- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Domestik
Traveling ke Pulau Madura, Jawa Timur


TS
maryrypo
Traveling ke Pulau Madura, Jawa Timur
Hello agan-agan Kaskuser 
saya Vanya! Mau sharing aja pengalaman traveling waktu di pulau Madura.
Berangkat dari Bandung flight ke Surabaya, langsung naik bus menuju Sumenep.
Emang dasar Indonesia kaya, begitu menyebrangi jembatan Suramadu langsung kerasa loh perbedaan tinggi atmosfir-kebudayaan antara pulau Jawa dan pulau Madura meskipun kedua pulau bagian timur tersebut masih dalam satu provinsi. FYI, bahasa Madura masihlah serumpun dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya, namun pelafalan bahasa Madura sangatlah unik sehingga seringkali menyulitkan bagi sulu bukan Madura untuk mempelajarinya. Contohnya : “Dhe’ remma kabereh?”(yang artinya “Apa kabar?”) huruf ‘e’ dibaca seperti kata telan, sedangkan ‘b’ terbaca seperti bh.
Setibanya di Sumenep, saya langsung dikerubungi mas2 yang nawarin ‘taksi’. Tapiiih jangan dikira ‘taksi’ disana adalah ‘taksi’ dengan bentuk mobil sedan, berwarna biru, dan ber-AC loh. ‘taksi’ yang dimaksud adalah angkutan umum model carry yang bisa kita carter dan mengantar kemanapun kita mau pergi, kurang lebih inilah penampakan ‘taksi’ yang saya gunakan :

Nah, Kota Sumenep merupakan bagian paling timur dari pulau Madura, kurang lebih empat jam perjalanan dari Surabaya. Di Sumenep sendiri banyak interesting sites to visit. Salah satunya, Keraton Sumenep (yang merupakan satu-satunya Keraton di daerah Jawa Timur), Asta Gumuk, tempat kerajinan dan kesenian khas Madura, pantai Lombang, pantai Slopeng, dan kalau berkunjung di ‘tanggal tanggal hoki’ bisa nonton Tari Topeng dan Karapan Sapi, dll
Terletak kurang lebih 21 km dari pusat kota Sumenep, berjarak waktu satu jam kami tiba di pantai Slopeng yang merupakan bagian dari kabupaten Dasuk. Pantai nya bersih dan pakai pasir putih, pemandangan lautnya biru dan indah banget, banyak pohon kelapa dan pohon siwalan di sepanjang pantai. Karena habis perjalanan jauh dari Jakarta, begitu tiba disini saya langsung salto salto-an kesana-kemari-mencari-alamat, hehe. Tidak hanya itu disini juga ada bukit pasir yang pemandangannya jarang-jarang saya lihat di Indonesia, sambil sore-sore gabung sama penduduk lokal para wisatawan juga bisa mempelajari tentang ciri khas masyarakat sekitar yang memiliki karakteristik unik.
Selain alam yang indah pantai Slopeng juga tempat yang tepat untuk para anda-anda yang menyukai olahraga air, salah satunya disini bisa main kano nelayan (tinggal pinter-pinteran PDKT aja sama mas-mas nelayan nya biar dapet harga murah), tidak jarang juga ada kompetisi berlayar, dan ski air.
Yang satu ini tinggal loncat sedikit ke bagian timur-nya pantai Slopeng, kurang lebih 9 km dari pantai Slopeng saya sudah tiba di pantai yang terkenal dengan pohon cemara di sepanjang pesisir pantainya. He, bingung kan, kok ada pohon cemara di pantai? Pantai Lombang memang terkenal dengan pohon cemara udang (Equisatifolia Casuarinas) yang tumbuh secara alami di sepanjang pantai tersebut. Pohon cemara udang ini juga hanya bisa tumbuh di Indonesia dan China, lho. Penduduk lokal pun tidak kehabisan ide, mereka memanfaatkan pohon-pohon cemara tersebut untuk dijadikan bonsai cemara yang artistik abis dengan berbagai macam ukuran, bentuk, dan harga untuk dijual di luar kota juga luar negeri.
Pantai Lombang menarik banget untuk dikunjungi, pantainya sepi, dengan hamparan pasir putih yang selalu bersih karena para petugas disana selalu konsisten untuk menjaga kebersihan pantai sepanjang puluhan kilometer setiap harinya (salut yah, andaikan saya bisa konsisten seperti itu at least sama kamar sendiri).
Sunrise disana juga bagus banget, dan di siang hari bisa menikmati rujak khas pantai Lombang dan es kelapa muda yang dijual oleh penduduk lokal.
Ketika saya berkunjung, pemerintah setempat sedang membangun sarana tranportasi yang menghubungkan pantai Lombang dengan pantai Slopeng yang menyajikan pemandangan gunung kapur disepanjang perjalanannya!
Hanya saja ada satu tradisi unik yang sudah berlaku turun temurun yang dilakukan oleh para masyarakat desa Legung timur yaitu; tidur di atas pasir. Hihi, awalnya sih saya mengerutkan kening ketika membaca ‘tidur di atas pasir’ dalam catatan perjalanan. Well, karena saya emang pinginnya coba yang aneh-aneh, berangkatlah saya kerumah bapak Sunaryo salah satu warga yang memiliki kasur pasir didalam rumahnya. Setibanya disana saya melihat penampakan kasur yang berisi pasir halus seperti merica.
Yap, kasur pasir sendiri terbuat dari pasir laut yang didapatkan dari depan rumah dengan cara menggali sedalam 3 m, dengan sepetak bidang didalam kamar kasur pasir di buat dari batako atau batu bata yang disusun menyerupai kasur. Perawatannya pun tergolong mudah, mereka hanya cukup mengayak pasir di beberapa waktu agar tetap bersih, dan pasir diganti selama setahun sekali.
Ternyata sama seperti para warga yang tinggal di daerah tersebut, pak Sunaryo dan keluarga lebih suka tidur di atas pasir yang menurut mereka lebih dingin dan nyaman. Tidak hanya untuk tidur, kasur pasir juga digunakan para calon ibu desa Legung timur untuk melahirkan, hal ini disesuaikan dengan kepercayaan mereka bahwa ‘manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah’. Hal inipun sempat menjadi perdebatan dengan pihak medis karena para calon ibu menolak melahirkan ditempat lain selain di kasur pasir, namun akhirnya pihak medis menuruti kemauan para calon ibu dengan alasan menghargai tradisi dari leluhur. Belakangan survey membuktikan, nggak pernah ada tuh kejadian fatal akibat para ibu melahirkan di atas pasir.
Selain kasur pasir, keluarga Pak Sunaryo juga memiliki halaman pasir didepan rumah yang biasa mereka pakai untuk kumpul, ngobrol, atau sekedar duduk-duduk lucu seperti yang saya lakukan. Pasir memang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Sip, saatnya mencoba tidur diatas kasur pasir.

(ternyata adem banget dan ga lengket! hehe)
FYI, sekaya dan semewah apapun rumah disana, para warga desa Legung timur tetap mempunyai kasur pasir dirumahnya.
Asta Gumuk adalah kompleks pemakaman Kyai Ali Waliyullah beserta pewaris dan pengikutnya yang terletak di daerah Brambang, Sumenep, Madura. Kyai Ali Waliyullah adalah penyebar ilmu tasawuf yang juga merupakan sesepuh daerah tersebut.
Saat sedang berkeliling, datang seorang bapak. Beliau adalah Bapak Suhabi yang merupakan kuncen pemakaman tersebut. Karena kepo, langsung saja saya tanya-tanya Bapak Suhabi, dan mulailah beliau bercerita, bahwa ternyata Kyai Ali Waliyullah adalah keturunan kelima dari Syekh Maulana Sayyid Jakfar As Sadik yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus. Selain itu, Kyai Ali Waliyullah merupakan keturunan kesepuluh dari Maulana Malik Ibrahim. Ia memiliki istri bernama Nyai Maria dan 16 anak yang dimakamkan secara menyebar.
Bapak Suhabi juga bercerita bahwa Kyai Ali Waliyullah meninggal dunia di tahun 1192 hijriah, moksa (hilang) ketika dimakamkan. Dimasa hidupnya, Kyai Ali Waliyullah adalah ulama yang disegani di daerah Brambang. Salah satu keahliannya adalah mengajarkan hewan mengaji, salah satunya kera… (Iya, ngajar kera ngaji gan.)
Nah dari Bapak Suhabi dan kera yang bisa ngaji, kami juga mendapat informasi bahwa bangunan unik di Asta Gumuk ini dibangun pada tahun 2004 dari batu-batu kapur yang disusun menjadi arsitektur pilar yang cantik dan eksotis.
Asta Gumuk ini merupakan salah satu wisata religi. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan : Ikuti peraturaan yang berlaku (seperti membuka alas kaki ketika memasuki makam), berpakaian sopan, dan jika berkenan isilah kotak amal dengan uang seikhlasnya.
HOW TO GET THERE 
http://www.kaskus.co.id/post/5108d0f...74b49838000001
Bantu Rate & Cendol ya Gan

Re-post dari Blog pribadi

http://byanm.blogspot.com/
THANKS FOR READ!



saya Vanya! Mau sharing aja pengalaman traveling waktu di pulau Madura.
Salam Kenal 



Quote:
Berangkat dari Bandung flight ke Surabaya, langsung naik bus menuju Sumenep.
Emang dasar Indonesia kaya, begitu menyebrangi jembatan Suramadu langsung kerasa loh perbedaan tinggi atmosfir-kebudayaan antara pulau Jawa dan pulau Madura meskipun kedua pulau bagian timur tersebut masih dalam satu provinsi. FYI, bahasa Madura masihlah serumpun dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya, namun pelafalan bahasa Madura sangatlah unik sehingga seringkali menyulitkan bagi sulu bukan Madura untuk mempelajarinya. Contohnya : “Dhe’ remma kabereh?”(yang artinya “Apa kabar?”) huruf ‘e’ dibaca seperti kata telan, sedangkan ‘b’ terbaca seperti bh.
Setibanya di Sumenep, saya langsung dikerubungi mas2 yang nawarin ‘taksi’. Tapiiih jangan dikira ‘taksi’ disana adalah ‘taksi’ dengan bentuk mobil sedan, berwarna biru, dan ber-AC loh. ‘taksi’ yang dimaksud adalah angkutan umum model carry yang bisa kita carter dan mengantar kemanapun kita mau pergi, kurang lebih inilah penampakan ‘taksi’ yang saya gunakan :
Nah, Kota Sumenep merupakan bagian paling timur dari pulau Madura, kurang lebih empat jam perjalanan dari Surabaya. Di Sumenep sendiri banyak interesting sites to visit. Salah satunya, Keraton Sumenep (yang merupakan satu-satunya Keraton di daerah Jawa Timur), Asta Gumuk, tempat kerajinan dan kesenian khas Madura, pantai Lombang, pantai Slopeng, dan kalau berkunjung di ‘tanggal tanggal hoki’ bisa nonton Tari Topeng dan Karapan Sapi, dll
Pantai Slopeng

Terletak kurang lebih 21 km dari pusat kota Sumenep, berjarak waktu satu jam kami tiba di pantai Slopeng yang merupakan bagian dari kabupaten Dasuk. Pantai nya bersih dan pakai pasir putih, pemandangan lautnya biru dan indah banget, banyak pohon kelapa dan pohon siwalan di sepanjang pantai. Karena habis perjalanan jauh dari Jakarta, begitu tiba disini saya langsung salto salto-an kesana-kemari-mencari-alamat, hehe. Tidak hanya itu disini juga ada bukit pasir yang pemandangannya jarang-jarang saya lihat di Indonesia, sambil sore-sore gabung sama penduduk lokal para wisatawan juga bisa mempelajari tentang ciri khas masyarakat sekitar yang memiliki karakteristik unik.
Selain alam yang indah pantai Slopeng juga tempat yang tepat untuk para anda-anda yang menyukai olahraga air, salah satunya disini bisa main kano nelayan (tinggal pinter-pinteran PDKT aja sama mas-mas nelayan nya biar dapet harga murah), tidak jarang juga ada kompetisi berlayar, dan ski air.
Pantai Lombang

Yang satu ini tinggal loncat sedikit ke bagian timur-nya pantai Slopeng, kurang lebih 9 km dari pantai Slopeng saya sudah tiba di pantai yang terkenal dengan pohon cemara di sepanjang pesisir pantainya. He, bingung kan, kok ada pohon cemara di pantai? Pantai Lombang memang terkenal dengan pohon cemara udang (Equisatifolia Casuarinas) yang tumbuh secara alami di sepanjang pantai tersebut. Pohon cemara udang ini juga hanya bisa tumbuh di Indonesia dan China, lho. Penduduk lokal pun tidak kehabisan ide, mereka memanfaatkan pohon-pohon cemara tersebut untuk dijadikan bonsai cemara yang artistik abis dengan berbagai macam ukuran, bentuk, dan harga untuk dijual di luar kota juga luar negeri.
Pantai Lombang menarik banget untuk dikunjungi, pantainya sepi, dengan hamparan pasir putih yang selalu bersih karena para petugas disana selalu konsisten untuk menjaga kebersihan pantai sepanjang puluhan kilometer setiap harinya (salut yah, andaikan saya bisa konsisten seperti itu at least sama kamar sendiri).
Sunrise disana juga bagus banget, dan di siang hari bisa menikmati rujak khas pantai Lombang dan es kelapa muda yang dijual oleh penduduk lokal.
Ketika saya berkunjung, pemerintah setempat sedang membangun sarana tranportasi yang menghubungkan pantai Lombang dengan pantai Slopeng yang menyajikan pemandangan gunung kapur disepanjang perjalanannya!
Desa Legung

Hanya saja ada satu tradisi unik yang sudah berlaku turun temurun yang dilakukan oleh para masyarakat desa Legung timur yaitu; tidur di atas pasir. Hihi, awalnya sih saya mengerutkan kening ketika membaca ‘tidur di atas pasir’ dalam catatan perjalanan. Well, karena saya emang pinginnya coba yang aneh-aneh, berangkatlah saya kerumah bapak Sunaryo salah satu warga yang memiliki kasur pasir didalam rumahnya. Setibanya disana saya melihat penampakan kasur yang berisi pasir halus seperti merica.
Yap, kasur pasir sendiri terbuat dari pasir laut yang didapatkan dari depan rumah dengan cara menggali sedalam 3 m, dengan sepetak bidang didalam kamar kasur pasir di buat dari batako atau batu bata yang disusun menyerupai kasur. Perawatannya pun tergolong mudah, mereka hanya cukup mengayak pasir di beberapa waktu agar tetap bersih, dan pasir diganti selama setahun sekali.
Ternyata sama seperti para warga yang tinggal di daerah tersebut, pak Sunaryo dan keluarga lebih suka tidur di atas pasir yang menurut mereka lebih dingin dan nyaman. Tidak hanya untuk tidur, kasur pasir juga digunakan para calon ibu desa Legung timur untuk melahirkan, hal ini disesuaikan dengan kepercayaan mereka bahwa ‘manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah’. Hal inipun sempat menjadi perdebatan dengan pihak medis karena para calon ibu menolak melahirkan ditempat lain selain di kasur pasir, namun akhirnya pihak medis menuruti kemauan para calon ibu dengan alasan menghargai tradisi dari leluhur. Belakangan survey membuktikan, nggak pernah ada tuh kejadian fatal akibat para ibu melahirkan di atas pasir.
Selain kasur pasir, keluarga Pak Sunaryo juga memiliki halaman pasir didepan rumah yang biasa mereka pakai untuk kumpul, ngobrol, atau sekedar duduk-duduk lucu seperti yang saya lakukan. Pasir memang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Sip, saatnya mencoba tidur diatas kasur pasir.
(ternyata adem banget dan ga lengket! hehe)
FYI, sekaya dan semewah apapun rumah disana, para warga desa Legung timur tetap mempunyai kasur pasir dirumahnya.
Asta Gumuk (Makam-nya Guru Ngaji Kera)


Asta Gumuk adalah kompleks pemakaman Kyai Ali Waliyullah beserta pewaris dan pengikutnya yang terletak di daerah Brambang, Sumenep, Madura. Kyai Ali Waliyullah adalah penyebar ilmu tasawuf yang juga merupakan sesepuh daerah tersebut.
Saat sedang berkeliling, datang seorang bapak. Beliau adalah Bapak Suhabi yang merupakan kuncen pemakaman tersebut. Karena kepo, langsung saja saya tanya-tanya Bapak Suhabi, dan mulailah beliau bercerita, bahwa ternyata Kyai Ali Waliyullah adalah keturunan kelima dari Syekh Maulana Sayyid Jakfar As Sadik yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus. Selain itu, Kyai Ali Waliyullah merupakan keturunan kesepuluh dari Maulana Malik Ibrahim. Ia memiliki istri bernama Nyai Maria dan 16 anak yang dimakamkan secara menyebar.
Bapak Suhabi juga bercerita bahwa Kyai Ali Waliyullah meninggal dunia di tahun 1192 hijriah, moksa (hilang) ketika dimakamkan. Dimasa hidupnya, Kyai Ali Waliyullah adalah ulama yang disegani di daerah Brambang. Salah satu keahliannya adalah mengajarkan hewan mengaji, salah satunya kera… (Iya, ngajar kera ngaji gan.)
Nah dari Bapak Suhabi dan kera yang bisa ngaji, kami juga mendapat informasi bahwa bangunan unik di Asta Gumuk ini dibangun pada tahun 2004 dari batu-batu kapur yang disusun menjadi arsitektur pilar yang cantik dan eksotis.
Asta Gumuk ini merupakan salah satu wisata religi. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan : Ikuti peraturaan yang berlaku (seperti membuka alas kaki ketika memasuki makam), berpakaian sopan, dan jika berkenan isilah kotak amal dengan uang seikhlasnya.


http://www.kaskus.co.id/post/5108d0f...74b49838000001




Re-post dari Blog pribadi

http://byanm.blogspot.com/
THANKS FOR READ!





Diubah oleh maryrypo 30-01-2013 15:34
0
2.4K
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan