rajawatchesAvatar border
TS
rajawatches
Mengelola Utang Rumah Tangga Ketika Tidak Punya Pilihan


Memang terdengar mengerikan kalimat “hidup terus menerus dibelit utang”. Namun benarkah gambarannya sekelabu itu? Hal ini terjadi dalam kehidupan kami. Dengan berbagai pasang surut dalam belasan tahun pernikahan kami, periode “dibelit utang” ini memiliki beberapa jenis. Ada jenis “terbelit sampai tak berdaya”, “terbelit tapi bisa terkendali”, dan yang terakhir adalah “sengaja berutang untuk kesehatan usaha”. Kalau diistilahkan, yang pertama adalah fase “desperate to survive”, kedua adalah fase “manageable and improving”, dan yang ketiga fase “investasi”.

Pada dasarnya, saya dan suami memiliki prinsip dan filosofi keuangan yang sangat berbeda. Hal tersebut tentu saja sempat mengganggu di tahun-tahun awal pernikahan kami, namun anehnya lama-lama menjadi saling mendukung. Saya sangat konservatif. Prinsip saya adalah tidak boleh lebih besar pasak daripada tiang, bahkan neraca harus positif, alias harus punya tabungan supaya hidup ada pengaman. Suami adalah sebaliknya. Baginya, uang itu harus diputar dan tidak boleh mengendap, supaya dirasakan manfaatnya untuk banyak orang. Lalu hidup kita tidak boleh semata-mata didikte dengan apa yang dimiliki. Baginya, setiap manusia berhak untuk meraih hal-hal yang diinginkan, dan apabila hal tersebut menyebabkan besar pasak dari tiang, maka tiangnyalah yang harus diperbesar, bukan pasaknya diperkecil.

Ketika mengalami masa keterpurukan dan reaksi menyelamatkan diri didominasi oleh keputusan-keputusan saya, tindakan yang dilakukan adalah mengurangi tekanan yang ada. Kami memutuskan mengontrakkan rumah dan menjual mobil, serta kembali tinggal bersama orang tua. Dana yang ada digunakan untuk menutup semua kartu kredit dan menghindari “terror” para penagih utang yang dikirim bank-bank penerbit, serta menutup sebagian besar utang suami kepada mitra-mitranya. Sisanya digunakan untuk memodali kembali bisnis inti suami yang sebetulnya cukup lumayan menghasilkan. Intinya, kami memperkecil pengeluaran dan menurunkan kualitas hidup.

Ketika anak kami lahir, keuangan keluarga kami sudah betul-betul independen dari orang tua, bahkan sudah mulai saatnya membiayai kehidupan mereka. Kesemuanya ini tentu saja membengkakkan pengeluaran dalam skala yang besar. Sementara itu, rumah tangga kami diwarnai pola keuangan kombinasi. Saya mendapat penghasilan rutin bulanan namun jumlahnya pas-pasan, sementara suami bisa menyumbangkan pemasukan yang jumlahnya sangat signifikan namun hanya dalam interval setahun atau bahkan dua tahun sekali. Pola seperti itu kemudian mendorong kami untuk sepakat memilih pola hidup “terbelit utang namun terkendali”.

Setelah kalkulasi dilakukan, disadari bahwa pembiayaan rutin bulanan bergantung sepenuhnya pada pendapatan saya sebagai seorang pegawai negeri sipil. Jumlahnya sangat pas, bahkan seringkali kurang. Jumlah kekurangan itu kami tutupi dari utang bulanan lewat kartu kredit, yang setelah dikalkulasikan akumulasi tahunannya harus ditutupi dari kontribusi suami setiap akhir tahun. Saya cukup bersyukur bahwa suami bisa menjalankan kewajibannya membiayai kedua orang tuanya, dan relatif mampu menyuplai pendanaan untuk utang tahunan kami. Pada waktu-waktu tertentu, pemasukan dari suami bahkan bisa menutupi seluruh akumulasi kebutuhan tambahan kami (diluar pengeluaran rutin yang sudah saya tutup) sampai rentang waktu lebih dari setahun. Namun demikian, kami sadar betul bahwa kondisi seperti ini sangat rentan. Sedikit saja terjadi perubahan, sistem keuangan kami akan goncang.

Kami kemudian membuat keputusan baru : memperbesar utang bulanan dalam rangka membuat tabungan. Aneh sekali memang, karena pada dasarnya kami menabung dengan utang. Apa yang kami lakukan pada dasarnya adalah memotong sebagian gaji yang saya terima untuk langsung ditanamkan dalam bentuk : asuransi kesehatan seluruh anggota keluarga, tabungan pendidikan anak-anak, dan investasi saham untuk tabungan pensiun. Setelah dijumlah, pendapatan rutin saya yang bisa digunakan langsung menjadi berkurang sampai separuhnya.

Mengapa keputusan ini diambil? Pertama, karena tabungan yang dibangun incremental harus berasal dari pendapatan yang sifatnya tetap, yaitu berasal dari gaji dan tunjangan kerja saya. Kami tidak pernah bisa menyisihkan pemasukan suami yang sifatnya sporadis dan tidak beraturan ke dalam tabungan, karena sifat penggunaannya adalah “sapu bersih” alias menutupi semua pengeluaran yang tidak bisa ditutupi dari pendapatan tetap. Lalu, sisa pendapatan saya ternyata cukup untuk menutupi pengeluaran yang benar-benar rutin. Betul-betul pas selama kita bisa menahan diri untuk tidak berlebihan.

Apa solusi kami saat itu? Kartu kredit. Apabila perencana keuangan konservatif sangat tidak menyarankan hidup rutin dari kartu kredit, kami justru menganggap keberadaannya cukup berguna selama bisa dimanage dengan baik. Prinsip dasar dari memiliki kartu kredit adalah kedisiplinan mencicil pembayaran bulanan dan tidak berbelanja melebihi batas. Saya membatasi jumlah kartu yang dimiliki agar tidak kelabakan mencicilnya, lalu memodifikasi pembayaran dari jumlah minimum yang disetor per bulan dengan pembayaran impas tahunan. Pendeknya, walau bulanannya saya hanya membayar maksimal 20% dari utang yang harus saya bayar, setiap akhir tahun saya hampir selalu bisa mengembalikan posisi kredit saya ke angka nol. Saya tidak pernah mengemplang, tidak pernah dikejar debt collector, secara berkala limit saya naik, dan berkali-kali dibebaskan dari iuran tahunan karena sudah menjadi “valuable customer”. Intinya, kami kini mengelola utang dalam rangka menumpuk tabungan.

Apakah semua berjalan mulus? Tentu saja tidak. Seperti yang sudah disebutkan diatas, kondisi seperti ini sangat rentan. Bayangkan kemudian ketika terjadi musibah yang menyebabkan pendapatan menjadi sangat berkurang.

Disaat seperti inilah keberanian mengambil resiko dan kemampuan memilih keputusan yang rasional sangat diuji. Ketika tidak ada lagi pilihan selain menggadaikan rumah dan kendaraan, kami disadarkan bahwa reputasi kredit kami ternyata baik : punya tabungan di bank, dan cicilan utang tidak pernah ngemplang dan terlambat, hikmah hidup dengan “debt management” itu tadi. Akibatnya, jumlah kredit yang diambil bisa digunakan untuk menutup seluruh sisa utang yang ada, membayar cicilan agunan kredit itu sendiri selama satu tahun, dan membiayai hidup beberapa bulan ke depan tanpa harus membuat utang baru lewat kartu kredit. Hal ini amat memberikan ketenangan, sehingga kondisi psikologis kami sangat baik untuk memulai usaha baru secara kompak dan tidak diwarnai drama rumah tangga yang tidak perlu.

Terlepas dari hal itu semua, komitmen menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung rutin tidak pernah dihentikan, dan hal itu terbukti sangat menolong ketika anak-anak masuk sekolah, dimana dana yang sudah terkumpul ternyata cukup untuk membiayai mereka sekolah sampai lebih dari satu tahun. Prinsip saya dan suami memang sama, tabungan pendidikan ya untuk pendidikan, bukan untuk urusan lain.

Cicilan-cicilan dan kewajiban-kewajiban yang ada membuat kami kreatif dalam menghemat sekaligus mencari penghasilan tambahan. Karena merasa hidup kami “manageable” walau serba sulit, kami tidak mengalami banyak beban psikologis . Saya masih mampu berkonsentrasi dan menunjukkan prestasi memadai di kantor, sehingga tidak mengalami persoalan untuk memperoleh promosi. Hal ini juga dialami suami, dimana “rezeki di tangan Tuhan” terbukti benar. Selama kita tidak ngoyo dan hanya mengejar uang, pikiran kita akan jernih sehingga jalur rezeki yang ditunjukkan Allah lebih jelas terlihat.

Pada akhirnya, tidak ada kehidupan yang berhenti di satu titik. Kondisi keuangan membaik akan datang bila sudah saatnya, dan pada saat itulah kita kembali harus memutuskan apa yang terbaik. Ketika kami berhasil mengumpulkan cukup rezeki, maka rumah yang digadaikan langsung ditebus, sesuatu yang kami pilih menjadi prioritas ketika ada ajakan untuk melaksanakan umroh bersama-sama.

Kini, babak baru hidup kami sudah dimulai.

Suami saya yang dikaruniai jiwa optimis memiliki banyak cita-cita besar dan kegigihannya menghantarkannya pada kesempatan mewujudkan cita-citanya tersebut. Memang masa memetik panen masihlah jauh, tetapi tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihatnya berupaya dengan penuh semangat dan puas secara batin. Walau sedikit demi sedikit, penghasilannya terus meningkat. Darinya, kami sudah berhasil memperpanjang security blanket kami, yaitu telah “lunasnya” biaya pendidikan anak kami (formal maupun non formal) sampai lima tahun ke depan (sistem kami adalah mengunci sejumlah dana di bank dan membuat perjanjian autodebet rutin dari sekolah dan tempat kursus ke rekening kami selama kurun waktu yang ditetapkan). Kami juga sudah punya tabungan tersendiri untuk mereka nanti melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, dan kebutuhan dasarnya terpenuhi tanpa berlebihan. Asuransi kesehatan, kecelakaan, dan investasi pensiun masih berlaku dan terus bertambah nilai manfaatnya, karena perkembangan karir saya juga diikuti berbagai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan gaji pegawai negerinya sehingga semua premi tetap terbayarkan hingga saat ini.

Kini semua pendapatan ekstra bisa kami manfaatkan untuk memperpanjang horizon kami. Naik haji sudah bisa direncanakan, dan investasi keluarga dalam bentuk asset seperti tanah atau kendaraan kedua sudah serius kami pertimbangkan. Namun pelajaran hidup terpenting bagi kami adalah mengelola keuangan keluarga dengan segala caranya adalah bukan tujuan. Hidup tenang bersama keluargalah tujuannya, sehingga dengan makin terkelola dan meningkatnya pendapatan kami, makin besar kesempatan kami untuk melewatkan waktu bersama-sama keluarga, makin sosialnya kehidupan kami, dan makin rileksnya ritme kami. Bukan sebaliknya.

Sumber :kompasiana
0
1.4K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan