- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Berjaya Bersama Sang Naga


TS
TIANGOMAN
Berjaya Bersama Sang Naga

Bagaimana bersikap atas kebangkitan RRC? Pertanyaan ini sedang menjadi topik hangat di berbagai pelosok dunia. Maklum negeri yang sering disebut sebagai sang Naga itu telah membukukan sejumlah prestasi yang mencengangkan penduduk bumi. Bayangkan, dalam tempo sekitar tiga dekade negeri berpenduduk terbesar dunia ini seperti bertiwikrama dari bangsa yang sebelumnya sering diolok karena kemiskinannya menjadi kekuatan ekonomi nomor dua, dan menasbihkan dirinya sebagai negeri pengekspor nomor wahid.
Keberhasilan ini mau tak mau membuat RRC semakin dilihat sebagai calon kuat menjadi negeri adidaya, pengimbang Amerika Serikat. Akankah ini berarti dunia kembali terpola dalam dua kutub kekuatan yang saling bersaing? Semacam perang dingin babak kedua dengan Tiongkok sebagai pengganti peran mendiang Uni Soviet?
Kalangan pakar geopolitik, terutama yang bernaung dalam komunitas keamanan, kerap mengarahkan teropong mereka pada berbagai otot sang Naga. Mereka meributkan pembangunan kekuatan angkatan laut negeri tirai bambu ini. Pengoperasian Shi Lang tahun lalu, misalnya, digembar-gemborkan sebagai upaya RRC mengembangkan kekuatan laut globalnya (blue water navy). Apalagi bekas kapal induk Rusia yang dibeli RRC ini direncanakan akan diperkuat dengan dua kapal sejenis yang sedang dibangun di galangan dalam negeri.


Penguatan kemampuan militer RRC ini tentu mengkhawatirkan negara-negara yang memiliki sejarah atau potensi konflik dengan sang Naga. India, negara yang paling panjang perbatasan daratnya dengan Tiongkok, kini giat melatih 150 ribu personil militer yang direkrut khusus untuk menjaga pagarnya dengan Beijing di kawasan Himalaya. Vietnam merasa perlu untuk memperkuat angkatan lautnya dengan kapal selam nuklir.
Sementara itu, Amerika Serikat menyatakan akan mempersering persinggahan kapal-kapal patrolinya di perairan negara-negara yang bersahabat dengannya di kawasan Asia Pasifik. Di Darwin, Australia, malah direncanakan dibangun pangkalan baru yang akan diperkuat dengan 2500 satuan marinir.
Reaksi ini dinilai berlebihan oleh Beijing. Para pemimpin RRC selalu berupaya mengingatkan dunia bahwa sang Naga memang tumbuh dan berkembang, tapi bukan untuk memangsa yang lain. Mantra kebijakan luar negerinya yang selalu diungkapkan dimana saja kapan saja adalah: Zhōngguó hépíng fāzhǎn (pembangunan damai Tiongkok). Mantra yang sempat dimodifikasi pada 2004 karena doktrin awal yang berbunyi Zhōngguó hépíng juéq (Kemajuan Damai Tiongkok) sempat dianggap terlalu agresif.
Beijing pun tak bosan bosannya mengingatkan bahwa walau ekonominya kini nomor dua di dunia, namun karena penduduknya banyak sekali, kekayaan perkapitanya masih masuk kategori miskin. Laju ekonominya yang tercepat di dunia pun amat bergantung pada kemampuan negeri lain membeli produknya. Apalagi keuntungan negeri yang menjadi pabrikan terbesar di dunia itu amat tipis, hingga jika nilai mata uangnya menguat terlalu banyak saja akan mengancam daya saingnya.
Lantas bagaimana seharusnya Indonesia bersikap terhadap dinamika RRC ini? Kita tentu tak ingin meniru nasib manusia pertama yang dimangsa harimau karena terlalu optimis mampu menjinakannya. Tapi kita tentu juga tak ingin bernasib seperti manusia pertama yang tertinggal peradabannya karena terlalu pesimis terhadap kemampuannya menjinakan kuda liar. Lantas bagaimana sikap kita dalam soal menjinakan sang Naga?
Jawaban atas pertanyaan ini ternyata sudah diwariskan pada kita oleh para pendiri bangsa. UUD 45 secara tegas telah menitahkan bahwa politik luar negeri RI adalah bebas aktif. Artinya bersikap independen terhadap pengelompokan di gelanggang internasional dan giat terlibat dalam upaya menjaga perdamaian dunia. Panduan konstitusi itu kini tinggal diterapkan saja: Indonesia harus aktif dalam upaya diplomasi memastikan kebangkitan sang Naga tak memicu konflik besar di bumi, bahkan menjadi penyumbang terbentuknya kestabilan baru dunia yang lebih sejahtera dan berkeadilan.
Indonesia jangan sampai melupakan sejarahnya.
Di masa lampau, saat Tiongkok dan India merupakan negara kaya raya dan saling berdagang secara damai melalui selat Malaka, Nusantara pun menjadi bangsa kelas dunia yang sejahtera. Itulah masa kejayaan Sriwijaya. Itulah masa kejayaan Majapahit.
Sekarang Tiongkok dan India mulai kembali berperan menjadi lokomotif ekonomi dunia. Kita berkepentingan agar kedua negara ini menjadi semakin sejahtera dan saling berniaga dengan damai. Sebab ini akan membuat masa gemilang nusantara kembali tercipta.
Indonesia yang Raya.

0
1.4K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan