Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ripsnorterAvatar border
TS
ripsnorter
Serobot lahan , PLN berutang



Sudah lahan hilang, uang penggantian pun belum didapat. Itulah nasib yang kini menimpa Hendrik Nelson, warga Tonsea Lama, Manado, Sulawesi Utara. Ia ahli waris pemilik lahan seluas 1,5 hektare yang tak bisa menikmati aset itu lantaran diserobot oleh PT PLN Persero. Pasalnya, ganti rugi lahan sebesar Rp54,7 miliar yang dimenangkan Hendrik hingga ke tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA), sejak 2007 silam, hingga kini tak dibayar oleh PT PLN.

Karena habis kesabaran Hendrik menunggu uang ganti rugi lahannya itu, pekan lalu, pihak keluarga melalui kuasa hukumnya Sahrul Nasution menyurati Dahlan Iskan sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi. Hendrik yang mewakili pihak keluarga, dalam suratnya meminta keadilan kepada Menteri BUMN dan Mensesneg agar memerintahkan PLN segera membayar kompensasi lahan itu.

Perseteruan keluarga Hendrik dengan PT PLN ini, terjadi sejak tahun 2001 silam. Saat itu, keluarga Hendrik menuntut hak kepemilikan lahan seluas 1,5 hektare di wilayah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tonsea Lama, Manado, Sulawesi Utara, yang dikuasai PT PLN selama 58 tahun. Keluarga Hendrik merasa, lahan miliknya digunakan oleh perusahaan negara untuk kepentingan komersial tanpa memberikan kompensasi kepada pemilik lahan. Karena PLN tak menanggapi keberatan Hendrik, ia pun membawa persoalan ini ke Pengadilan Negeri Manado.

Dalam persidangan perdata saat itu, majelis hakim memenangkan keluarga Hendrik dan memutuskan pihak PT PLN harus membayar nilai jual objek tanah sengketa senilai Rp1,3 miliar. Selain itu, juga membayar ganti rugi atas nilai produksi tanaman Rp580 juta dan 10 persen dari nilai profit pihak PT PLN yang menggunakan lahan tersebut selama 58 tahun, sebesar Rp52,75 miliar. Total uang yang harus dibayar PT PLN mencapai Rp 54,7 miliar.

Saat itu, karena alasan PT PLN mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara, pembayaran ganti rugi tak bisa langsung dieksekusi. Begitu juga ketika PT PLN kalah di tingkat banding dan kasasi di MA. Nah, hal yang sama kembali terjadi ketika PT PLN kalah di tingkat PK, pada tahun 2007 silam. "Padahal, kasus ini telah memiliki putusan hukum tetap sehingga harusnya PLN segera membayar kompensasi yang telah ditetapkan dalam persidangan, jangan malah mangkir," kata Hendrik kepada SINDO Weekly.

Ganti rugi yang seharusnya diterima keluarga Hendrik itu, sudah empat tahun tak pernah bisa dieksekusi. Sahrul, salah seorang ahli waris Hendrik kepada SINDO Weekly mengaku, telah banyak bersabar menanti janji dari PT PLN yang telah menyatakan akan membayar kompensasi tersebut. Jika mengikuti putusan yang ditetapkan MA, harusnya PT PLN membayar kompensasi tersebut paling lambat delapan hari setelah putusan PK."Kami melihat tidak ada itikad baik dari PT PLN untuk menjalankan putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap," ujarnya.

Tapi tampaknya, ahli waris Hendrik masih harus menempuh perjalanan lebih panjang. Pasalnya, Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah menyatakan tak akan membayar ganti rugi atas lahan yang diserobot PLN. Toh, itu tak melunturkan semangat Sahrul. Ia yakin ucapan itu dilontarkan Dahlan karena tidak tahu dan tidak paham bahwa kasus itu sudah berkekuatan hukum tetap. "Pernyataan Dahlan sama saja melempar tanggung jawab dan mengabaikan hak warga negara," tandasnya.

Untung Diambil, Rugi Dikasih Negara

Karena itu, lanjut Sahrul, PLN tidak bisa begitu saja menunda-nunda dan sengaja mengulur-ulur eksekusi ini. "PLN tidak punya alasan untuk tidak membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan. Apalagi, PLN satu-satunya perusahaan yang memonopoli pengadaan listrik di negara ini. Jadi, secara finansial, PLN tidak mungkin tidak bisa bayar," katanya.

Sementara itu, Wirabumi Kaluti Manajer PLN Wilayah Sulut mengatakan, pihaknya tidak bisa mengambil keputusan terkait pembayaran kompensasi tersebut. Ia beralasan, pengambil keputusan dalam masalah ini adalah PLN pusat. "Saya tidak bisa memberikan pernyataan apa-apa karena kami bukan pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap persoalan ini,” katanya.

Kendati demikian, Wirabumi menjanjikan, akan membantu ahli waris dengan cara melakukan pendekatan ke PLN pusat. Hanya saja, ia menyatakan tak bisa memastikan kapan klarifikasi pembayaran ganti rugi itu dilakukan.

Rupanya, janji yang disampaikan Wirabumi itu hanya sekadar janji manis belaka. Karena, seperti yang disampaikan Manajer Senior Komunikasi Korporat PLN Bambang Dwiyanto, PLN sudah membuat surat perlawanan atas surat aanmaning atau surat teguran eksekusi yang dilayangkan oleh Pengadilan Negeri Menado ke PLN. "Isi surat anmaning itu isinya berupa penjelasan yang seharusnya membayar ganti rugi lahan itu adalah negara, bukan PT PLN," ujar Bambang kepada SINDO Weekly. Soal putusan PK di MA yang sudah inckracht, Bambang tidak mau mengomentarinya.

Senada dengan Bambang, Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan, izin penyitaan dan eksekusi ganti rugi kekayaan negara berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, harus melalui izin Menteri Keuangan serta disetujui DPR RI. "Karena itu, PLN tidak merasa berhak untuk membayarnya," katanya.

Konsekuensi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, menurut Pengamat Hukum Perdata dari Universitas Padjadjaran Isis Ikhwansyah, PLN wajib melaksanakan isi putusan PN Menado itu. Ia menilai, PLN tidak bisa main lempar tanggung jawab pembayaran ke pelaksana negara. Alasannya, PLN sudah lama diprivatisasi dan sudah diubah bentuk badan hukumnya menjadi perseroan terbatas. "Jadi, segala kebijakan PLN diatur oleh perseroan, bukan lagi pemerintah. Jangan untung diambil, rugi dikasih negara," katanya.
0
938
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan