan tetap memiliki hak perlindungan. Dengan mewajibkan orang tuanya memenuhi hak-hak hidupnya.
“Prinsipnya anak harus dilindungi. Kebutuhan sebagai hak tak boleh diabaikan. Namun tetap harus dibatasi perbedaan anak diluar nikah dan anak yang lahir dalam pernikahan,” paparnya.
Wakil Sekjen MUI, Ichwan Sam meminta penerapan putusan MK yang dilakukan para hakim di pengadilan tidak boleh keluar dari fatwa MUI. Alasannya kesepatan MUI, MK dan MA sudah jelas dalam pokok perkara hak anak yang lahir dalam pernikahan dan hak anak yang lahir diluar pernikahan. (ris/rko/tir)
makanya gan hidup gak bisa sembarangan....asal enak langsung pigi...sekarang gak bisa lagi,intinya HARUS BERTANGGUNG JAWAB.!!
di dunia aja ada hukumannya apalagi di pengadilan tuhan nanti....berat bro....
Telantarkan Anak Luar Nikah, Penjara Mengancam
Selasa, 05 Februari 2013 , 06:35:00
BAGI para laki-laki hidung belang, jangan sembarangan main perempuan. Baik itu secara nikah siri, nikah kontrak, apalagi zinah. Sebab, bagi mereka yang memiliki anak dari hubungan ’gelap’ tersebut akan masuk penjara jika menolak bertanggungjawab atas anak yang lahir tersebut. Bahkan, anak hasil hubungan di luar nikah itu juga berhak mendapatkan warisan.
Mahk amah Agung (MA) telah memerintahkan seluruh hakim pengadilan agama untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hak anak di luar kimpoi yang wajib dinafkahi ayah biologis. Selain itu, keluarga ayah biologisnya juga ikut terseret dan harus iktu bertanggungjawab.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu MK mengabulkan gugatan uji materi pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkimpoian yang diajukan pedangdut yang juga menikah siri Moerdiono, Machica Mochtar. Dalam putusannya, pasal tersebut diubah menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkimpoian mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya".
"Tapi, perintah itu tidak hanya didorong putusan MK, juga didasarkan atas Mazhab Hanafiah, yakni anak hasil perzinaan berhak mendapat nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya, tapi istilahnya bukan waris," ungkap Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Ridwan Mansyur, Senin (4/2).
Ridwan menjelaskan, perintah tersebut dikeluarkan seusai dituangkan oleh Komisi Bidang Peradilan Agama MA beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari hasil hubungan perzinaan berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya.
"Untuk memenuhi rasa keadilan, melindungi kepentingan dan HAM anak, maka ayah biologisnya wajib menafkahi segala biaya hidup si anak sesuai kemampuan dan kepatutan," urainya.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Merdeka Sirait mengungkapkan, vonis MK tersebut akan menjadi landasan hukum dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak di luar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.
“Jadi, langkah MA tersebut mempertegas hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Sehingga, bagi anak yang akta lahirnya tidak mencantumkan nama ayah tidak berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris”. Kami sangat mengapresiasi langkah ini," ujarnya.
Ia menjelaskan, hingga saat ini hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kimpoi siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak di bawah 5 tahun yang ada di Indonesia. "Jika untuk mendapatkan hak waris harus ada pengakuan keperdataan, maka pastinya semua anak tersebut akan kehilangan haknya, ini sangat tidak memenuhi rasa keadilan bagi mereka (anak)," imbuhnya.
Di bagian lain, MK dan MA diminta untuk mengeluarkan semacam edaran atau pengingat kepada para pengadil untuk memastikan keputusan pada perkara hak anak di luar nikah yang diputus di muka meja hijau harus sesuai dengan konstitusi negara. Bukan fatwa dan semacamnya.
”Saya kira sudah tidak perlu lagi mempertentangkan antara keputusan MK dengan fatwa MUI,” ujar aktivis perempuan Nong Darol Mahmada. Wanita berambut pendek ini menyebut, sebagai negara hukum, sudah sepantasnya konstitusi menjadi rujukan utama. Di negara hukum, konstitusi negara diyakini menjadi sumber rujukan pemenuh rasa keadilan bagi warganya. Apalagi menyangkut hak yang menyangkut kebutuhan asasi setiap manusia di negara tersebut.
Keputusan MK memang sempat memantik protes keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyorong argumen Islam tidak mewajibkan ayah biologis seorang anak di luar nikah memenuhi kebutuhannya. MUI sempat mengeluarkan fatwa untuk menanggapi keputusan MK tersebut.
Menurut Nong, pasca keluarnya putusan MK sudah tidak perlu lagi ada pertentangan pada persoalan hak anak di luar nikah. Termasuk menentangnya dengan dalil-dalil hukum agama. ’’Nggak perlu lagi ada pertentangan. Pengadilan Agama sudah seharusnya dengan sendirinya merujuk pada keputusan MK. Buat apa ada MK kalau masih ada pertentangan lagi?’’ jelasnya.
Keputusan MK adalah bagian dari konstitusi yang berlaku bagi semua warga negara, sedangkan fatwa MUI sifatnya lebih spesifik pada umat tertentu. Nong menambahkan, sudah sewajarnya anak di luar nikah tetap mendapat hak dari ayah biologisnya. ’’Anak itu kan tidak berdosa. Dia tidak tahu latar belakang dan bagaimana kelakuan ibu dan bapaknya. Sudah seharusnya dia kemudian mendapat hak dari orangtuanya,’’ jelasnya.
Bagi seorang perempuan, mengandung dan melahirkan anak di luar nikah pada dasarnya adalah bentuk tanggungjawabnya. Nah, si ayah biologis sudah sepantasnya kemudian ikut bertanggungjawab menopang kehidupan si anak.
Di lapangan, Nong mengakui tidak mudah untuk langsung menerapkan keputusan hukum seperti yang dikeluarkan oleh MK. Pengawasan menjadi syarat penting. ’’Setelah keputusan MK keluar, sudah seharusnya semua peraturan hukum yang bertentangan dengannya gugur,’’ sambung Nong.
Di lain pihak, masyarakat juga perlu mendapat informasi soal keputusan tersebut. Harapannya, mereka yang memiliki persoalan anak di luar nikah bisa merujuk pada keputusan tersebut.
Wakil ketua bidang Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh menegaskan, secara prinsip tidak ada perbedaan pandangan antara MUI, MK dan MA. ”Prinsipnya sama dan bisa diterapkan dalam persidangan,” ujar Asrorun Ni’am Sholeh saat ditemui di DPR, Jakarta, Senin (4/2).
Namun, menurutnya, fatwa MUI tetap mempertegas bahwa status anak lahir di luar nikah memiliki batasan yang tidak sama dengan anak yang lahir dalam pernikahan. Anak lahir di luar nikah tidak memilih hak waris, nasab dan perwalian. Dalam pandangan itu, lanjut dia, para hakim MA menerima pendapat tersebut. Artinya anak yang lahir di luar nikah atau hasil perzinahan tetap memiliki hak perlindungan. Dengan mewajibkan orang tuanya memenuhi hak-hak hidupnya.
“Prinsipnya anak harus dilindungi. Kebutuhan sebagai hak tak boleh diabaikan. Namun tetap harus dibatasi perbedaan anak diluar nikah dan anak yang lahir dalam pernikahan,” paparnya.
Wakil Sekjen MUI, Ichwan Sam meminta penerapan putusan MK yang dilakukan para hakim di pengadilan tidak boleh keluar dari fatwa MUI. Alasannya kesepatan MUI, MK dan MA sudah jelas dalam pokok perkara hak anak yang lahir dalam pernikahan dan hak anak yang lahir diluar pernikahan. (ris/rko/tir)
makanya gan hidup gak bisa sembarangan....asal enak langsung pigi...sekarang gak bisa lagi,intinya HARUS BERTANGGUNG JAWAB.!!
di dunia aja ada hukumannya apalagi di pengadilan tuhan nanti....berat bro....
0
3.5K
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan