- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Hukum Indonesia Masih Bisa "Dimainkan" Para Buronan


TS
dipotanda
Hukum Indonesia Masih Bisa "Dimainkan" Para Buronan

Upaya pemulangan buron kerah putih kurang efektif karena hanya mengedepankan jalur formal.
Tampaknya sejauh ini, masih ada jalan berliku untuk memulangkan buron koruptor Kejagung yang melarikan diri ke luar negeri. Sebagai contoh adalah buron kasus korupsi BLBI Sherny Kojongian.
Sherny ditangkap petugas Immigration and Customs Enforcement San Francisco, AS, pada 10 November 2010, atas dasar red notice Interpol Indonesia. Namun meski sudah ditangkap, butuh waktu dua tahun untuk dapat mengembalikan Sherny ke Indonesia.
Itu lantaran Direktur Bank Harapan Sentosa tersebut mengajukan keberatan ekstradisi ke pengadilan di AS. Untungnya, pengadilan tingkat pertama menolak perlawanan Sherny itu.
Begitu pula di tingkat banding, di mana Ninth Circuit Court of Appeals AS kembali menolak permohonan yang diajukan Sherny dan menguatkan putusan sebelumnya yang mengharuskan dideportasi ke Indonesia.
Hingga akhirnya, pada 13 Juni 2012, Sherny tiba di Jakarta dan kemudian dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan khusus wanita Tangerang, untuk menjalani putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya 20 tahun penjara.
Lika-liku buronan lainnya, yakni terpidana BLBI Adrian Kiki Ariawan, juga melakukan perlawanan yang serupa dengan Sherny. Dia menolak ekstradisi pemerintah Australia dengan mengajukan keberatan ke Pengadilan Federal Australia.
Di pengadilan tingkat pertama Australia, keberatan Direktur Utama Bank Surya itu dikabulkan. Hakim federal menilai bahwa proses hukum Indonesia tidak sah dalam mengadili Adrian Kiki secara in-absentia (tidak hadir dalam sidang).
Namun pemerintah Australia kemudian mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama itu. Hingga kini, proses persidangan tingkat banding tersebut masih berjalan.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai, buronan Kejagung cerdik memanfaatkan celah hukum di negera tempat mereka bersembunyi. "Buronan itu kan punya uang banyak. (Mereka) Bisa menyewa pengacara handal untuk mencegah hal-hal yang dapat mengembalikan mereka ke Indonesia," ujarnya.
Kecerdikan itu dilakukan juga oleh Djoko Sugiarto Tjandra. Buronan kasus cessie Bank Bali itu meninggalkan Indonesia dengan menyewa pesawat dari Bandara Halim Perdanakusumah di Jakarta, ke Port Moresby, Papua Nugini, pada 10 Juni 2009. Waktunya itu hanya satu hari sebelum MA mengeluarkan keputusan atas perkaranya.
Tiga tahun berselang, tepatnya 16 April 2012, Direktur Era Giat Prima itu mendapat status kewarganegaraan Papua Nugini dan berganti nama menjadi Joe Chan.
Papua Nugini (PNG) dipilih Djoko Tjandra sebagai tempat pelarian, karena di negara ini belum ada perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Indonesia. Wakil Jaksa Agung Darmono yang menjadi Ketua Tim Terpadu pencari terpidana korupsi mengatakan, draf perjanjian ekstradisi baru dikirim oleh pemerintah PNG pada pertengahan Januari 2013.
Meski sudah berstatus warga negara PNG, Djoko Tjandra sendiri tidak memiliki tempat tinggal tetap. Dia memilih menginap di sebuah hotel terkenal di negara itu.
Catatan Imigrasi PNG pada 2012 bahkan menyebut, Joe Chan hanya 4 kali singgah di PNG, yaitu Januari, April, Juli dan September. Joe Chan lebih banyak menghabiskan waktunya di Singapura. Namun tim terpadu belum memiliki lokasi persis keberadaan Djoko Tjandra.
Hikmahanto menilai, instansi terkait seperti Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), kepolisian, serta Kejagung telah menjalankan fungsinya masing-masing untuk memulangkan para buronan. Namun, menurutnya, upaya pemulangan itu kurang efektif karena pemerintah hanya mengedepankan jalur formal.
"Kalau mau efektif, harus punya anggaran yang lebih besar, sehingga bisa menyewa detektif swasta," saran Hikmahanto.
Detektif itu, lanjut Hikmahanto, bertugas mengendus persembunyian para buronan. Sebab, menurutnya, tidak semua otoritas negara di luar negeri bersedia "mengubek-ubek" wilayahnya untuk mencari buronan Indonesia itu.
Nantinya setelah keberadaan buronan diketahui, Hikmahanto menambahkan, pemerintah Indonesia bisa segera memberitahukan otoritas setempat untuk menindaklanjuti. "Kalau ada anggaran, kan bisa lanjut menjemput buronan itu. Seperti buronan KPK Nazarudin (terdakwa kasus suap Wisma Atlet)," ujarnya pula.
sumber: http://www.beritasatu.com/hukum/8931...a-buronan.html
jangankan hukum, tayangan tipi aja isinya sinetron berkedok relijius dan adu domba, nggak ada yang berani memberitakan para buronan

ayo tebak, siapa pengacara (bayaran gedhe) kaki tangan mereka disini yang pandai "ngoceh" dan "menyuap"?

Diubah oleh dipotanda 15-01-2013 10:46
0
815
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan