- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Travellers
▓ One Day Trip | " Imlek di Pecinan Tangerang" | @TravellerKaskus ▓


TS
seCTe86
▓ One Day Trip | " Imlek di Pecinan Tangerang" | @TravellerKaskus ▓
Quote:
Dear Pejalan,
Udah lama juga yah kita gak jalan2 bareng nih. dalam rangka menyambut imlek, kami mau mengajak teman-teman untuk jalan bareng ke daerah tangerang. Kenapa tangerang??? biar gak mainstreem aja sih wakkakakakakakakakka. gak deh, karena gak banyak orang yang tau kalo di tangerang itu ada pecinan yang katanya sih lebih bagus ya, lebih kuat Pecinannya
Udah lama juga yah kita gak jalan2 bareng nih. dalam rangka menyambut imlek, kami mau mengajak teman-teman untuk jalan bareng ke daerah tangerang. Kenapa tangerang??? biar gak mainstreem aja sih wakkakakakakakakakka. gak deh, karena gak banyak orang yang tau kalo di tangerang itu ada pecinan yang katanya sih lebih bagus ya, lebih kuat Pecinannya
Quote:
Apa aja yang bisa di kunjungi:
Spoiler for Destination's:
- Klenteng Boen San Bio
- Perkampungan Sewan Kongsi
- Bendungan Pintu Air 10
- Klenteng Tjong Tek Bio
- Klenteng Boen Tek Bio
dan masih ada beberapa destinasi lainnya
Quote:
Waktu pelaksanaan: Minggu. 10 Februari 2013
Meeting Point: Stasiun Bukit Duri jam 7 Pagi, telat tinggal
Meeting Point: Stasiun Bukit Duri jam 7 Pagi, telat tinggal
Rule's and Regulation
Spoiler for Read:
1. tidak dipungut bayaran apapun, semua biaya akan ditanggung bersama dengan sistem sharing cost.
2. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya masing2 karena traveller kaskus bukanlah sebuah travel agent.
3. Karena direncanakan akan masuk pura, maka dianjurkan menggunakan celana panjang.
4. Menjaga sopan santun selama trip. Motret dipersilahkan tapi sebisa mungkin TIDAK MENGGANGGU JALANNYA RITUAL IBADAH APAPUN YANG SEDANG BERLANGSUNG
5. Dianjurkan membawa payung atau topi, just for incase
Sedikit Sejarah Tentang Imlek
Spoiler for :
sebutan Cina Benteng tidak lepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun di pusat Kota Tangerang, tepatnya di tepi Sungai Cisadane, pada zaman kolonial Belanda itu sekarang sudah rata dengan tanah. Pada saat itu, banyak orang Tionghoa Tangerang yang kurang mampu, harus tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul istilah "Cina Benteng".
“Versi lain dari kitab Sejarah Sunda, "Tina Layang Parahyang" artinya Catatan dari Parahyangan, yang sudah menyebut daerah muara Sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara Sungai Cisadane pada tahun 1407. Tujuan awalnya Jayakarta, saat itu mereka menyebut wilayah Tangerang dengan nama "Boen-Teng". Berawal dari sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng yang mayoritas warganya menjalani kehidupan sebagai pedagang kecil, petani, buruh informal atau pencari ikan di pinggir kali.
Di Tangerang, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkimpoian sehingga warna kulit mereka terkadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka tak lain adalah “Cina Benteng”. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda, dan Melayu.
Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. Belanda, VOC, yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir), Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.
Beberapa lokasi yang bakal disambangi antara lain, Perkampungan Sewan Kongsi. Kampung ini merupakan salah satu perkampungan Tionghoa Benteng yang masih ada di Tangerang. Asal kata ‘Sewan’ sendiri berasal dari kata ‘Sewaan’ yang diadaptasi sesuai logat masyarakat setempat. Disebut ‘Sewaan’ karena pada zaman kolonial, daerah ini seluruhnya disewakan kepada para tuan tanah, terutama etnis Tionghoa, untuk berkebun. Lokasinya berada di belakang Bendungan Pintu Air 10. Arsitektur rumah di sini masih tradisional.
Lokasi lain adalah Bendungan Pintu Air 10. Itu sebenarnya adalah Bendungan Air engasgo atau Bendungan Pintu Air Pasar Baru di Kecamatan Neglasari. Dibangun pada tahun 1927 dan mulai dioperasikan pada tahun 1932 untuk irigasi.
Klenteng Boen Tek Bio, adalah sasaran lainnya. Klenteng ini berdiri sekitar 1750. Penghuni Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio. (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat Ibadah). PAda awalnya Bio ini hanya berupa tiang bambu dan beratap rumbia, awal abad 19 barulah menjadi kelenteng seperti sekarang ini. Kelenteng inilah yang sejak 1911 menggelar pesta Petjun, lomba balap perahu, di Sungai Cisadane. Kemudian Orba melarang pesta budaya itu. Boen Tek Bio juga punya tradisi mengarak Toapekong, “Gotong Toapekong” dan menggelar wayang langka, Wayang Potehi.
“Versi lain dari kitab Sejarah Sunda, "Tina Layang Parahyang" artinya Catatan dari Parahyangan, yang sudah menyebut daerah muara Sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara Sungai Cisadane pada tahun 1407. Tujuan awalnya Jayakarta, saat itu mereka menyebut wilayah Tangerang dengan nama "Boen-Teng". Berawal dari sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng yang mayoritas warganya menjalani kehidupan sebagai pedagang kecil, petani, buruh informal atau pencari ikan di pinggir kali.
Di Tangerang, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkimpoian sehingga warna kulit mereka terkadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka tak lain adalah “Cina Benteng”. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda, dan Melayu.
Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. Belanda, VOC, yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir (Kali Pasir), Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.
Beberapa lokasi yang bakal disambangi antara lain, Perkampungan Sewan Kongsi. Kampung ini merupakan salah satu perkampungan Tionghoa Benteng yang masih ada di Tangerang. Asal kata ‘Sewan’ sendiri berasal dari kata ‘Sewaan’ yang diadaptasi sesuai logat masyarakat setempat. Disebut ‘Sewaan’ karena pada zaman kolonial, daerah ini seluruhnya disewakan kepada para tuan tanah, terutama etnis Tionghoa, untuk berkebun. Lokasinya berada di belakang Bendungan Pintu Air 10. Arsitektur rumah di sini masih tradisional.
Lokasi lain adalah Bendungan Pintu Air 10. Itu sebenarnya adalah Bendungan Air engasgo atau Bendungan Pintu Air Pasar Baru di Kecamatan Neglasari. Dibangun pada tahun 1927 dan mulai dioperasikan pada tahun 1932 untuk irigasi.
Klenteng Boen Tek Bio, adalah sasaran lainnya. Klenteng ini berdiri sekitar 1750. Penghuni Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio. (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat Ibadah). PAda awalnya Bio ini hanya berupa tiang bambu dan beratap rumbia, awal abad 19 barulah menjadi kelenteng seperti sekarang ini. Kelenteng inilah yang sejak 1911 menggelar pesta Petjun, lomba balap perahu, di Sungai Cisadane. Kemudian Orba melarang pesta budaya itu. Boen Tek Bio juga punya tradisi mengarak Toapekong, “Gotong Toapekong” dan menggelar wayang langka, Wayang Potehi.
0
4.8K
Kutip
42
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan