progression93Avatar border
TS
progression93
[THE ACT OF KILLING} Film Tentang INDONESIA Paling Kontroversial Tahun 2012


Sutradara Film The Act of Killing, Joshua Oppenheimer mengaku membuat film dengan latar belakang sejarah dan pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatra Utara, sebagai bentuk kritik atas tidak adanya perimbangan dan perubahan kekuasaan di Indonesia pascareformasi.

Warga negara Amerika Serikat yang sering bolak-balik ke Indonesia ini mengatakan, melalui film The Act of Killing, ia ingin mengajukan pertanyaan kemanusiaan yang universal yakni apa artinya menjadi orang baik?.

"Apa bedanya kita dengan pelaku pembunuhan massal, jika kita semua adalah manusia yang berimajinasi? Apa peran imajinasi dalam kekerasan ekstrem? Mengapa manusia masih saja melakukan kekerasan ekstrem?" Kata Joshua melalui surel, Senin (30/1).

Meski bukan warga negara Indonesia, Joshua ingin mengungkap salah satu babak tergelap dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia yang selama ini ditutup-tutupi. "Padahal penting untuk diketahui dan dipelajari bukan hanya oleh orang Indonesia, tetapi juga bagi seluruh warga dunia. Saya berharap film ini membuka ruang-ruang diskusi yang lebih luas dan bisa memulai sebuah proses penyembuhan luka sejarah ini," tukasnya.

Untuk membuat film yang digarapnya selama tujuh tahun tersebut, Joshua memelajari banyak sekali sumber literatur sejarah Indonesia pada periode sekitar tahun 1965.

"Baik dari dokumen-dokumen, termasuk dokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat yang telah dibuka, maupun hasil penelitian yang ditulis orang Indonesia serta peneliti dari luar Indonesia. Selain itu, saya juga berkonsultasi dengan sejarawan dan peneliti lain yang telah lebih dulu mendalami babak sejarah tersebut. Misalnya John Roosa dan Ben Anderson, dan juga beberapa sejarawan atau peneliti dari Indonesia," kata Pria botak tersebut.

Pria berusia 30 tahunan tersebut sadar, film yang dibuatnya tidak bisa berbuat banyak untuk perubahan di Indonesia. Namun, harapan terjadi perubahan perimbangan kekuasaan, proses peradilan HAM dan rekonsiliasi, permintaan maaf resmi, restitusi kepada keluarga korban dan penyintas, serta pelajaran sejarah yang lebih jujur.

Film The Act of Killing tersebut menuai banyak kontroversi khususnya di wilayah Sumatra Utara. Film itu telah diputar di Festival Film Toronto 2012, serta mendapat ratting 8,6 di situs IMDB yang menjadi resensi para penggemar film.

The Act of Killing mengungkapkan (kembali) kisah kelam bangsa Indonesia, tentang pembunuhan massal para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Film The Act of Killing (Jagal untuk judul Indonesianya) menjadi topik panas pembicaraan banyak orang di dunia. Subjek kisahnya yang mengenai komunisme memang terbilang 'kuno' dibandingkan isu panas terkini tentang terorisme global. Namun, inti The Act of Killing bukan cuma soal komunisme, tapi pembunuhan massal manusia. Inilah kompornya.

Bola panas ini mulai menggelinding ketika film dokumenter garapan Joshua Oppenheimer tersebut diputar premier di salah satu festival film besar dan bergengsi di dunia, Toronto International Film Festival (TIFF) 2012 pada September lalu. Pujian pun datang bertubi-tubi dari audiens dan juri festival. Hebatnya lagi sineas ternama dunia, seperti Werner Herzog dan Errol Morris, juga begitu terkesan pada film ini.

"Saya belum pernah menonton sebuah film yang sekuat, se-sureal dan menakutkan seperti The Act of Killing selama satu dekade terakhir," puji Werner Herzog.

Senada dengan Herzog, Errol Morris juga merasa takjub pada film ini. "Menakjubkan...tidak seperti film-film lain yang pernah saya tonton," ucapnya.


jusuf kalla on movie

Tokoh masyarakat Sulawesi Selatan Jusuf Kalla dimunculkan berseragam Pemuda Pancasila dalam cuplikan dan film fenomenal The Act of Killing dapat disaksikan di jejaring sosial media-video youtube.

Dalam video youtube tersebut, wakil presiden periode 2004–2009 itu hanya tampil durasi 4 detik dari total cuplikan yang memperkenalkan film itu selama 3:04 menit.

Jusuf Kalla ditampilkan dalam film dalam posisi berpidato sebagai wakil presiden dalam pembukaan sebuah acara Pemuda Pancasila.

Pidatonya sepertinya panjang, tetapi oleh pembuatnya film tersebut diedit sehingga yang muncul hanya kata-kata, “KITA BUTUH PREMAN YANG MELAKSANAKAN JALAN PANCASILA.”

Kemunculan JK dalam sekedipan mata itu cukup berpengaruh karena ditampilkan berseragam loreng oranye khas Pemuda Pancasila dan sedang menyemangati anggota ormas itu dalam pembukaan sebuah acara resmi.

Pentingnya adegan tersebut karena dikesankan Pemuda Pancasila, ormas pemuda yang dekat dengan rezim Orde Baru, dalam film tersebut dikesankan menjadi pelindung tokoh-tokoh pembantai komunis pada tahun krusial 1965–1967.

Trailer film itu secara utuh telah menjadi polemik karena terkesan beberapa tokoh yang telah membunuh dengan sadis anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan etnis keturunan China pada masa itu tidak memiliki penyesalan sama sekali.

Film yang disutradarai oleh Joshua Lincoln Oppenheimer itu juga memancing kritikan dari aktor utama filmnya sendiri, yaitu Anwar Congo.

Anwar merasa dimanipulasi karena tujuan pembuatan film itu sangat lain dan bukan seperti yang ditampilkan.

Bahkan, judul film yang sepakat dia bintangi adalah Arsan dan Aminah, yang proses pembuatannya diduga justru masuk ke dalam film The Act of Killing.

Meskipun sudah diputar di Toronto International Film Festival pada September, film itu juga dinilai Anwar telah menjelekkan nama dirinya dan Pemuda Pancasila.

Serupa dengan pemunculan Jusuf Kalla, film itu juga menampilkan tokoh Pemuda Pancasila yaitu Yapto Soerjosoemarno dalam beberapa detik.



pembunuhan masal


Beberapa hari terakhir ini, film The Act of Killing ini jadi semakin jadi obrolan panas banyak orang di Indonesia. Terlebih karena film ini diputar serentak di Indonesia sebanyak 50 kali pada Senin kemarin. Semakin banyak orang yang penasaran terhadap film ini.

Sebetulnya sejak Agustus lalu pun film yang disyuting sejak tahun 2005 sampai 2011 ini sudah jadi topik obrolan secara diam-diam di kalangan terbatas filmmaker dan aktivis film Indonesia. Namun, isu jadi menggelegar ketika majalah Tempo menerbitkan edisi laporan khusus tentang pembantaian orang-orang yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1960-an. Dan, film The Act of Killing ini memang jadi pemicu Tempo untuk menulis laporan khusus tersebut.


Merekonstruksi pembunuhan massal dalam sebuah film.

Film dokumenter ini memang mengungkap kehidupan dan pengakuan tiga algojo yang pernah membunuh para kader dan simpatisan PKI. Uniknya, film ini juga mengetengahkan berbagai adegan rekonstruksi tentang eksekusi yang dilakukan oleh para mantan algojo di masa lampau. Yang mengagetkan, rekonstruksi tersebut dilakukan langsung oleh para mantan algojo dalam sebuah film yang mereka produksi. Ya, mereka memfilmkan tindakan kekerasan mereka di masa lampau itu sendiri.

Otomatis, para mantan algojo ini bukan cuma berakting, tapi juga mengingat dan memahami kembali tindakan pembasmian terhadap para tertuduh anggota dan simpatisan PKI. Film ini pun dinilai menerapkan pendekatan dan metode penceritaan yang fresh dalam film dokumenter.

bangga membunuh

Dengan cara seperti itu, tak mengherankan apabila para mantan algojo dalam film ini kembali merasa bangga sekaligus bersalah atas tindakan kekerasannya di masa lalu. Seperti rasa bangga Anwar Congo, salah satu algojo. Sikap Anwar juga memang selalu terlihat riang. Selera musiknya saja ternyata tembang-tembang Elvis Presley.

“Saya menghabisi orang PKI dengan gembira,” kata Anwar bangga. Tapi di adegan yang lain, Anwar terlihat basah matanya ketika mengingat pembunuhan yang ia lakukan. Joshua Oppenheimer mengatakan bahwa dia memuji keberanian Anwar yang mau bicara secara gamblang mengenai keterlibatannya dalam peristiwa pembantaian anggota-anggota PKI.


Anwar Congo cs di masa tua.

“Anwar dan pembunuh lainnya ingin lebih dari sekedar membantu. Kami memfilmkan sikap mereka yang sangat sombong ketika melakukan perbuatan kriminal yang melawan sisi kemanusiaan,” kata Joshua, seperti dikutip dari situs resmi The Act of Killing.

Namun, Joshua menambahkan, selama proses pembuatan film, Anwar memang pernah terlihat menyesal dengan semua perbuatannya. Menurutnya, sebuah film seperti The Act of Killing tidak akan mengubah banyak hal, tapi setidaknya hasrat ini bisa menjadi inspirasi banyak orang. “Ini bukanlah hanya akhir cerita tentang Indonesia. Tapi juga tentang kita semua,” ucap Joshua.

SUMBER
http://www.kaskus.co.id/post/50da52b...74b44f0b000008
http://www.kaskus.co.id/post/0000000...00000762158708
http://www.kaskus.co.id/post/0000000...00000754892393
0
2.9K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan