- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Aku dan Pengemis yang ‘Ngeselin’


TS
depoklama
Aku dan Pengemis yang ‘Ngeselin’
Quote:
Quote:

Quote:
Jangan lupa
dulu ya





Quote:
Pernah satu waktu ketika saya sedang menikmati santap siang disebuah rumah makan langganan, seorang pengemis datang dan menyodorkan tangannya didepan saya. Badannya yang besar dan tampak kuat membuat mata saya tak lepas memandangnya dari ujung kaki sampai kepala. Tergumam-lah keheranan dalam hati saya,” Gak salah nih orang, badan gede kuat gini kok jadi pengemis?” Keheranan itu membuat bibir saya spontan berucap,”Maaf, Mas!”
Sekali, dua kali, tiga kali saya mengucapkan kata maaf, tapi tak juga dia mau beranjak, sampai akhirnya kekesalan saya mengundang kegeraman dalam hati, “Terserah deh Loe mau diri didepan gw sampai malem jumat kliwon juga gak pa-pa!” Akhirnya ia menyerah dan berlalu sambil melemparkan dua kata manis,”Dasar Pelit!”
Kata-kata itu sontak mengundang amarah saya, meski untungnya saya bisa menahan reaksi.
Sambil merasakan aliran darah yang hampir muncrat di kepala, hati saya bergumam 1001 umpatan, “Dasar Malas! Kerja apa, kek?! Badan Gede gitu jadi pengemis!..bla..bla..bla..!”
Sampai akhirnya saya tersadar, berucap istighfar dalam hati dan berbisik,” Her, udah gak ngasih duit, makan jadi nggak enak, kok ditambah dengan sumpah serapah yang nambahin dosa, sih!”
Duh bener juga, ya. Coba kalau tadi tanpa pikir langsung saya kasih logaman 1.000 cring, suasana hati pasti tidak menjadi kacau balau begini. Lagian kalau dipikir, mana ada sih orang berkecukupan yang mau jadi pengemis? Apapun alasannya kalau sampai dia mengemis, pastilah standar kehidupannya jauh dibawah kita, entah itu standar ekonomi, standar intelektualitas, dsb. Meski kadang hati menjerit, ”Dia cuma pura-pura lemah tuh, memang dasarnya malas aja!” Itupun jelas bahwa berarti standar moral dia jauh lebih miskin daripada kita alias miskin moral.
Seribu rupiah tidak mungkin membuat saya jatuh miskin, jauh juga dari membuat si pengemis tadi menjadi kaya. Pelajaran yang saya berikan untuk tidak memberinya-pun ternyata tidak membuatnya berubah, malah membuatnya kesal dan mengundang serangkaian suasana buruk yang meliputi hati saya. Penyesalanpun tetap dan semakin mengganjal di hati saya, apalagi ketika saya teringat cerita tentang Nabi Musa dan Pengemis Tua, berikut :
Suatu ketika Musa berjalan sendiri di tengah gurun dan berdoa kepada Allah, “ya Allah, selama bertahun-tahun aku telah menjadi hamba-Mu yang taat, namun Engkau tak pernah masuk ke dalam hatiku, juga tak pernah makan roti bersamaku. Sudikah Engkau untuk datang dan makan di rumahku?”
Dan Allah senang dengan permintaan ini. Ia menjawab, “Ya, tentu saja! Sesungguhnya engkau telah menjadi hambaKu yang taat, jadi Aku akan datang malam ini untuk tinggal dan makan malam bersamamu.”
Musa sangat girang karena permintaan khususnya dipenuhi. Dengan riang ia pulang ke rumah, menyuruh keluarganya menyiapkan hidangan khusus. Dan ia memasak sendiri makanan khusus untuk Tuhannya.
Setelah semuanya siap dan jam makan malam sudah tiba, Musa mengenakan jubahnya yang terindah dan menunggu di luar rumah. Ia tak sabar menanti Tuhannya. Banyak orang lalu lalang pada saat itu. Mereka baru pulang dari kerja. Mereka memberi salam kepada Musa saat melintas di depannya. Musa membalas salam mereka dengan tergesa-gesa.
Hingga kemudian, datanglah seorang lelaki tua berpenampilan pengemis. Ia datang dan menunduk di hadapan Musa. Ia berpakaian kumuh, berjalan dengan tongkat, dan hanya mengenakan sandal butut. “Salam tuan,” kata orang tua itu. “Sudikah Tuan berbagi sedikit makanan dari hidangan Tuan yang istimewa untuk diri hamba yang kurang beruntung ini? Sesuai adab kedermawanan, hamba minta sedikit sedekah dari hidangan Tuan.”
“Ya, ya…” jawab Musa dengan ramah namun tak sabar. “Kau akan mendapatkan bagianmu, dan juga uang. Tapi kau datang saja nanti. Sekarang aku sedang menunggu tamu penting. Aku tak punya waktu untukmu.”
Lalu pergilah pengemis itu, sedang Musa terus menunggu. Jam demi jam berlalu hingga larut malam, tetapi Tuhan tak kunjung datang. Musa menjadi resah. Ia menangis dan tak tidur semalaman. Terlintas pikirannya bahwa Tuhan telah melupakannya dan ini membuatnya bersedih. Pada subuh hari ia bergegas ke gurun pasir. Sambil menangis, ia merobek jubah indahnya dan bersujud di atas tanah.
“Wahai Tuhan,” jeritnya, “apakah aku telah menyinggung-Mu, sehingga Engkau tidak datang ke rumahku sebagaimana janji-Mu?”
“Oh, Musa,” jawab Tuhan, “Aku adalah pengemis yang berjalan dengan tongkat yang kau abaikan. Ketahuilah sesungguhnya AKU ada di semua ciptaan-Ku, dan apa pun yang kau berikan pada hamba-Ku yang paling lemah berarti engkau berikan kepada AKU.”
(Disadur dari buku karangan Irving Karchmar berjudul, “Master of Jinn: the Sufi Novel“, 2004)
Mungkin saja pengemis yang saya jumpai tadi tidak sesuai dengan kalimat, ”AKU ada di semua ciptaan-Ku, dan apa pun yang kau berikan pada hamba-Ku yang paling lemah berarti engkau berikan kepada AKU.”
Tetapi bukan tidak mungkin juga karena bagaimanapun dia adalah Mahluk Ciptaaan-Nya yang mungkin tidak lemah secara Fisik tetapi lemah dalam hal lain.
Begitu banyak orang yang butuh pertolongan disekeliling kita, dalam bentuk, dalam rupa, dalam kebutuhan yang berbeda-beda. Namun seringkali keinginan kita untuk menolong terhalang oleh pikiran-pikiran negatif entah apapun latar belakangnya, yang akhirnya seringkali menahan langkah kita untuk menolong, bahkan tidak jarang juga malah membuat kita merasa risih dengan keberadaan mereka.
Ya Allah, maafkan hamba yang kadang tak mampu melihat kehadiran-Mu.
Sekali, dua kali, tiga kali saya mengucapkan kata maaf, tapi tak juga dia mau beranjak, sampai akhirnya kekesalan saya mengundang kegeraman dalam hati, “Terserah deh Loe mau diri didepan gw sampai malem jumat kliwon juga gak pa-pa!” Akhirnya ia menyerah dan berlalu sambil melemparkan dua kata manis,”Dasar Pelit!”
Kata-kata itu sontak mengundang amarah saya, meski untungnya saya bisa menahan reaksi.
Sambil merasakan aliran darah yang hampir muncrat di kepala, hati saya bergumam 1001 umpatan, “Dasar Malas! Kerja apa, kek?! Badan Gede gitu jadi pengemis!..bla..bla..bla..!”
Sampai akhirnya saya tersadar, berucap istighfar dalam hati dan berbisik,” Her, udah gak ngasih duit, makan jadi nggak enak, kok ditambah dengan sumpah serapah yang nambahin dosa, sih!”
Duh bener juga, ya. Coba kalau tadi tanpa pikir langsung saya kasih logaman 1.000 cring, suasana hati pasti tidak menjadi kacau balau begini. Lagian kalau dipikir, mana ada sih orang berkecukupan yang mau jadi pengemis? Apapun alasannya kalau sampai dia mengemis, pastilah standar kehidupannya jauh dibawah kita, entah itu standar ekonomi, standar intelektualitas, dsb. Meski kadang hati menjerit, ”Dia cuma pura-pura lemah tuh, memang dasarnya malas aja!” Itupun jelas bahwa berarti standar moral dia jauh lebih miskin daripada kita alias miskin moral.
Seribu rupiah tidak mungkin membuat saya jatuh miskin, jauh juga dari membuat si pengemis tadi menjadi kaya. Pelajaran yang saya berikan untuk tidak memberinya-pun ternyata tidak membuatnya berubah, malah membuatnya kesal dan mengundang serangkaian suasana buruk yang meliputi hati saya. Penyesalanpun tetap dan semakin mengganjal di hati saya, apalagi ketika saya teringat cerita tentang Nabi Musa dan Pengemis Tua, berikut :
Quote:
Kisah Nabi Musa dan Pengemis Tua
Suatu ketika Musa berjalan sendiri di tengah gurun dan berdoa kepada Allah, “ya Allah, selama bertahun-tahun aku telah menjadi hamba-Mu yang taat, namun Engkau tak pernah masuk ke dalam hatiku, juga tak pernah makan roti bersamaku. Sudikah Engkau untuk datang dan makan di rumahku?”
Dan Allah senang dengan permintaan ini. Ia menjawab, “Ya, tentu saja! Sesungguhnya engkau telah menjadi hambaKu yang taat, jadi Aku akan datang malam ini untuk tinggal dan makan malam bersamamu.”
Musa sangat girang karena permintaan khususnya dipenuhi. Dengan riang ia pulang ke rumah, menyuruh keluarganya menyiapkan hidangan khusus. Dan ia memasak sendiri makanan khusus untuk Tuhannya.
Setelah semuanya siap dan jam makan malam sudah tiba, Musa mengenakan jubahnya yang terindah dan menunggu di luar rumah. Ia tak sabar menanti Tuhannya. Banyak orang lalu lalang pada saat itu. Mereka baru pulang dari kerja. Mereka memberi salam kepada Musa saat melintas di depannya. Musa membalas salam mereka dengan tergesa-gesa.
Hingga kemudian, datanglah seorang lelaki tua berpenampilan pengemis. Ia datang dan menunduk di hadapan Musa. Ia berpakaian kumuh, berjalan dengan tongkat, dan hanya mengenakan sandal butut. “Salam tuan,” kata orang tua itu. “Sudikah Tuan berbagi sedikit makanan dari hidangan Tuan yang istimewa untuk diri hamba yang kurang beruntung ini? Sesuai adab kedermawanan, hamba minta sedikit sedekah dari hidangan Tuan.”
“Ya, ya…” jawab Musa dengan ramah namun tak sabar. “Kau akan mendapatkan bagianmu, dan juga uang. Tapi kau datang saja nanti. Sekarang aku sedang menunggu tamu penting. Aku tak punya waktu untukmu.”
Lalu pergilah pengemis itu, sedang Musa terus menunggu. Jam demi jam berlalu hingga larut malam, tetapi Tuhan tak kunjung datang. Musa menjadi resah. Ia menangis dan tak tidur semalaman. Terlintas pikirannya bahwa Tuhan telah melupakannya dan ini membuatnya bersedih. Pada subuh hari ia bergegas ke gurun pasir. Sambil menangis, ia merobek jubah indahnya dan bersujud di atas tanah.
“Wahai Tuhan,” jeritnya, “apakah aku telah menyinggung-Mu, sehingga Engkau tidak datang ke rumahku sebagaimana janji-Mu?”
“Oh, Musa,” jawab Tuhan, “Aku adalah pengemis yang berjalan dengan tongkat yang kau abaikan. Ketahuilah sesungguhnya AKU ada di semua ciptaan-Ku, dan apa pun yang kau berikan pada hamba-Ku yang paling lemah berarti engkau berikan kepada AKU.”
(Disadur dari buku karangan Irving Karchmar berjudul, “Master of Jinn: the Sufi Novel“, 2004)
****************************************************************************************************************
Mungkin saja pengemis yang saya jumpai tadi tidak sesuai dengan kalimat, ”AKU ada di semua ciptaan-Ku, dan apa pun yang kau berikan pada hamba-Ku yang paling lemah berarti engkau berikan kepada AKU.”
Tetapi bukan tidak mungkin juga karena bagaimanapun dia adalah Mahluk Ciptaaan-Nya yang mungkin tidak lemah secara Fisik tetapi lemah dalam hal lain.
Begitu banyak orang yang butuh pertolongan disekeliling kita, dalam bentuk, dalam rupa, dalam kebutuhan yang berbeda-beda. Namun seringkali keinginan kita untuk menolong terhalang oleh pikiran-pikiran negatif entah apapun latar belakangnya, yang akhirnya seringkali menahan langkah kita untuk menolong, bahkan tidak jarang juga malah membuat kita merasa risih dengan keberadaan mereka.
Ya Allah, maafkan hamba yang kadang tak mampu melihat kehadiran-Mu.

[URL="http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/05/aku-dan-pengemis-yang-‘ngeselin’-462476.html"]Sumber Inspirasinya[/URL]
Quote:
Jangan lupa
nya kalo bermanfaat




0
4.7K
Kutip
79
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan