- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pria Ini, Dosen Merangkap Pawang Hujan


TS
vikiejeleek
Pria Ini, Dosen Merangkap Pawang Hujan
Sabtu, 19 Januari 2013 | 09:00 WIB

Quote:
TEMPO.CO, Bandung - Tiap datang musim hujan, pekerjaan Mas Nanu Munajar Dahlan alias Abah Nanu, 53 tahun, sering bertambah. Selain mengajar di Jurusan Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, bergiat di acara seni budaya Sunda, serta melatih petani bunga Cihideung, di padepokan Karang Kamuning, ia sering dapat permintaan mendadak.
Sebagai pawang hujan cukup terkenal di Bandung, banyak yang ingin memakai jasanya. "Biasanya, tiap hari saya cuma sanggup menerima dua permintaan saja," katanya saat ditemui Tempo, Rabu, 16 Januari 2013.
Kalau ada permintaan, Abah Nanu sudah ambil ancang-ancang sepekan sebelum hari H. Persiapannya berupa doa dan zikir 300 kali tiap salat tahajud. Waktunya mulai dari pukul 1 hingga 3 dinihari. Inti dari doanya, ia meminta kepada Tuhan agar pada hari dan alamat tertentu dari pagi sampai sore misalnya, cuaca tetap cerah agar acaranya tidak tersiram hujan. "Ibarat mengajukan proposal, doa itu harus berulang-ulang setiap hari supaya dikabulkan Allah SWT," katanya.
Repotnya, kalau datang permintaan mendadak yang sering sulit ditolak karena hubungan pertemanan. Cara daruratnya, ia melakukan salat sunah mutlak dua rakaat sebelum azan zuhur, atau salat sunah biasa setelah salat wajib itu kemudian berzikir. Ia biasa melakukannya di lokasi acara atau dari tempat yang jauh. Selain itu, mengikuti petunjuk gurunya, Abah Nanu memakai media tanah kering dan membakar rokok berisi kemenyan. "Yang merokok orang lain karena saya tidak merokok," ujarnya. Adapun tanah kering ditebar si empunya hajat untuk menangkal awan mendung mencurahkan hujan.
Abah Nanu mengaku caranya itu seringkali berhasil. "Tapi kalau sudah keburu turun hujan, sudah susah ditolaknya," kata dia.
Kalau mega baru mendung, lewat doanya itu awan gelap bisa buyar. Kadang ia sengaja berdoa agar awan mendung itu bergeser ke daerah tertentu. Namun seringkali ia menyerahkan kepada Tuhan soal lokasi penggeseran awan mendung itu. Pernah di Lapangan Gasibu mendadak cerah pada suatu hari ketika ada acara, dan hujan turun hanya berjarak 100-200 meter dari lapangan di depan Gedung Sate, Bandung, itu. "Pernah juga awannya hujan begitu sampai di Cimahi," katanya.
Secara kasat mata, Abah Nanu pernah menangkap saling geser awan mendung di langit. Menurutnya, itu kerja para pawang hujan yang sedang 'mengawal' acara supaya sukses di berbagai tempat. Kalau awan mendung sudah berkumpul merata di langit, katanya, sulit juga para pawang 'membuang' mega ke tempat lain. "Apa boleh buat, hukum alam tak bisa dilawan. Setelah dihujankan satu jam, setelah itu biasanya cerah lagi," katanya.
Menjadi pawang hujan sejak 1990-an, pelanggan Abah Nanu berasal dari berbagai kalangan. Diantaranya masyarakat yang akan hajatan, kalangan tentara, kru film, seniman yang mau berpameran, galeri seni, serta kampus. Pekerjaan itu dianggapnya sambilan karena niatnya hanya ingin membantu orang. Ia pun tak menetapkan tarif khusus, melainkan sukarela. Sakunya pernah terisi ratusan ribu hingga jutaan rupiah dari para pelanggannya. "Paling besar pernah dapat Rp 10 juta selama jadi pawang 10 hari di acara Dies Emas ITB," katanya.
sumber : Tempo.co
Sebagai pawang hujan cukup terkenal di Bandung, banyak yang ingin memakai jasanya. "Biasanya, tiap hari saya cuma sanggup menerima dua permintaan saja," katanya saat ditemui Tempo, Rabu, 16 Januari 2013.
Kalau ada permintaan, Abah Nanu sudah ambil ancang-ancang sepekan sebelum hari H. Persiapannya berupa doa dan zikir 300 kali tiap salat tahajud. Waktunya mulai dari pukul 1 hingga 3 dinihari. Inti dari doanya, ia meminta kepada Tuhan agar pada hari dan alamat tertentu dari pagi sampai sore misalnya, cuaca tetap cerah agar acaranya tidak tersiram hujan. "Ibarat mengajukan proposal, doa itu harus berulang-ulang setiap hari supaya dikabulkan Allah SWT," katanya.
Repotnya, kalau datang permintaan mendadak yang sering sulit ditolak karena hubungan pertemanan. Cara daruratnya, ia melakukan salat sunah mutlak dua rakaat sebelum azan zuhur, atau salat sunah biasa setelah salat wajib itu kemudian berzikir. Ia biasa melakukannya di lokasi acara atau dari tempat yang jauh. Selain itu, mengikuti petunjuk gurunya, Abah Nanu memakai media tanah kering dan membakar rokok berisi kemenyan. "Yang merokok orang lain karena saya tidak merokok," ujarnya. Adapun tanah kering ditebar si empunya hajat untuk menangkal awan mendung mencurahkan hujan.
Abah Nanu mengaku caranya itu seringkali berhasil. "Tapi kalau sudah keburu turun hujan, sudah susah ditolaknya," kata dia.
Kalau mega baru mendung, lewat doanya itu awan gelap bisa buyar. Kadang ia sengaja berdoa agar awan mendung itu bergeser ke daerah tertentu. Namun seringkali ia menyerahkan kepada Tuhan soal lokasi penggeseran awan mendung itu. Pernah di Lapangan Gasibu mendadak cerah pada suatu hari ketika ada acara, dan hujan turun hanya berjarak 100-200 meter dari lapangan di depan Gedung Sate, Bandung, itu. "Pernah juga awannya hujan begitu sampai di Cimahi," katanya.
Secara kasat mata, Abah Nanu pernah menangkap saling geser awan mendung di langit. Menurutnya, itu kerja para pawang hujan yang sedang 'mengawal' acara supaya sukses di berbagai tempat. Kalau awan mendung sudah berkumpul merata di langit, katanya, sulit juga para pawang 'membuang' mega ke tempat lain. "Apa boleh buat, hukum alam tak bisa dilawan. Setelah dihujankan satu jam, setelah itu biasanya cerah lagi," katanya.
Menjadi pawang hujan sejak 1990-an, pelanggan Abah Nanu berasal dari berbagai kalangan. Diantaranya masyarakat yang akan hajatan, kalangan tentara, kru film, seniman yang mau berpameran, galeri seni, serta kampus. Pekerjaan itu dianggapnya sambilan karena niatnya hanya ingin membantu orang. Ia pun tak menetapkan tarif khusus, melainkan sukarela. Sakunya pernah terisi ratusan ribu hingga jutaan rupiah dari para pelanggannya. "Paling besar pernah dapat Rp 10 juta selama jadi pawang 10 hari di acara Dies Emas ITB," katanya.
sumber : Tempo.co
komen : menurut ane sih, ini karena kebetulan aja gan. memang sih tuhan itu maha mengabulkan. maha mengabulkan apa yang di kehendaki nya,

berita terkait

Quote:
Kisah Pawang Hujan; Lempar Kolor, Hujan Molor
TEMPO.CO, Bangkalan--Penampilannya jauh dari elegan. Celana pendek sedengkul dan baju koko agak kusam seolah pakaian favoritnya. Tak seorang pun bakal mengira, Mat Tilyas, 60 tahun, punya kemampuan yang tak biasa: pawang hujan.
Rabu 16 Januari 2013 sore, di rumahnya yang sederhana dan asri, di Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, bapak dua anak ini sedang mengobati anak kecil yang terus nangis meronta-ronta karena sakit gigi. "Ngobatin sakit gigi juga, pijat juga," katanya kepada tempo.co menjelaskan dua keahlian lain selain pawang hujan.
Setelah sang pasien pulang, Tilyas pergi sejenak, sejurus kemudian datang membawa sebuah sapu lidi. "Ini bisa jadi "alat" pengalih hujan," tuturnya sambil tersenyum. Memang kurang bisa diterima akal sehat, tapi itulah misteri keyakinan seorang pawang hujan. Selain sapu lidi, Tilyas menajurkan sarang semut pohon hingga celana kolor wanita bisa dijadikan alat pengalih hujan. "Benda apa pun bisa jadi "alat".
Bagaimana sapu lidi bisa menunda hujan? Menurut Tilyas, sapu lidi tentu tidak bisa menunda hujan. Yang diperlukan seorang pawang adalah ritual yaitu memperbanyak zikir dan berdoa kepala tuhan yang maha esa. Tapi, doa dan dzikir ini tidak bertuah, jika sang pemohon tidak yakin kepada pawangnya. "Kalau pemohon tidak yakin, tidak akan berhasil, harus yakin, itu kuncinya," katanya lagi.
Ilmu pawang hujan Tilyas didapat dengan belajar. Mulanya berawal dari kegiatannya di teater desa. Tilyas belajar ilmu gendam khusus menarik banyak penonton datang menonton pertunjukannya. Dari ilmu gendam inilah, berkembang ke pawang hujan, memijat pakai tenaga dalam hingga mengobati sakit gigi pakai air putih. Agar ilmunya ampuh, seorang pawang harus melatih kebatinan dengan beribadah. "Walau baca surat fatihah, tapai kalau hati bersih, pasti jadi mantra yang ampuh," jelasnya.
Di musim hujan seperti saat ini. Jasa Mat Tilyas memang sangat dibutuhkan terutama untuk acara selamatan yang mengundang banyak orang. Jika sedang menangani pasien hujan, mat Tilyas tidak keluar rumah hingga acara di rumah pasiennya selesai. Dia akan terus memanjatkan doa kepada yang maha kuasa. Dia juga akan meminta sang pemohon tidak mandi seharian penuh serta menyalakan dupa. Dupa tidak boleh mati hingga hajatannya selesai. "Hati pawang itu harus bersih, tidak boleh sombong apalagi takabur," katanya.
Soal tarif pawang, tidak ada patokan. Tapi tilyas selalu membiasakan diri menerima bayaran di belakang setelah hajatan sukses. Upah yang diterimanya bervariasi antara Rp 50 hingga 100 perorang. "Kalau sukses saya terima dibayar, kalau gagal tidak perlu bayar," ungkapnya.
Meski begitu, Tilyas tidak mau menjadikan keahliannya ini sebagai sumber mata pencaharian utama. Sebab itu dia juga menjadi tukang pijat, mengobati sakit gigi, bertani hingga menjadi kuli. "Kalau ngandalkan upah pawang, tidak cukup, hanya sampingan saja," katanya.
Menurut Tilyas, semua orang bisa menjadi pawang hujan. Hal ini sejalan dengan yang dialami Halimatus, 25 tahun. Warga Desa Jekan, Kecamatan Socah. Dalam dunia pawang, anak pertama dipercaya punya kemampuan otomatis menjadi pawang. Halimatus sudah membuktikannya.
Ketika menikah pada 2006 silam, bertepatan dengan musim hujan. Agar tamu undangan tetap datang, ibunya memintanya melempar celana dalamnya ke atap rumah dan ajaib mendung mendadak sirna, hujan baru turun setelah acar selesai. "Saya tidak boleh mandi seharian, saya juga berdoa dalam hati setiap saat," katanya kepada Tempo.
Keberhasilan menunda hujan pertama kalinya itu, membuat halimahtus banyak tetamu. Namun dia menolak. "Saya hanya mau gunakan keahlian ini untuk hajatan keluarga sendiri," ucap wanita dua anak ini. Simak berita unik lainnya.
MUSTHOFA BISRI
sumber : yahoo
TEMPO.CO, Bangkalan--Penampilannya jauh dari elegan. Celana pendek sedengkul dan baju koko agak kusam seolah pakaian favoritnya. Tak seorang pun bakal mengira, Mat Tilyas, 60 tahun, punya kemampuan yang tak biasa: pawang hujan.
Rabu 16 Januari 2013 sore, di rumahnya yang sederhana dan asri, di Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, bapak dua anak ini sedang mengobati anak kecil yang terus nangis meronta-ronta karena sakit gigi. "Ngobatin sakit gigi juga, pijat juga," katanya kepada tempo.co menjelaskan dua keahlian lain selain pawang hujan.
Setelah sang pasien pulang, Tilyas pergi sejenak, sejurus kemudian datang membawa sebuah sapu lidi. "Ini bisa jadi "alat" pengalih hujan," tuturnya sambil tersenyum. Memang kurang bisa diterima akal sehat, tapi itulah misteri keyakinan seorang pawang hujan. Selain sapu lidi, Tilyas menajurkan sarang semut pohon hingga celana kolor wanita bisa dijadikan alat pengalih hujan. "Benda apa pun bisa jadi "alat".
Bagaimana sapu lidi bisa menunda hujan? Menurut Tilyas, sapu lidi tentu tidak bisa menunda hujan. Yang diperlukan seorang pawang adalah ritual yaitu memperbanyak zikir dan berdoa kepala tuhan yang maha esa. Tapi, doa dan dzikir ini tidak bertuah, jika sang pemohon tidak yakin kepada pawangnya. "Kalau pemohon tidak yakin, tidak akan berhasil, harus yakin, itu kuncinya," katanya lagi.
Ilmu pawang hujan Tilyas didapat dengan belajar. Mulanya berawal dari kegiatannya di teater desa. Tilyas belajar ilmu gendam khusus menarik banyak penonton datang menonton pertunjukannya. Dari ilmu gendam inilah, berkembang ke pawang hujan, memijat pakai tenaga dalam hingga mengobati sakit gigi pakai air putih. Agar ilmunya ampuh, seorang pawang harus melatih kebatinan dengan beribadah. "Walau baca surat fatihah, tapai kalau hati bersih, pasti jadi mantra yang ampuh," jelasnya.
Di musim hujan seperti saat ini. Jasa Mat Tilyas memang sangat dibutuhkan terutama untuk acara selamatan yang mengundang banyak orang. Jika sedang menangani pasien hujan, mat Tilyas tidak keluar rumah hingga acara di rumah pasiennya selesai. Dia akan terus memanjatkan doa kepada yang maha kuasa. Dia juga akan meminta sang pemohon tidak mandi seharian penuh serta menyalakan dupa. Dupa tidak boleh mati hingga hajatannya selesai. "Hati pawang itu harus bersih, tidak boleh sombong apalagi takabur," katanya.
Soal tarif pawang, tidak ada patokan. Tapi tilyas selalu membiasakan diri menerima bayaran di belakang setelah hajatan sukses. Upah yang diterimanya bervariasi antara Rp 50 hingga 100 perorang. "Kalau sukses saya terima dibayar, kalau gagal tidak perlu bayar," ungkapnya.
Meski begitu, Tilyas tidak mau menjadikan keahliannya ini sebagai sumber mata pencaharian utama. Sebab itu dia juga menjadi tukang pijat, mengobati sakit gigi, bertani hingga menjadi kuli. "Kalau ngandalkan upah pawang, tidak cukup, hanya sampingan saja," katanya.
Menurut Tilyas, semua orang bisa menjadi pawang hujan. Hal ini sejalan dengan yang dialami Halimatus, 25 tahun. Warga Desa Jekan, Kecamatan Socah. Dalam dunia pawang, anak pertama dipercaya punya kemampuan otomatis menjadi pawang. Halimatus sudah membuktikannya.
Ketika menikah pada 2006 silam, bertepatan dengan musim hujan. Agar tamu undangan tetap datang, ibunya memintanya melempar celana dalamnya ke atap rumah dan ajaib mendung mendadak sirna, hujan baru turun setelah acar selesai. "Saya tidak boleh mandi seharian, saya juga berdoa dalam hati setiap saat," katanya kepada Tempo.
Keberhasilan menunda hujan pertama kalinya itu, membuat halimahtus banyak tetamu. Namun dia menolak. "Saya hanya mau gunakan keahlian ini untuk hajatan keluarga sendiri," ucap wanita dua anak ini. Simak berita unik lainnya.
MUSTHOFA BISRI
sumber : yahoo
Diubah oleh vikiejeleek 19-01-2013 16:19
0
2.5K
Kutip
16
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan