- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kisah dari Seorang Pelajar Bodoh yang Pengen Ngeksis
TS
krisnadnugraha
Kisah dari Seorang Pelajar Bodoh yang Pengen Ngeksis
Hallo, nama gue Krisna, gue newbie disini
Gue bikin post ini karena nurutin anjuran salah satu pembaca blog gue, dia bilang mending ngepost tulisan gue di kaskus aja, katanya orangnya asik-asik
Ini tulisan pertama gue, kalo pengen liat yang lainnya bisa mampir aja ke blog gue: krisnadwinugraha.blogspot.com
Berhubung masih baru, gue mau post 1 judul aja, kalo banyak yang apresiasi, gue post lagi
Oke langsung aja, di postingan ini gue mau share cerita2 yang gue tulis di blog gue, selamat membaca.
HARI itu, gue ada di tempat parkir sekolah. Setelah motor gue terstandar dengan baik, sepatu yang gue pakai tiba-tiba menggerakan kakinya secara otomatis, gue nurut aja. Rute yang dia pakai adalah dari tempat parkir belok kiri menuju ruang piket, lalu menaiki tangga, melewati 1 ruang kelas dan masuk ke kelas selanjutnya. Ya, itu kelas gue. Kalo gue bisa ngelawan sepatu gue, tentu saja gue bakal naik motor lagi lalu pulang ke rumah dan tiduran sambil nonton acara tv favorit gue. Namun sayangnya kedaulatan sepatu gue lebih besar daripada kedaulatan yang gue miliki. Sedih.
Setelah sampai di depan kelas, tangan gue pun refleks membuka pintunya dan apa yang mata gue dapet, ternyata gak ada siapa-siapa di kelas. Gue orang pertama yang datang hari itu. Gue geleng-geleng, tapi setelah gue liat jam tangan, gue ngangguk-ngangguk. Ternyata masih pukul 6:19. Gue datang kepagian. Setelah ngangguk-ngangguk, gue duduk di bangku barisan kedua dari kanan, jajaran kedua dari depan.
Di kelas gue cuma ada 21 bangku dan 22 meja. 20 kursi dan meja siswa kecil yang cuma muat buat 1 orang, 1 kursi dan meja guru. Sementara meja yang satunya masih belum jelas apa fungsinya. Letaknya di sebelah meja guru. Mungkin meja yang gak jelas itu adalah meja yang tertukar, yang suka ada di tv dan gak jelas siapa ayah ibunya. Oke lupakan.
Gue duduk, dan gak ada kerjaan. Gue buka lockscreen hape gue dan milih
suatu ikon game yang ada tulisan ‘Tower Rai..’ Tulisannya kepotong. Itu adalah kepanjangan dari Tower Raiders, sebuah game tower defense dimana kita harus membangun menara yang bisa nembak untuk mencegah monster-monster mengambil kristal yang kita miliki dan mencurinya. Gue main game itu dan berhasil nyetak skor tertinggi baru. Gak lama setelah gue main game akhirnya datang seorang temen gue, dari suaranya gue yakin itu Bagas. Gue yakin banget yang datang kedua itu pasti Bagas, yakin beudddd. Dan saat pintu terbuka, apa gue bilang ternyata yang datang adalah….Bayu,
Gue salah. Oke, gue salah.
Bayu adalah temen baik gue sejak SMP, kenapa gue bilang temen baik? Karena dia gak jahat, udah gitu aja. Bayu orangnya cukup tinggi, berat badannya pun cukup besar, dia pake kacamata. Dia suka berbisnis, terutama dalam hal game online. Bayu suka diejek dengan nama salah satu brand mie instan terpopuler di Indonesia oleh temen-temennya, termasuk gue. Bayu duduk dibelakang gue.
“Kris, sekarang gak ulangan matem, kan?” kata Bayu
“Enggak, kan pak Darmawannya lagi ke Zimbabwe jadi relawan korban tsunami” Jawab gue.
“Hah ciyuuuussss?Miapahhhh?”
“Miyabi”
Pembicaraan gue sama Bayu terpotong oleh seseorang yang baru saja datang ke kelas dengan jalan yang agak cepat. Dia adalah Yogi, seorang manusia setengah homo, SMP di Jakarta namun SMA ke Majalengka karena dia ingin menemui belahan jiwanya di Majalengka karena katanya disini itu cowoknya ganteng-ganteng. Tapi menurut gue bukan karena di Majalengka cowoknya ganteng-ganteng, melainkan di Jakarta gak ada homo yang mau ama Yogi.
Yogi suka dipanggil Cined, singkatan dari Cina Edan. Emang sih sesuai ama aslinya, edan. Karena pindahan dari Jakarta, tentu Yogi gak bisa bahasa Sunda. Yogi lebih besar dari Bayu dan pada saat itu gue minder. Minder banget karena diantara 3 orang yang ada di kelas saat itu, berat badan gue paling kecil.
“Eh, sekarang ulangan matem gak?” Tanya Yogi.
“Engga Yog, gurunya lagi ada technical meeting di Madagaskar” Jawab gue.
“Sukur deh akhirnya gue bisa main game playboy sepuasnya!” Kata Yogi.
Tuh kan, edan.
Setelah kami berbincang-bincang soal ulangan matematika yang gak jadi. Akhirnya mulai berdatangan rombongan skuad ‘anak-anak yang tersiksa’. Faris si soft sundanese user, Fathur si kalem tapi boyband, Rizka si cewek tapi cuma setengah, dan Rachma si males ngomong tapi mesum.
Rombongan kedua datang gak lama setelah itu. Rombongan ini berisi: Dehan, anak band yang suka ngejek Bayu. Yanyan si imut berjenggot, Paulus si ngaco dan aneh tapi jenius, Fadlli yang religius banget. Kemudian Taufik si gitaris tapi suka ngomong gak jelas dan gak bisa bedain antara akselerasi dan selebrasi. Eca, nama aslinya Ghaisani, alay dan suka curhat. Abel, cewek berbehel yang suka ketawa gak jelas. Raihan, CBR rider namun homo. Mudhoffar, hidrosefalus sejak lahir dan gak bisa bilang ‘R’ dengan jelas. Nina, cewek yang berbakat dalam seni terutama tari namun suka bikin orang lain sakit hati lalu jengkel.
Jam di kelas udah nunjukin pukul 6 lebih 53. Namun 3 orang bangku paling depan masih kosong. Suasana kelas udah gak tenang lagi, gak kaya tadi pagi pas gue main game tower raiders.
Pintu kelas kembali ada yang melewati. 2 orang datang. Mereka adalah Bagas si takut ketinggian sehingga dia pendek, dan Fauzan si muka manis sehingga dikerubungi jerawat. Tinggal 1 orang yang belum keliatan bulu idungnya, Falah, sang Ketua Murid. Kira-kira 17 detik setelah Bagas dan Fauzan datang, Falah datang. Falah itu anak dari salah satu guru matematika di sekolah gue, namanya pak Imam. Pak Imam ini yang suka nongkrong di GDN, suka ngasih sanksi ke anak yang ngelanggar tata tertib, dan tentunya suka ngerazia. Saat Falah datang, dia lari-larian kayak film bollywood ke belakang kelas. Mungkin niatnya nyari tempat duduk kosong di belakang, namun apa daya bangku yang tersisa tinggal 1 lagi, pojok depan.
Gue minta maaf cuma bisa nyebutin nama pendek dan nama panggilan temen-temen gue doang. Itu karena pas gue nulis buku ini, gak ada daftar nama di sebelah gue. Ya, intinya gue gak hafal nama panjangnya.
Gue lupa, harusnya gue cerita dulu kenapa judul bab ini “Anak-anak yang Tersiksa”. Berhubung gue lagi males ngeditnya, gue cerita disini aja. Muufthh eaaaa.
Jadi kenapa gue ngasih judul “Anak-anak yang Tersiksa” adalah karena di kelas gue kan ada 20 orang, 9 cowok, 5 cewek, dan yang 6 belum jelas kelaminnya. Ke-20 orang itu tiap 4 bulan harus semesteran, dan materi yang 3 tahun diselesaikan dalam waktu 1,5 tahun. Nyiksa banget, kan?
Bisa dibilang orang-orang kaya kita ini langka, langkanya hampir kaya jumlah siswa di SLB berbanding jumlah siswa di sekolah biasa. Kebayang kan. Di SMAN 1 Majalengka, kelas akselerasi disebut CIBI. Yang katanya singkatan dari Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa. Ada juga yang bilang kalo CIBI itu Cerdas Insyaallah, Bodoh Insyaallah. Mungkin artinya cerdas karena ber-IQ tinggi, namun Bodo karena harus mengorbankan masa remajanya 1 tahun.
Tapi mau gue CIBI itu diganti, jadi Herdas Ostimewa Merbakat Ostimewa. Jadi kalo disingkat bukan lagi X-CIBI, melainkan X-HOMO.
Cara belajar di kelas gue pun berbeda ama kelas biasa. Guru istilahnya cuma memancing kita. Guru tinggal ngasih tugas dan nyuruh kita mempelajari materi ini itu di rumah. Tiap 1 tugas itu pasti banyak banget, dan tiap mata pelajaran pasti ada tugas. Kebayang kan gimana susahnya ngebagi waktu, tapi gue masih sempet-sempetnya NULIS BUKU INI!
Hal menyiksa lainnya adalah saat kami merasa ‘diisolasi’ dan ‘dicemooh’ oleh kelas-kelas lain. Pernah suatu saat kelas gue diajak futsal oleh kelas reguler. Dan pada saat kami nendang bola terus gak masuk. Mereka teriak gini:
“Nendangnya pake rumus coba biar masuk! Hahaha”
Sungguh diskriminatif.
Dan pada saat kiper kami, Yogi, berhasil menangkap bola tendangan pemain lawan, mereka bilang:
“Yog, lu pake rumus apa bisa ketangkep gitu?”
Tapi respon gue cuma tersenyum. Gimana pun juga, gue pernah ngerasain jadi anak reguler, dan pernah ngejek kelas XI CIBI waktu futsal. Oke mungkin ini karma.
Contoh lain selain futsal adalah pas ada yang nanya ke gue, gue kelas apa? Kalo gue jawab kelas X-CIBI pasti yang nanya itu langsung ilfeel, langsung dapet kesan pertama yang jelek tentang gue, dan pasti ngatain sombong.
Banyak anak reguler yang ngatain kita anak CIBI sombong. Padahal nyatanya, sikap kita gak ada bedanya sama sekali sama mereka. Yang beda cuma pindah kelas aja, udah, cuma pindah kelas. Contoh kejadian nih:
Awalnya kan gue dari kelas X-7, terus karena masuk CIBI, gue pindah kelas. Hari pertama pas pindah kelas, gue main ke X-7 dan apa kata mereka:
“Sombong wuuuu yang udah masuk CIBI”
Aneh banget kan?!
Padahal gue belum bilang apa-apa, dan gak ada yang rubah dengan sikap gue ke mereka. Itu baru sehari, mungkin kalo udah berbulan-bulan mereka bakal ngatain gue “Krisna si Kepala Bulan” karena saking sombongnya gue sehingga kepala gue jadi segede bulan. atau mereka bakal manggil gue “Si Hidrosefalus level 69” Kebayang kan.
***
Gue bikin post ini karena nurutin anjuran salah satu pembaca blog gue, dia bilang mending ngepost tulisan gue di kaskus aja, katanya orangnya asik-asik
Ini tulisan pertama gue, kalo pengen liat yang lainnya bisa mampir aja ke blog gue: krisnadwinugraha.blogspot.com
Berhubung masih baru, gue mau post 1 judul aja, kalo banyak yang apresiasi, gue post lagi
Oke langsung aja, di postingan ini gue mau share cerita2 yang gue tulis di blog gue, selamat membaca.
Spoiler for Anak-anak yang Tersiksa:
HARI itu, gue ada di tempat parkir sekolah. Setelah motor gue terstandar dengan baik, sepatu yang gue pakai tiba-tiba menggerakan kakinya secara otomatis, gue nurut aja. Rute yang dia pakai adalah dari tempat parkir belok kiri menuju ruang piket, lalu menaiki tangga, melewati 1 ruang kelas dan masuk ke kelas selanjutnya. Ya, itu kelas gue. Kalo gue bisa ngelawan sepatu gue, tentu saja gue bakal naik motor lagi lalu pulang ke rumah dan tiduran sambil nonton acara tv favorit gue. Namun sayangnya kedaulatan sepatu gue lebih besar daripada kedaulatan yang gue miliki. Sedih.
Setelah sampai di depan kelas, tangan gue pun refleks membuka pintunya dan apa yang mata gue dapet, ternyata gak ada siapa-siapa di kelas. Gue orang pertama yang datang hari itu. Gue geleng-geleng, tapi setelah gue liat jam tangan, gue ngangguk-ngangguk. Ternyata masih pukul 6:19. Gue datang kepagian. Setelah ngangguk-ngangguk, gue duduk di bangku barisan kedua dari kanan, jajaran kedua dari depan.
Di kelas gue cuma ada 21 bangku dan 22 meja. 20 kursi dan meja siswa kecil yang cuma muat buat 1 orang, 1 kursi dan meja guru. Sementara meja yang satunya masih belum jelas apa fungsinya. Letaknya di sebelah meja guru. Mungkin meja yang gak jelas itu adalah meja yang tertukar, yang suka ada di tv dan gak jelas siapa ayah ibunya. Oke lupakan.
Gue duduk, dan gak ada kerjaan. Gue buka lockscreen hape gue dan milih
suatu ikon game yang ada tulisan ‘Tower Rai..’ Tulisannya kepotong. Itu adalah kepanjangan dari Tower Raiders, sebuah game tower defense dimana kita harus membangun menara yang bisa nembak untuk mencegah monster-monster mengambil kristal yang kita miliki dan mencurinya. Gue main game itu dan berhasil nyetak skor tertinggi baru. Gak lama setelah gue main game akhirnya datang seorang temen gue, dari suaranya gue yakin itu Bagas. Gue yakin banget yang datang kedua itu pasti Bagas, yakin beudddd. Dan saat pintu terbuka, apa gue bilang ternyata yang datang adalah….Bayu,
Gue salah. Oke, gue salah.
Bayu adalah temen baik gue sejak SMP, kenapa gue bilang temen baik? Karena dia gak jahat, udah gitu aja. Bayu orangnya cukup tinggi, berat badannya pun cukup besar, dia pake kacamata. Dia suka berbisnis, terutama dalam hal game online. Bayu suka diejek dengan nama salah satu brand mie instan terpopuler di Indonesia oleh temen-temennya, termasuk gue. Bayu duduk dibelakang gue.
“Kris, sekarang gak ulangan matem, kan?” kata Bayu
“Enggak, kan pak Darmawannya lagi ke Zimbabwe jadi relawan korban tsunami” Jawab gue.
“Hah ciyuuuussss?Miapahhhh?”
“Miyabi”
Pembicaraan gue sama Bayu terpotong oleh seseorang yang baru saja datang ke kelas dengan jalan yang agak cepat. Dia adalah Yogi, seorang manusia setengah homo, SMP di Jakarta namun SMA ke Majalengka karena dia ingin menemui belahan jiwanya di Majalengka karena katanya disini itu cowoknya ganteng-ganteng. Tapi menurut gue bukan karena di Majalengka cowoknya ganteng-ganteng, melainkan di Jakarta gak ada homo yang mau ama Yogi.
Yogi suka dipanggil Cined, singkatan dari Cina Edan. Emang sih sesuai ama aslinya, edan. Karena pindahan dari Jakarta, tentu Yogi gak bisa bahasa Sunda. Yogi lebih besar dari Bayu dan pada saat itu gue minder. Minder banget karena diantara 3 orang yang ada di kelas saat itu, berat badan gue paling kecil.
“Eh, sekarang ulangan matem gak?” Tanya Yogi.
“Engga Yog, gurunya lagi ada technical meeting di Madagaskar” Jawab gue.
“Sukur deh akhirnya gue bisa main game playboy sepuasnya!” Kata Yogi.
Tuh kan, edan.
Setelah kami berbincang-bincang soal ulangan matematika yang gak jadi. Akhirnya mulai berdatangan rombongan skuad ‘anak-anak yang tersiksa’. Faris si soft sundanese user, Fathur si kalem tapi boyband, Rizka si cewek tapi cuma setengah, dan Rachma si males ngomong tapi mesum.
Rombongan kedua datang gak lama setelah itu. Rombongan ini berisi: Dehan, anak band yang suka ngejek Bayu. Yanyan si imut berjenggot, Paulus si ngaco dan aneh tapi jenius, Fadlli yang religius banget. Kemudian Taufik si gitaris tapi suka ngomong gak jelas dan gak bisa bedain antara akselerasi dan selebrasi. Eca, nama aslinya Ghaisani, alay dan suka curhat. Abel, cewek berbehel yang suka ketawa gak jelas. Raihan, CBR rider namun homo. Mudhoffar, hidrosefalus sejak lahir dan gak bisa bilang ‘R’ dengan jelas. Nina, cewek yang berbakat dalam seni terutama tari namun suka bikin orang lain sakit hati lalu jengkel.
Jam di kelas udah nunjukin pukul 6 lebih 53. Namun 3 orang bangku paling depan masih kosong. Suasana kelas udah gak tenang lagi, gak kaya tadi pagi pas gue main game tower raiders.
Pintu kelas kembali ada yang melewati. 2 orang datang. Mereka adalah Bagas si takut ketinggian sehingga dia pendek, dan Fauzan si muka manis sehingga dikerubungi jerawat. Tinggal 1 orang yang belum keliatan bulu idungnya, Falah, sang Ketua Murid. Kira-kira 17 detik setelah Bagas dan Fauzan datang, Falah datang. Falah itu anak dari salah satu guru matematika di sekolah gue, namanya pak Imam. Pak Imam ini yang suka nongkrong di GDN, suka ngasih sanksi ke anak yang ngelanggar tata tertib, dan tentunya suka ngerazia. Saat Falah datang, dia lari-larian kayak film bollywood ke belakang kelas. Mungkin niatnya nyari tempat duduk kosong di belakang, namun apa daya bangku yang tersisa tinggal 1 lagi, pojok depan.
Gue minta maaf cuma bisa nyebutin nama pendek dan nama panggilan temen-temen gue doang. Itu karena pas gue nulis buku ini, gak ada daftar nama di sebelah gue. Ya, intinya gue gak hafal nama panjangnya.
Gue lupa, harusnya gue cerita dulu kenapa judul bab ini “Anak-anak yang Tersiksa”. Berhubung gue lagi males ngeditnya, gue cerita disini aja. Muufthh eaaaa.
Jadi kenapa gue ngasih judul “Anak-anak yang Tersiksa” adalah karena di kelas gue kan ada 20 orang, 9 cowok, 5 cewek, dan yang 6 belum jelas kelaminnya. Ke-20 orang itu tiap 4 bulan harus semesteran, dan materi yang 3 tahun diselesaikan dalam waktu 1,5 tahun. Nyiksa banget, kan?
Bisa dibilang orang-orang kaya kita ini langka, langkanya hampir kaya jumlah siswa di SLB berbanding jumlah siswa di sekolah biasa. Kebayang kan. Di SMAN 1 Majalengka, kelas akselerasi disebut CIBI. Yang katanya singkatan dari Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa. Ada juga yang bilang kalo CIBI itu Cerdas Insyaallah, Bodoh Insyaallah. Mungkin artinya cerdas karena ber-IQ tinggi, namun Bodo karena harus mengorbankan masa remajanya 1 tahun.
Tapi mau gue CIBI itu diganti, jadi Herdas Ostimewa Merbakat Ostimewa. Jadi kalo disingkat bukan lagi X-CIBI, melainkan X-HOMO.
Cara belajar di kelas gue pun berbeda ama kelas biasa. Guru istilahnya cuma memancing kita. Guru tinggal ngasih tugas dan nyuruh kita mempelajari materi ini itu di rumah. Tiap 1 tugas itu pasti banyak banget, dan tiap mata pelajaran pasti ada tugas. Kebayang kan gimana susahnya ngebagi waktu, tapi gue masih sempet-sempetnya NULIS BUKU INI!
Hal menyiksa lainnya adalah saat kami merasa ‘diisolasi’ dan ‘dicemooh’ oleh kelas-kelas lain. Pernah suatu saat kelas gue diajak futsal oleh kelas reguler. Dan pada saat kami nendang bola terus gak masuk. Mereka teriak gini:
“Nendangnya pake rumus coba biar masuk! Hahaha”
Sungguh diskriminatif.
Dan pada saat kiper kami, Yogi, berhasil menangkap bola tendangan pemain lawan, mereka bilang:
“Yog, lu pake rumus apa bisa ketangkep gitu?”
Tapi respon gue cuma tersenyum. Gimana pun juga, gue pernah ngerasain jadi anak reguler, dan pernah ngejek kelas XI CIBI waktu futsal. Oke mungkin ini karma.
Contoh lain selain futsal adalah pas ada yang nanya ke gue, gue kelas apa? Kalo gue jawab kelas X-CIBI pasti yang nanya itu langsung ilfeel, langsung dapet kesan pertama yang jelek tentang gue, dan pasti ngatain sombong.
Banyak anak reguler yang ngatain kita anak CIBI sombong. Padahal nyatanya, sikap kita gak ada bedanya sama sekali sama mereka. Yang beda cuma pindah kelas aja, udah, cuma pindah kelas. Contoh kejadian nih:
Awalnya kan gue dari kelas X-7, terus karena masuk CIBI, gue pindah kelas. Hari pertama pas pindah kelas, gue main ke X-7 dan apa kata mereka:
“Sombong wuuuu yang udah masuk CIBI”
Aneh banget kan?!
Padahal gue belum bilang apa-apa, dan gak ada yang rubah dengan sikap gue ke mereka. Itu baru sehari, mungkin kalo udah berbulan-bulan mereka bakal ngatain gue “Krisna si Kepala Bulan” karena saking sombongnya gue sehingga kepala gue jadi segede bulan. atau mereka bakal manggil gue “Si Hidrosefalus level 69” Kebayang kan.
***
anasabila memberi reputasi
1
2.1K
Kutip
11
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan