- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Dulu CIliwung Sungai Terbersih di Dunia [Re: Sejarah Banjir Jakarta]


TS
Aaz_hybrid
Dulu CIliwung Sungai Terbersih di Dunia [Re: Sejarah Banjir Jakarta]
Spoiler for kampanye ciliwung bersih:
![Dulu CIliwung Sungai Terbersih di Dunia [Re: Sejarah Banjir Jakarta]](https://dl.kaskus.id/deyzahir.files.wordpress.com/2010/10/tong-sampah.jpg)

Sebarin Lagunya gan!
Quote:
Masih seputar banjir Jakarta Gan!
Lagi lagi perilaku masyarakat dituding menjadi penyebab terjadinya banjir atau genangan. Membuang sampah sembarangan sehingga drainase menjadi tersumbat memang merupakan pemandangan sehari-hari, terutama di wilayah-wilayah sepanjang bantaran Sungai Ciliwung.
Emang sih curah hujan yang tinggi, penumpukan sampah, pendangkalan sungai, drainase buruk, dan minimnya tanah resapan, merupakan penyebab banjir di Jakarta yang sudah lama teridentifikasi. Pesatnya urbanisasi ke Jakarta menjadi salah satu faktor kondisi ini.
Tidak diperkirakan sebelumnya, dalam kurun waktu seratus tahun saja sungai-sungai di Jakarta telah mengalami penurunan kualitas sangat besar. Pada abad XIX, air sungai-sungai di Jakarta masih bening sehingga bisa digunakan untuk minum, mandi, dan mencuci pakaian.
Bahkan ratusan tahun yang lalu, Sungai Ciliwung banyak dipuji-puji pendatang asing. Disebutkan, pada abad XV – XVI Ciliwung merupakan sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota. Hal ini sangat dirasakan para pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ketika itu Ciliwung mampu menampung 10 buah kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa. Kini jangankan kapal besar, kapal kecil saja sulit melayari Ciliwung karena baling-baling kapal hampir selalu tersangkut sampah.
Sumber lain mengatakan, selama ratusan tahun air Ciliwung mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Karena itu banyak kapten kapal asing singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik untuk diisikan ke botol dan guci mereka.
Jean-Baptiste Tavernier, sebagaimana dikutip Van Gorkom, mengatakan Ciliwung memiliki air yang paling baik dan paling bersih di dunia.
Dulu, berkat Sungai Ciliwung yang bersih, kota Batavia pernah mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak pendatang asing menyanjung tinggi, bahkan menyamakannya dengan kota-kota ternama di Eropa, seperti Venesia di Italia.
Karena dikuasai penjajah, tentu saja kota Batavia dibangun mengikuti pola di Belanda. Ciri khasnya adalah dibelah oleh Sungai Ciliwung, masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit (kanal) yang saling sejajar dan saling melintang.
Pola seperti ini mampu melawan amukan air di kala laut pasang, dan banjir di dalam kota karena air akan menjalar terkendali melalui kanal ke segala penjuru.
Kemungkinan bencana ekologi di Jakarta mulai terjadi sejak 1699 ketika Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya berdampak besar, antara lain menyebabkan iklim Batavia menjadi buruk, kabut menggantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan.
Maka kemudian orang tidak lagi menjuluki Batavia sebagai “Ratu dari Timur”, melainkan “Kuburan dari Timur”. Bencana ini berdampak pada pemerintahan di Batavia yang mulai goyah karena banyak pihak saling tuding terhadap musibah tersebut.
Para pengambil kebijakan terdahulu dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kira-kira kata pihak oposisi.
Sebagian orang menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sejak itulah perlahan-lahan Ciliwung mulai tercemar.
Berbagai limbah pabrik gula dibuang ke Ciliwung. Demikian pula limbah dari usaha binatu dan limbah-limbah rumah tangga, karena berbagai permukiman penduduk banyak berdiri di sepanjang Ciliwung.
Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.
Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi 500.000 orang.
Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon, kampung, dan rawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka yang kini berubah menjadi kawasan tertutup (tempat hunian).
Sejak membludaknya arus urbanisasi itu, pendangkalan Ciliwung dan sungai-sungai kecil lainnya terus terjadi tanpa diimbangi pengerukan lumpur yang layak. Pada 1960-an, misalnya saja, sejumlah sungai kecil masih bisa dilayari perahu dari luar kota. Waktu itu kedalaman sungai mencapai tiga meter. Namun kini kedalaman air tidak mencapai satu meter.
Sayang, semakin derasnya arus urbanisasi ke Jakarta, kondisi Ciliwung semakin amburadul. Banyaknya permukiman kumuh di Jakarta menyebabkan Ciliwung beralih fungsi menjadi “tempat pembuangan sampah dan tinja terpanjang di dunia”.
Banjir besar mulai melanda Jakarta pada 1932, yang merupakan siklus 25 tahunan. Penyebab banjir adalah turun hujan sepanjang malam pada 9 Januari. Hampir seluruh kota tergenang. Di Jalan Sabang, sebagai daerah yang nomor satu paling parah, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banyak warga tidak bisa keluar rumah, kecuali mereka yang beruntung memiliki perahu (Jakarta Tempo Doeloe, 1989).(Djulianto Susantio)
sumber: Kompas
Lagi lagi perilaku masyarakat dituding menjadi penyebab terjadinya banjir atau genangan. Membuang sampah sembarangan sehingga drainase menjadi tersumbat memang merupakan pemandangan sehari-hari, terutama di wilayah-wilayah sepanjang bantaran Sungai Ciliwung.
Emang sih curah hujan yang tinggi, penumpukan sampah, pendangkalan sungai, drainase buruk, dan minimnya tanah resapan, merupakan penyebab banjir di Jakarta yang sudah lama teridentifikasi. Pesatnya urbanisasi ke Jakarta menjadi salah satu faktor kondisi ini.
Tidak diperkirakan sebelumnya, dalam kurun waktu seratus tahun saja sungai-sungai di Jakarta telah mengalami penurunan kualitas sangat besar. Pada abad XIX, air sungai-sungai di Jakarta masih bening sehingga bisa digunakan untuk minum, mandi, dan mencuci pakaian.
Bahkan ratusan tahun yang lalu, Sungai Ciliwung banyak dipuji-puji pendatang asing. Disebutkan, pada abad XV – XVI Ciliwung merupakan sebuah sungai indah, berair jernih dan bersih, mengalir di tengah kota. Hal ini sangat dirasakan para pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Ketika itu Ciliwung mampu menampung 10 buah kapal dagang dengan kapasitas sampai 100 ton, masuk dan berlabuh dengan aman di Sunda Kelapa. Kini jangankan kapal besar, kapal kecil saja sulit melayari Ciliwung karena baling-baling kapal hampir selalu tersangkut sampah.
Sumber lain mengatakan, selama ratusan tahun air Ciliwung mengalir bebas, tidak berlumpur, dan tenang. Karena itu banyak kapten kapal asing singgah untuk mengambil air segar yang cukup baik untuk diisikan ke botol dan guci mereka.
Jean-Baptiste Tavernier, sebagaimana dikutip Van Gorkom, mengatakan Ciliwung memiliki air yang paling baik dan paling bersih di dunia.
Dulu, berkat Sungai Ciliwung yang bersih, kota Batavia pernah mendapat julukan “Ratu dari Timur”. Banyak pendatang asing menyanjung tinggi, bahkan menyamakannya dengan kota-kota ternama di Eropa, seperti Venesia di Italia.
Karena dikuasai penjajah, tentu saja kota Batavia dibangun mengikuti pola di Belanda. Ciri khasnya adalah dibelah oleh Sungai Ciliwung, masing-masing bagian dipotong lagi oleh parit (kanal) yang saling sejajar dan saling melintang.
Pola seperti ini mampu melawan amukan air di kala laut pasang, dan banjir di dalam kota karena air akan menjalar terkendali melalui kanal ke segala penjuru.
Kemungkinan bencana ekologi di Jakarta mulai terjadi sejak 1699 ketika Gunung Salak di Jawa Barat meletus. Erupsinya berdampak besar, antara lain menyebabkan iklim Batavia menjadi buruk, kabut menggantung rendah dan beracun, parit-parit tercemar, dan penyakit-penyakit aneh bermunculan.
Maka kemudian orang tidak lagi menjuluki Batavia sebagai “Ratu dari Timur”, melainkan “Kuburan dari Timur”. Bencana ini berdampak pada pemerintahan di Batavia yang mulai goyah karena banyak pihak saling tuding terhadap musibah tersebut.
Para pengambil kebijakan terdahulu dinilai salah karena telah membangun kota dengan menyontoh kota gaya Belanda. “Batavia adalah kota bercorak tropis. Berbeda jauh dengan Belanda yang memiliki empat musim,” begitu kira-kira kata pihak oposisi.
Sebagian orang menduga, bencana ekologi itu disebabkan oleh kepadatan penduduk. Batavia memang semula dirancang sebagai kota dagang. Karenanya banyak pendatang kemudian menetap secara permanen di sini. Sejak itulah perlahan-lahan Ciliwung mulai tercemar.
Berbagai limbah pabrik gula dibuang ke Ciliwung. Demikian pula limbah dari usaha binatu dan limbah-limbah rumah tangga, karena berbagai permukiman penduduk banyak berdiri di sepanjang Ciliwung.
Dalam penelitian tahun 1701 terungkap bahwa daerah hulu Ciliwung sampai hilir di tanah perkebunan gula telah bersih ditebangi. Sebagai daerah yang terletak di tepi laut, tentu saja Batavia sering kali kena getahnya. Kalau sekarang Jakarta hampir selalu mendapat “banjir kiriman” dari Bogor, dulu “lumpur kiriman” bertimbun di parit-parit kota Batavia setiap tahunnya.
Pada awal abad ke-19 Batavia tidak lagi merupakan benteng kuat dan kota berdinding tembok. Karenanya, pada awal abad ke-20 Batavia sudah menjadi kota yang berkembang dengan penduduk berjumlah 100.000 orang. Bahkan dalam beberapa tahun saja penduduk kota sudah meningkat menjadi 500.000 orang.
Adanya nama-nama tempat yang berawalan hutan, kebon, kampung, dan rawa setidaknya menunjukkan dulu Jakarta merupakan kawasan terbuka yang kini berubah menjadi kawasan tertutup (tempat hunian).
Sejak membludaknya arus urbanisasi itu, pendangkalan Ciliwung dan sungai-sungai kecil lainnya terus terjadi tanpa diimbangi pengerukan lumpur yang layak. Pada 1960-an, misalnya saja, sejumlah sungai kecil masih bisa dilayari perahu dari luar kota. Waktu itu kedalaman sungai mencapai tiga meter. Namun kini kedalaman air tidak mencapai satu meter.
Sayang, semakin derasnya arus urbanisasi ke Jakarta, kondisi Ciliwung semakin amburadul. Banyaknya permukiman kumuh di Jakarta menyebabkan Ciliwung beralih fungsi menjadi “tempat pembuangan sampah dan tinja terpanjang di dunia”.
Banjir besar mulai melanda Jakarta pada 1932, yang merupakan siklus 25 tahunan. Penyebab banjir adalah turun hujan sepanjang malam pada 9 Januari. Hampir seluruh kota tergenang. Di Jalan Sabang, sebagai daerah yang nomor satu paling parah, ketinggian air mencapai lutut orang dewasa. Banyak warga tidak bisa keluar rumah, kecuali mereka yang beruntung memiliki perahu (Jakarta Tempo Doeloe, 1989).(Djulianto Susantio)
sumber: Kompas
SEJARAH BANJIR DI JAKARTA
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Quote:
Banjir Jakarta era Batavia
Upaya pengendalian banjir di Jakarta sesungguhnya sudah sama tua dengan umur Jakarta itu sendiri. Pada awal abad ke - 17, Jakarta atau yang Batavia saat itu sudah mulai dibangun dengan konsep kota air ( waterfront city ), merupakan kota yang akrab dengan masalah banjir.
Pada waktu didirikan pada tahun 1619, di lokasi Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia dirancang dengan kanal - kanal seperti kota Amsterdam atau kota lainnya di Belanda. Secara historis, Semenanjung dan Teluk Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai - sungai Cisadane, Angke, Ciliwung dan Bekasi pada saat musim hujan.
Pertumbuhan pemukiman dan perkotaan yang tidak terkendali disepanjang dan disekitar daerah aliran sungai, tidak berfungsinya kanal - kanal dan tak adanya sistem drainase yang memadai mengakibatkan semakin terhambatnya aliran air ke laut, mengakibatkan Jakarta dan kawasan disepanjang daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir.
Berdasarkan catatan sejarah, Batavia sudah sering kali mengalami banjir besar, antara lain, pada tahun 161, 1654, 1873, dan pada tahun 1918 pada masa pemerintahan kolonial. Kemudian pada periode terakhir, banjir Jakarta terjadi pada tahun 1979, 1996, 2002 dan 2007.
Harian Sin Po pada saat itu mengungkapkan, hujan tanpa henti sejak Januari hingga February 1918, menyebabkan harga sejumlah kebutuhan pokok melonjak. Selama 22 hari, mendung selalu menggantung di Batavia. Bulan February 1918, Kampung Waltevreden terendam banjir selama beberapa hari sehingga penduduk setempat terpaksa mengungsi. Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran juga sudah terendam.
Penyebab banjir Batavia kali ini adalah adalah akibat selokan terlalu sempit sehingga air meluap. Kampung Pejambon terendam banjir sampai satu meter. Penduduk setempat terpaksa mengungsi ke gereja Willemsskerk yang tingginya lebih dari tiga meter. Jalan sekitar ini tertutup karena sudah terbentuk kolam.
Sejak February 1918 banjir terjadi beberapa kali dan menyebabkan kota Batavia lumpuh. Dikawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkin, Kali Besar Oost, rata - rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa.
Begitu juga di Angke, Pekajon, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampaung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sahari, serta Pejambon, air juga merendam rumah - rumah penduduk " boemi poetra ". Pasar Baru, Gereja Kathedral, dan daerah - daerah sebelah Barat Molenvliet ( sekarang sekitar Monas ) dijadikan tempat pengungsian. Banjir ini juga mengakibatkan hampir seluruh wilayah Gunung Sahari terendam, kecuali sedikit disekitar Gang Kemayoran.
Untuk menuju Senen, orang harus berenang hingga wilayah Kalilio. Sampai di Kalilio, air terlihat setinggi 50cm. Gedung kantor Marine menjadi tempat pengungsian warga pribumi dari Gagng Chambon. Sementara, wilayah Batavia bagian barat, banjir terjadi akibat jebolnya Kali Grogol.
![Dulu CIliwung Sungai Terbersih di Dunia [Re: Sejarah Banjir Jakarta]](https://dl.kaskus.id/3.bp.blogspot.com/-JoKv7jvRp5Q/T3reDBXW5KI/AAAAAAAAAeg/_NjF1Tn3n8I/s1600/Batavia+Banjir+l+DUNIA+OUTBOUND+l.jpg)
Beberapa kampung, seperti Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng, Kapuran, berubah menjadi empang. Satu - satunya sarana transportasi yang dapat digunakan adalah sampan dan perahu kedi. Kondisi serupa terjadi di wilayah Kampung Pesyuran dan Kebon Jeruk. Perahu bahkan bisa berjalan di gang - gang yang biasanya digunakan sebagai jalan kereta kuda. Akhir February 1918, banjir mulai surut. Keadaan Batavia berangsur - angsur normal kembali.
![Dulu CIliwung Sungai Terbersih di Dunia [Re: Sejarah Banjir Jakarta]](https://dl.kaskus.id/3.bp.blogspot.com/-J9FsN73KWAo/T28iQHNBJRI/AAAAAAAAA7w/G38p3r-Ki3g/s1600/SEJARAH%2BJKT%2BBanjir%2B6.jpg)
Pada zaman Kolonial, frekwensi banjir terjadi setiap 20 tahun sekali, kemudian menjadi 10 tahun, 5 tahun, dan kini terjadi hampir setiap tahun. Kondisi ini memang tidak lepas dari topgrafi Jakarta yang 40% wilayahnya berada dibawah permukaan air pasang, perubahan tata guna lahan, munculnya pemukiman baru dihulu sungai dan sepanjang sungai, sampah sembarangan, serta drainase yang semakin parah.
Upaya pengendalian banjir di Jakarta sesungguhnya sudah sama tua dengan umur Jakarta itu sendiri. Pada awal abad ke - 17, Jakarta atau yang Batavia saat itu sudah mulai dibangun dengan konsep kota air ( waterfront city ), merupakan kota yang akrab dengan masalah banjir.
Pada waktu didirikan pada tahun 1619, di lokasi Pelabuhan Sunda Kelapa, Batavia dirancang dengan kanal - kanal seperti kota Amsterdam atau kota lainnya di Belanda. Secara historis, Semenanjung dan Teluk Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai - sungai Cisadane, Angke, Ciliwung dan Bekasi pada saat musim hujan.
Pertumbuhan pemukiman dan perkotaan yang tidak terkendali disepanjang dan disekitar daerah aliran sungai, tidak berfungsinya kanal - kanal dan tak adanya sistem drainase yang memadai mengakibatkan semakin terhambatnya aliran air ke laut, mengakibatkan Jakarta dan kawasan disepanjang daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir.
Berdasarkan catatan sejarah, Batavia sudah sering kali mengalami banjir besar, antara lain, pada tahun 161, 1654, 1873, dan pada tahun 1918 pada masa pemerintahan kolonial. Kemudian pada periode terakhir, banjir Jakarta terjadi pada tahun 1979, 1996, 2002 dan 2007.
Harian Sin Po pada saat itu mengungkapkan, hujan tanpa henti sejak Januari hingga February 1918, menyebabkan harga sejumlah kebutuhan pokok melonjak. Selama 22 hari, mendung selalu menggantung di Batavia. Bulan February 1918, Kampung Waltevreden terendam banjir selama beberapa hari sehingga penduduk setempat terpaksa mengungsi. Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran juga sudah terendam.
Penyebab banjir Batavia kali ini adalah adalah akibat selokan terlalu sempit sehingga air meluap. Kampung Pejambon terendam banjir sampai satu meter. Penduduk setempat terpaksa mengungsi ke gereja Willemsskerk yang tingginya lebih dari tiga meter. Jalan sekitar ini tertutup karena sudah terbentuk kolam.
Sejak February 1918 banjir terjadi beberapa kali dan menyebabkan kota Batavia lumpuh. Dikawasan seperti Tanah Tinggi, Pinangsia, Glodok, Straat Belandongan, Tambora, Grogol, Petaksinkin, Kali Besar Oost, rata - rata ketinggian air hingga sedada orang dewasa.
Begitu juga di Angke, Pekajon, Kebun Jeruk, Kapuran, Kampaung Jacatra atau Kampung Pecah Kulit di samping Kali Gunung Sahari, serta Pejambon, air juga merendam rumah - rumah penduduk " boemi poetra ". Pasar Baru, Gereja Kathedral, dan daerah - daerah sebelah Barat Molenvliet ( sekarang sekitar Monas ) dijadikan tempat pengungsian. Banjir ini juga mengakibatkan hampir seluruh wilayah Gunung Sahari terendam, kecuali sedikit disekitar Gang Kemayoran.
Untuk menuju Senen, orang harus berenang hingga wilayah Kalilio. Sampai di Kalilio, air terlihat setinggi 50cm. Gedung kantor Marine menjadi tempat pengungsian warga pribumi dari Gagng Chambon. Sementara, wilayah Batavia bagian barat, banjir terjadi akibat jebolnya Kali Grogol.
![Dulu CIliwung Sungai Terbersih di Dunia [Re: Sejarah Banjir Jakarta]](https://dl.kaskus.id/3.bp.blogspot.com/-JoKv7jvRp5Q/T3reDBXW5KI/AAAAAAAAAeg/_NjF1Tn3n8I/s1600/Batavia+Banjir+l+DUNIA+OUTBOUND+l.jpg)
Beberapa kampung, seperti Kampung Tambora, Suteng, Kampung Klenteng, Kapuran, berubah menjadi empang. Satu - satunya sarana transportasi yang dapat digunakan adalah sampan dan perahu kedi. Kondisi serupa terjadi di wilayah Kampung Pesyuran dan Kebon Jeruk. Perahu bahkan bisa berjalan di gang - gang yang biasanya digunakan sebagai jalan kereta kuda. Akhir February 1918, banjir mulai surut. Keadaan Batavia berangsur - angsur normal kembali.
![Dulu CIliwung Sungai Terbersih di Dunia [Re: Sejarah Banjir Jakarta]](https://dl.kaskus.id/3.bp.blogspot.com/-J9FsN73KWAo/T28iQHNBJRI/AAAAAAAAA7w/G38p3r-Ki3g/s1600/SEJARAH%2BJKT%2BBanjir%2B6.jpg)
Pada zaman Kolonial, frekwensi banjir terjadi setiap 20 tahun sekali, kemudian menjadi 10 tahun, 5 tahun, dan kini terjadi hampir setiap tahun. Kondisi ini memang tidak lepas dari topgrafi Jakarta yang 40% wilayahnya berada dibawah permukaan air pasang, perubahan tata guna lahan, munculnya pemukiman baru dihulu sungai dan sepanjang sungai, sampah sembarangan, serta drainase yang semakin parah.
Lanjutan di Bawah y Gan

Diubah oleh Aaz_hybrid 03-02-2013 07:40
0
16K
Kutip
63
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan