- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[ Kisah nyata ] TAN HOK LIANG aka ANTON MEDAN Sang Mantan Preman yang Jadi Da’i


TS
anjarmiati
[ Kisah nyata ] TAN HOK LIANG aka ANTON MEDAN Sang Mantan Preman yang Jadi Da’i
![[ Kisah nyata ] TAN HOK LIANG aka ANTON MEDAN Sang Mantan Preman yang Jadi Da’i](https://dl.kaskus.id/3.bp.blogspot.com/-AcOq26SLsG0/T0RyAmYWlYI/AAAAAAAACZo/rs27EhOKi-w/s1600/Anton+Medan.jpg)
Quote:
TAN HOK LIANG adalah nama asli Anton Medan. Ia lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara 1 Oktober 1957. Di usia 8 tahun, ia harus berhenti sekolah karena permintaan ibunya untuk membantu berjualan kue. Ia hanya mengenyam bangku Sekolah Rakyat (SD, red) selama 7 bulan, dan belum bisa membaca dan menulis. Menginjak usia 12 tahun, Kok Lien (panggilan kecilnya) menjadi anak terminal Tebing Tinggi, menjual jasa mencarikan penumpang bagi sopir. Kok Lien dikenal rajin. Banyak sopir terminal senang dan memanggilnya Cina Tongkol (Cintong). Tapi tak semua sopir menghargai kerja kerasnya. Suatu ketika ada seorang sopir tidak memberinya upah. Kok Lien protes. Tapi sopir itu malah marah. Terjadilah perang mulut. Tak sabar, Kok Lien mengambil sebuah balok kayu dan menghantam sekuat tenaga. Sopir itu pun tersungkur. Kok Lien lari. Tapi polisi menangkapnya.
Tahun 1970 Kok Lien merantau ke Terminal Amplas Medan. Usianya baru 13 tahun. Di Medan ia bekerja sebagai pencuci bus. Seperti di terminal Tebing Tinggi, ia dikenal rajin. Dalam satu hari ia bisa membersihkan 3-5 badan bus yang berdebu.
Seolah tak putus dirundung masalah, di terminal ini uangnya dicuri. Menyadarinya Kok Lien gelagapan. Setelah dilidiki, ia menemukan pencurinya dan menegurnya. Tapi si pencuri malah marah dan memukulnya. Orang-orang berdatangan, tapi tak ada yang melerai. Di saat tersudut, Kok Lien melihat sebilah kapak bergerigi yang biasa digunakan membilah es, tergeletak tak jauh darinya. Secepatnya ia ambil dan menghunjamkannya ke wajah lawannya. Seketika lawannya roboh. Kok Lien lalu ditangkap polisi dan dipenjara selama 4 tahun di LP Tiang Listrik, Medan.
Menginjak usia 17 tahun Kok Lien bebas. Ia gembira dan segera pulang, melepas rindu kepada keluarga. Tapi sayang, sampai di rumah ibunya hanya memberi waktu 2 jam untuk melepas rindu. Ibunya malu kepada tetangga. Dengan berat hati, Kok Lien melangkah pergi.
Di tengah kegalauan, ia ingat pamannya yang ada di Jakarta. Ia ingin menjumpainya dan meminta bantuan mencari pekerjaan. Tapi sayang, ia tidak tahu alamat persisnya. “Saya tak tahu alamatnya, tapi saya nekad ke Jakarta,” katanya.
Tiba di Jakarta, harapan yang ia pupuk selama perjalanan hancur berantakan. Kurang lebih 7 bulan ia mencari rumah pamannya. Tapi setelah bertemu, ternyata pamannya tidak mengakuinya sebagai kemenakan. Malah menistakannya. Begitu pun adiknya. Ia tercampakkan. Ia kecewa. Di tengah kekecewaan yang mendalam, ia bertemu kenalannya di simpang jalan yang berpenampilan parlente. Temannya baru saja menjambret. Mendengar cerita temannya, ia tertarik. Akhirnya, ia menjual celana kesayangannya demi sebuah pisau. Dengan pisau itulah ia mulai menjambret dan berhasil.
Mulai saat itu kehidupan Kok Lien berubah. Ia sudah memilih kejahatan sebagai profesi. Senjatanya tak sekedar pisau, tapi pistol. Ia pun terkenal sebagai penjahat kelas kakap dan paling dicari di Jakarta dengan nama Anton Medan!
Perjalanan hidup Anton Medan tak sekedar menjadi penjahat profesional. Ia menjadi bandar judi setelah meruntuhkan kekuasaan bandar judi besar bernama Hong Lie. Sebagai bandar judi, pendapatannya satu malam mencapai puluhan juta. Ia menikmati gaya hidup mewah. Tapi ironisnya, kekayaan itu habis pula di dunia judi. Ia frustasi, dan sebagai pelampiasannya justru bermain judi di Genting, Makau, Chistmas, Hongkong maupun Las Vegas. Ia kalah milyaran rupiah. Dalam kebangkrutan itu, ia menemukan hikmah kehidupan yang sangat mendasar. Sejak itulah ia mendalami Islam secara sungguh-sungguh, bahkan di kemudian hari dikenal sebagai da’i.
Mencari Tuhan di Penjara
Sebelum reformasi 1998, mengenai adanya situasi keterbukaan masih jauh dari angan-angan. Tetapi pada masa itu, tahun 1996/1997, Anton Medan sudah mengungkapkan kondisi LP (Lembaga Pemasyarakatan) dengan sangat blak-blakan.
Dia termasuk salah satu pelopor percepatan pentingnya keterbukaan. Cermati fakta-faktanya. Di dalam LP ia belajar membaca dan menulis, dan dalam waktu satu minggu sudah bisa membaca koran.
Di dalam LP pun Anton Medan mencari Tuhan. Berkali-kali pindah agama, dan kini ia adalah seorang juru dakwah terkenal, pemilik/pengasuh sebuah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan berbasis kewirausahaan untuk SMP dan SMA. Betapa penting mengenali sosok manusia macam ini, yang ternyata dulu sekeluar dari penjara Kuningan, ia mengalami ancaman akan dibunuh “secara misterius” pun diterimanya secara langsung, tetapi dengan satu syarat, dan manakala syarat tersebut dipenuhinya, malah berdampak lanjut dirinya terseret dan masuk ke dalam dunia mafia.
Lebih jauh, seperti yang tertulis dalam biografi Anton Medan; Pergolakan Jiwa Seorang Mantan Terpidana, buah karya S Budhi Raharjo, selepas menetapkan pilihan Islam, ia dipercaya sebagai ketua RW di kampungnya. Sebagai abdi masyarakat, ia bekerja sunguh-sunguh. Bahkan ketika harus berhadapan dengan lurah yang diskriminatif terhadap warganya, ia bersedia melawan dan merelakan jabatan ketua RW yang ia sandang. Atas kesediaan berkorban ini, masyarakat di sekelilingnya makin simpatik padanya. Demikianlah perjalanan hidup Anton Medan: bila dulu ia dibenci dan dihujat masyarakat, tapi sekarang ia dicintai masyarakat.
Tahun 1970 Kok Lien merantau ke Terminal Amplas Medan. Usianya baru 13 tahun. Di Medan ia bekerja sebagai pencuci bus. Seperti di terminal Tebing Tinggi, ia dikenal rajin. Dalam satu hari ia bisa membersihkan 3-5 badan bus yang berdebu.
Seolah tak putus dirundung masalah, di terminal ini uangnya dicuri. Menyadarinya Kok Lien gelagapan. Setelah dilidiki, ia menemukan pencurinya dan menegurnya. Tapi si pencuri malah marah dan memukulnya. Orang-orang berdatangan, tapi tak ada yang melerai. Di saat tersudut, Kok Lien melihat sebilah kapak bergerigi yang biasa digunakan membilah es, tergeletak tak jauh darinya. Secepatnya ia ambil dan menghunjamkannya ke wajah lawannya. Seketika lawannya roboh. Kok Lien lalu ditangkap polisi dan dipenjara selama 4 tahun di LP Tiang Listrik, Medan.
Menginjak usia 17 tahun Kok Lien bebas. Ia gembira dan segera pulang, melepas rindu kepada keluarga. Tapi sayang, sampai di rumah ibunya hanya memberi waktu 2 jam untuk melepas rindu. Ibunya malu kepada tetangga. Dengan berat hati, Kok Lien melangkah pergi.
Di tengah kegalauan, ia ingat pamannya yang ada di Jakarta. Ia ingin menjumpainya dan meminta bantuan mencari pekerjaan. Tapi sayang, ia tidak tahu alamat persisnya. “Saya tak tahu alamatnya, tapi saya nekad ke Jakarta,” katanya.
Tiba di Jakarta, harapan yang ia pupuk selama perjalanan hancur berantakan. Kurang lebih 7 bulan ia mencari rumah pamannya. Tapi setelah bertemu, ternyata pamannya tidak mengakuinya sebagai kemenakan. Malah menistakannya. Begitu pun adiknya. Ia tercampakkan. Ia kecewa. Di tengah kekecewaan yang mendalam, ia bertemu kenalannya di simpang jalan yang berpenampilan parlente. Temannya baru saja menjambret. Mendengar cerita temannya, ia tertarik. Akhirnya, ia menjual celana kesayangannya demi sebuah pisau. Dengan pisau itulah ia mulai menjambret dan berhasil.
Mulai saat itu kehidupan Kok Lien berubah. Ia sudah memilih kejahatan sebagai profesi. Senjatanya tak sekedar pisau, tapi pistol. Ia pun terkenal sebagai penjahat kelas kakap dan paling dicari di Jakarta dengan nama Anton Medan!
Perjalanan hidup Anton Medan tak sekedar menjadi penjahat profesional. Ia menjadi bandar judi setelah meruntuhkan kekuasaan bandar judi besar bernama Hong Lie. Sebagai bandar judi, pendapatannya satu malam mencapai puluhan juta. Ia menikmati gaya hidup mewah. Tapi ironisnya, kekayaan itu habis pula di dunia judi. Ia frustasi, dan sebagai pelampiasannya justru bermain judi di Genting, Makau, Chistmas, Hongkong maupun Las Vegas. Ia kalah milyaran rupiah. Dalam kebangkrutan itu, ia menemukan hikmah kehidupan yang sangat mendasar. Sejak itulah ia mendalami Islam secara sungguh-sungguh, bahkan di kemudian hari dikenal sebagai da’i.
Mencari Tuhan di Penjara
Sebelum reformasi 1998, mengenai adanya situasi keterbukaan masih jauh dari angan-angan. Tetapi pada masa itu, tahun 1996/1997, Anton Medan sudah mengungkapkan kondisi LP (Lembaga Pemasyarakatan) dengan sangat blak-blakan.
Dia termasuk salah satu pelopor percepatan pentingnya keterbukaan. Cermati fakta-faktanya. Di dalam LP ia belajar membaca dan menulis, dan dalam waktu satu minggu sudah bisa membaca koran.
Di dalam LP pun Anton Medan mencari Tuhan. Berkali-kali pindah agama, dan kini ia adalah seorang juru dakwah terkenal, pemilik/pengasuh sebuah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan berbasis kewirausahaan untuk SMP dan SMA. Betapa penting mengenali sosok manusia macam ini, yang ternyata dulu sekeluar dari penjara Kuningan, ia mengalami ancaman akan dibunuh “secara misterius” pun diterimanya secara langsung, tetapi dengan satu syarat, dan manakala syarat tersebut dipenuhinya, malah berdampak lanjut dirinya terseret dan masuk ke dalam dunia mafia.
Lebih jauh, seperti yang tertulis dalam biografi Anton Medan; Pergolakan Jiwa Seorang Mantan Terpidana, buah karya S Budhi Raharjo, selepas menetapkan pilihan Islam, ia dipercaya sebagai ketua RW di kampungnya. Sebagai abdi masyarakat, ia bekerja sunguh-sunguh. Bahkan ketika harus berhadapan dengan lurah yang diskriminatif terhadap warganya, ia bersedia melawan dan merelakan jabatan ketua RW yang ia sandang. Atas kesediaan berkorban ini, masyarakat di sekelilingnya makin simpatik padanya. Demikianlah perjalanan hidup Anton Medan: bila dulu ia dibenci dan dihujat masyarakat, tapi sekarang ia dicintai masyarakat.
yang penting bukan awal tapi akhir...di cerita ini ane banyak mendapatkan pencerahan...
Diubah oleh anjarmiati 15-01-2013 15:19
0
18.2K
Kutip
53
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan