- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Ammar Bugis, “Bukan Berkebutuhan Khusus” Melainkan “Berkemampuan Khusus”


TS
abiihersha
Ammar Bugis, “Bukan Berkebutuhan Khusus” Melainkan “Berkemampuan Khusus”

Quote:
Ammar terlahir di sebuah kota kecil bernama Madison, Wisconsin, Amerika Serikat pada tanggal 22 Oktober 1986. Di usia 13 tahun ia sudah mampu menghafal Al Qur’an 30 juzz. Namun demikian, sekolah sekolah umum di Arab Saudi umumnya menolaknya menjadi pelajar hanya karena ia cacat. Atas dorongan sang ayah yang pantang menyerah, ia memiliki tekad luar biasa untuk tidak takhluk dengan keadaan.
Ammar adalah seorang anak yang terlahir dengan penyakit “Werding Hoffmann”. Gejala penyakit ini berupa kelumpuhan total seluruh syaraf yang menyebabkan hilangnya kemampuan bergerak seluruh tubuh kecuali mata dan lidah. Dokter memfonis bahwa Amman tidak akan mampu bertahan hidup lebih dari dua tahun.
Ammar adalah seorang anak yang terlahir dengan penyakit “Werding Hoffmann”. Gejala penyakit ini berupa kelumpuhan total seluruh syaraf yang menyebabkan hilangnya kemampuan bergerak seluruh tubuh kecuali mata dan lidah. Dokter memfonis bahwa Amman tidak akan mampu bertahan hidup lebih dari dua tahun.
Spoiler for PENAKLUK KEMUSTAHILAN:

Quote:
Dalam buku PENAKLUK KEMUSTAHILANdiceritakan dengan apik bagaimana perjuangannya untuk meruntuhkan stigma negatif terhadap orang orang cacat. Melawan stigma bodoh terhadap orang berkebutuhan khusus. Dan perjuangannya menembus bangku sekolah dari SMA hingga universitas.
Ammar dengan lantang berani mengatakan bahwa kata kata “berkebutuhan khusus” harus diubah menjadi “berkemampuan khusus”. Karena ia berpendapat bahwa mayoritas orang orang berkebutuhan khusus memiliki kemampuan khusus yang luar biasa.
Studi S1 nya di Universitas King Abdul Azziz – Jeddah jurusan Jurnalistik diselesaikan dengan predikat cumlaude. Nilai rata rata fantastis yang dibuatnya adalah 4,84 dari nilai 5,00 sebagai nilai sempurna.
Ammar juga menjadi dosen di Universitas Dubai sambil meneruskan pendidikan S-2 di sana atas beasiswa Pangeran Uni Emirat Arab, Hamdan bin Muhammad bin Rasyid Al Maktum Al Fazza.
Sebuah keanehan lain yang mungkin tidak masuk di akal. Dengan kelemahannya itu, ia mampu bekerja bagus di sebuah media massa Harian Al-Madina. Penyandang cacat semenjak lahir itu menjadi penulis tetap rubrik olah raga khususnya sepak bola. Tulisan orang yang belum pernah sekalipun dalam hidupnya bermain sepak bola ini ternyata menjadi wartawan sepak bola yang sukses. Karyanya menjadi rujukan media lokal lain dan menjadi bacaan wajib pengamat sepak bola disana.
Satu lagi hal yang luar biasa adalah, selama menjadi wartawan ia belum pernah sekalipun menggunakan catatan atau alat perekam dalam sebuah wawancara. Tugas jurnalistiknya seluruhnya mengandalkan daya ingat.
Kata katanya yang sangat inspiratif dan monumental adalah, “saya seorang muslim, saya seorang Saudi. Jadi saya bukan orang cacat”. Kata heroik ini disampaikannya pada Konferensi Internasional ke III bagi kalangan berkebutuhan khusus, di Riyadh pada tahun 2006.
Simaklah kata katanya :
Saya selalu mendayagunakan pengalaman kesuksesan untuk menyelesaikan misi yang saya pikul dipundak saya, yaitu berupa cacat fisik. Yang sama sekali tidak pernah menjadi cacat tekad atau cacat inovasi. Karena cacat sesungguhnya adalah cacat tekad, cacat cita cita, dan sikap menyerah pada keadaan, tanpa pernah melawan dan membiarkan diri hidup dalam penderitaan.
“Dan saya sudah menyelesaikan hafalan al-Qur'an saya ketika berumur 13 tahun. Ini membuktikan bahwa cacat yang sesungguhnya bukan cacat secara fisik. Bukan cacat secara jasad,” tegasnya.
Dari atas kereta dorong, Ammar pun mengajak para hadirin untuk menghafal al-Qur’an. Dia meyakini bahwa siapa saja bisa melakukan itu.
“Orang yang cacat saja bisa untuk berbuat, bisa untuk menghafal al-Qur’an. Sedangkan kalian diberikan nikmat banyak oleh Allah,” ujarnya lagi".
Dari atas kereta dorong, Ammar pun mengajak para hadirin untuk menghafal al-Qur’an. Dia meyakini bahwa siapa saja bisa melakukan itu.
“Orang yang cacat saja bisa untuk berbuat, bisa untuk menghafal al-Qur’an. Sedangkan kalian diberikan nikmat banyak oleh Allah,” ujarnya lagi".
Quote:
Ammar Bugis Menikah
Mungkinkah seorang Ammar Bugis menikah dan memiliki keluarga yang saling menyayangi ? Bagaimana mungkin seorang penderita penyakit “Werding Hoffmann” yang seluruh tubuhnya lumpuh itu menikah ?
Bagaimana ia akan menafkahi keluarganya ? bagaimana ia mendidik anak ? bagaimana menjaga keharmonisan hubungan suami istri ? Bla…. bla…. bla…… dengan ratusan pertanyaan yang teramat sulit untuk dijawab.
Bahkan sebelum pertanyaan pertanyaan diatas terlontar dari orang lain, Ammar pun sudah memikirkan hal itu jauh hari. Dalam bukunya yang berjudul “Penakluk Kemustahilam” ia menuliskan beberapa buah pertanyaan.
bagaimana saya mengungkapkan keinginan (menikah) ini ?
Kira kira seperti apakah reaksi mereka ?
Bagaimana saya akan menjalani kehidupan rumah tangga ? Apakah saya layak menikah ?
Apakah ada perempuan yang bersedia menjadikan saya sebagai suami ?
Ketika pertanyaan pertanyaan itu diungkapkan kepada sudara dan kerabatnya, sebagian besar dari mereka menganjurkan agar Ammar berhenti bermimpi tentang pernikahan. Mereka menganggap bahwa Ammar hidup dalam angan angan yang tidak akan pernah terwujud.
Bahkan ketika keinginan menikah itu menggelora, sering ia berfikir, “apakah saya dapat menemukan perempuan yang dapat mengerti keadaan saya dan telah siap sepenuh hati menjalani hidup bersama seonggok jasad kaku yang tidak dapat bergerak?”.
Suatu ketika pernah ia berkawan baik dengan seseorang perempuan yang masih kerabat. Perempuan itu sangat berempati dan sopan kepada Ammar. Mereka akrab dan saling menghargai satu sama lain. Sepertinya mereka saling mengagumi dan mencintai.
Ketika hal ini diutarakan pada ibu dan saudara saudaranya, tampaknya mereka tidak menyetujui. Mungkin karena ketidaksetujuan keluarga besar itulah kisah cinta mereka kandas.
Pernah pula suatu kali ia mendapat sebuah email yang dikirim oleh seorang perempuan. Ia menyatakan kekaguman dan empati yang mendalam terhadap perjalanan hidup Ammar. Email pun berbalas bak bertukar pantun, bahkan perempuan tersebut dengan tegas menyatakan siap untuk menikah. Bagaimanapun keadaan Ammar, ia siap menerimanya.
Sebenarnya Ammar tidak ragu dan sudah memutuskan untuk menikahi gadis itu. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Atas izin Tuhan, suatu saat Ammar mengetahui bahwa wanita tersebut mau menikah dengannya semata mata karena mengharap harta.
Untuk kedua kalinya hati Ammar terluka oleh cinta.
Dua kejadian itu membuat cibiran orang semakin menjadi. Mereka umumnya mengolok olok dan merendahkan seraya berkata, “siapakah gerangan gadis yang rela menerima potongan tulang seperti dirimu ?” Ada pula yang menghina dengan berkata, “siapakah gadis yang mau menghabiskan hidupnya bersama mayat hidup seperti dirimu ?”
Ia tetap tegar dengan pendirian, harapan dan asa. Hingga suatu hari ia menemukan seorang perempuan yang benar benar menerima ia apa adanya. Ummu Yusuf adalah pelabuhan cintanya, mereka pun menikah di Cairo – Mesir.
Didalam bukunya, ia menuliskan tentang sang istri pada bab My Lovely Ummu Yusuf
Inilah gadis yang menerima saya sebagai suami dengan penuh kerelaaan dan ketenangan jiwa
Inilah gadis yang mau menerima saya sebagai suami untuk menunaikan misi yang telah dimulai oleh kedua orang tua saya
Inilah gadis yang telah menerima saya sebagai suami meski mahar yang saya berikan hanya 7000 Reyal
Inilah gadis yang menerima saya sebagai suami meski begitu banyak orang yang menentangnya
Mungkinkah seorang Ammar Bugis menikah dan memiliki keluarga yang saling menyayangi ? Bagaimana mungkin seorang penderita penyakit “Werding Hoffmann” yang seluruh tubuhnya lumpuh itu menikah ?
Bagaimana ia akan menafkahi keluarganya ? bagaimana ia mendidik anak ? bagaimana menjaga keharmonisan hubungan suami istri ? Bla…. bla…. bla…… dengan ratusan pertanyaan yang teramat sulit untuk dijawab.
Bahkan sebelum pertanyaan pertanyaan diatas terlontar dari orang lain, Ammar pun sudah memikirkan hal itu jauh hari. Dalam bukunya yang berjudul “Penakluk Kemustahilam” ia menuliskan beberapa buah pertanyaan.
bagaimana saya mengungkapkan keinginan (menikah) ini ?
Kira kira seperti apakah reaksi mereka ?
Bagaimana saya akan menjalani kehidupan rumah tangga ? Apakah saya layak menikah ?
Apakah ada perempuan yang bersedia menjadikan saya sebagai suami ?
Ketika pertanyaan pertanyaan itu diungkapkan kepada sudara dan kerabatnya, sebagian besar dari mereka menganjurkan agar Ammar berhenti bermimpi tentang pernikahan. Mereka menganggap bahwa Ammar hidup dalam angan angan yang tidak akan pernah terwujud.
Bahkan ketika keinginan menikah itu menggelora, sering ia berfikir, “apakah saya dapat menemukan perempuan yang dapat mengerti keadaan saya dan telah siap sepenuh hati menjalani hidup bersama seonggok jasad kaku yang tidak dapat bergerak?”.
Suatu ketika pernah ia berkawan baik dengan seseorang perempuan yang masih kerabat. Perempuan itu sangat berempati dan sopan kepada Ammar. Mereka akrab dan saling menghargai satu sama lain. Sepertinya mereka saling mengagumi dan mencintai.
Ketika hal ini diutarakan pada ibu dan saudara saudaranya, tampaknya mereka tidak menyetujui. Mungkin karena ketidaksetujuan keluarga besar itulah kisah cinta mereka kandas.
Pernah pula suatu kali ia mendapat sebuah email yang dikirim oleh seorang perempuan. Ia menyatakan kekaguman dan empati yang mendalam terhadap perjalanan hidup Ammar. Email pun berbalas bak bertukar pantun, bahkan perempuan tersebut dengan tegas menyatakan siap untuk menikah. Bagaimanapun keadaan Ammar, ia siap menerimanya.
Sebenarnya Ammar tidak ragu dan sudah memutuskan untuk menikahi gadis itu. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Atas izin Tuhan, suatu saat Ammar mengetahui bahwa wanita tersebut mau menikah dengannya semata mata karena mengharap harta.
Untuk kedua kalinya hati Ammar terluka oleh cinta.
Dua kejadian itu membuat cibiran orang semakin menjadi. Mereka umumnya mengolok olok dan merendahkan seraya berkata, “siapakah gerangan gadis yang rela menerima potongan tulang seperti dirimu ?” Ada pula yang menghina dengan berkata, “siapakah gadis yang mau menghabiskan hidupnya bersama mayat hidup seperti dirimu ?”
Ia tetap tegar dengan pendirian, harapan dan asa. Hingga suatu hari ia menemukan seorang perempuan yang benar benar menerima ia apa adanya. Ummu Yusuf adalah pelabuhan cintanya, mereka pun menikah di Cairo – Mesir.
Didalam bukunya, ia menuliskan tentang sang istri pada bab My Lovely Ummu Yusuf
Inilah gadis yang menerima saya sebagai suami dengan penuh kerelaaan dan ketenangan jiwa
Inilah gadis yang mau menerima saya sebagai suami untuk menunaikan misi yang telah dimulai oleh kedua orang tua saya
Inilah gadis yang telah menerima saya sebagai suami meski mahar yang saya berikan hanya 7000 Reyal
Inilah gadis yang menerima saya sebagai suami meski begitu banyak orang yang menentangnya
Spoiler for PESAN TS:
Semoga kisah di atas bisa menjadi inspirasi dan semangat baru dalam tahun yang baru
Diubah oleh abiihersha 06-01-2013 12:50
0
3.4K
Kutip
33
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan