
Memasuki hari ketiga banjir besar di Jakarta, masih banyak warga korban banjir Kelurahan Rawajati memilih tetap bertahan mengungsi di kolong jembatan layang Kalibata, Jakarta Selatan. Sejak Selasa malam lalu mereka harus rela menahan dinginnya angin malam yang menusuk tulang yang berhembus dari kolong jembatan layang yang tak memiliki sekat.
Kondisi mengenaskan semacam itulah yang tiga hari ini dirasakan David dan keluarganya. Ia beserta anggota keluarganya, termasuk tiga orang anaknya yang masih kecil, hanya bisa pasrah dan menikmati kondisi yang mereka terima.
"Saya sih gak kenapa, cuma yang jadi pikiran saya ini anak-anak, kasian," ujar David becerita.
Memang anak-anak David masih tergolong kecil, bahkan Zildan si bungsu baru berusia 1,5 tahun. Di tengah dinginnya malam dan rintikan hujan, si kecil bukannya tak merasa dingin, bahkan sang ayah bertutur lewat tengah malam seringkali putra bungsunya itu terjaga karena dinginnya udara.
"Ya kalo jelang subuh mereka ngeluh kedinginan, si kecil (Zildan) juga sering kebangun," tuturnya.
Tempat mengungsi David dan keluarga memang hanya diatapi beton jalan sebagai atap, tak ada dinding yang bisa menahan angin, hanya terpal berwarna biru yang didirikan seadanya untuk sekedar mengurangi angin yang berhembus masuk. Penerangan pun hanya hanya berasal dari cahaya bangunan-bangunan pinggir kolong jembatan dan lampu darurat yang dibuat beberapa untuk sedikit menerangi area pengungsian.
Meskipun demikian, pria berambut gondrong itu mengaku tak bisa berbuat apa-apa, posko penampungan pengungsi terdekat sudah penuh warga yang juga menjadi korban banjir seperti halnya dirinya. Akhirnya dengan terpaksa, David memboyong keluarganya ke kolong jembatan Kalibata sebagai pilhan terkahir.
Ia juga mengaku sebenarnya merasa tak enak harus membawa mertuanya ke kolong jembatan itu untuk mengungsi. Namun keadaan tak memberinya pilihan lain sehingga terpaksalah mereka sekeluarga menempati kolong jembatan sebagai pilihan terakhirnya.
"Ya mau gimana lagi, posko juga udah penuh," imbuhnya.
David mengaku dirinya bukan hanya sekali itu merasakan ganasnya banjir di Jakarta, sebelumnya pada saat banjir besar 2007 silam ia juga harus mengalami pengalaman serupa dan mengungsi dari kediamannya yang terendam banjir. Namun ini pertama kali baginya harus tidur di bawah jembatan layang, apalagi harus membawa serta keluarganya.
Saat ini David hanya bisa pasrah dan berharap pemerintah lebih memberikan perhatian pada para pengungsi, khususnya yang masih berusia balita. Meskipun ia mengaku bantuan makanan tak pernah kurang, David mengeluhkan minimnya bantuan berupa selimut ataupun susu bayi yang amat dibutuhkan para pengungsi balita yang jumlahnya cukup banyak disana.