- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Bahaya!!! Jangan Bercita-cita! [Hasil Survei]


TS
amexrijal
Bahaya!!! Jangan Bercita-cita! [Hasil Survei]
Pagi, gan! 
Seperti yang lalu, minggu pagi ane mau ngajak agan2 diskusi nih..
Mumpung masih seger otaknya, biar bisa
Oke, langsung aja, gan! Ane sekarang mau ngebahas tentang penting nggak sih punya cita-cita tuh?
Atau jangan-jangan malah "menyesatkan"??
ini argumen ane (disertai hasil survei iseng2-an):
Sip! sekian dulu dari ane.. semoga manfaat
Barangkali ada yang nggak setuju, silakan berargumen secara kerren

Seperti yang lalu, minggu pagi ane mau ngajak agan2 diskusi nih..

Mumpung masih seger otaknya, biar bisa

Oke, langsung aja, gan! Ane sekarang mau ngebahas tentang penting nggak sih punya cita-cita tuh?
Atau jangan-jangan malah "menyesatkan"??

ini argumen ane (disertai hasil survei iseng2-an):
Quote:
Senang sekali menerima respon teman-teman saat melalui layanan pesan pendek kutanyai tentang cita-cita mereka sewaktu kecil dulu. Sekiranya itu akan membuat kenangan mereka kembali pada usia pra-sekolah, TK, sampai SD yang memang sedang sering-seringnya menerima pertanyaan macam itu. Orang tua, sanak-saudara, tetangga, guru, semua menanyakan apa cita-cita kita. Lingkungan menanamkan pada diri kita untuk harus, mesti, wajib memiliki cita-cita. Kita yang kesulitan menjawab pertanyaan ini langsung dianggap tidak akan menemukan masa depan yang cerah.
Padahal, setelah kupikir-pikir ternyata cita-cita itu tidak begitu penting. Seorang anak tidak harus memiliki cita-cita. Tidak perlu guru atau orang tua mewajibkan, atau bahkan sampai memaksa, anaknya punya cita-cita tinggi. Lah, Tuhan saja tidak mewajibkan kok! Misalnya saja dari dasar agama yang kuanut, Islam, tidak ada suruhan bercita-cita di sana. Yang ada itu tholabul ‘ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin walmuslimat, muslim cowok dan muslim cewek berkewajiban menuntut ilmu. Yang pertama dan utama tentu ilmu yang sifatnya wajib kita punyai, kemudian ilmu yang ingin kita ketahui, atau ilmu yang kita sukai, ilmu apa saja. Dari situ kita belajar, menemukan berbagai pengalaman.
Disertai kondisi-kondisi tertentu dan berbagai pengalaman inilah yang sebenarnya kemudian menciptakan cita-cita dengan sendirinya, tidak ada paksaan. Terbukti dari survei yang iseng-iseng aku adakan terhadap teman-teman. Mayoritas cita-cita mereka berubah di setiap jenjang sekolah, berubah setelah menerima berbagai informasi dan pengalaman. Ada yang bercita-cita menjadi pilot, tapi karena melihat sering terjadinya kecelakaan pesawat cita-citanya ganti. Ada yang bercita-cita menjadi dokter anak, tapi karena ketemu fisika di SMP tidak sukalah ia pada IPA dan berubah cita-citanya. Ada yang ingin jadi pramugari, tapi karena mata minus gugurlah cita-citanya. Rupa-rupa. Artinya, cita-cita muncul setelah adanya proses menuntut ilmu, belajar, menerima berbagai informasi dan macam-macam pengalaman, serta dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tertentu yang berada di luar kendali kita.
Sampai di sinipun cita-cita masih kuanggap tidak begitu penting. Karena ujungnya menjadi apa kita kelak adalah ‘sekedar’ konsekuensi dari proses belajar kita. Lah, bukannya cita-cita itu tujuan ya? Bagaimana proses bisa berlangsung tanpa adanya tujuan?
Betul! Proses gak akan berlangsung sebelum dilengkapi dengan adanya tujuan. Tapi kurang tepat kalau dikatakan bahwa cita-cita adalah tujuan, sebab ini akan berbahaya. Tujuan kita berpacu dalam proses itu, menurutku, mestinya adalah sesuatu yang kita cintai. Terserah apa yang mau dicintai, pengalaman belajar akan menuntun kita untuk menemukan sesuatu yang benar untuk kita cintai, tidak akan menuju pada sesuatu yang buruk. Yang terpenting jangan berhenti belajar, tidak punya cita-cita bukan masalah.
Kalau kita menjadikan cita-cita sebagai tujuan belajar, tujuan aktivitas menuntut ilmu, tujuan sekolah kita, tujuan kita bekerja, maka inilah yang kucurigai sebagai pemicu banyaknya perilaku korup di negeri ini.
Setidaknya kita akan memiliki potensi bertindak korup terhadap diri kita sendiri, jika menjadikan cita-cita sebagai tujuan. Ini juga yang kudapat dari survei iseng-isengan itu. Banyak teman yang sekarang menempuh pendidikan di bidang yang ia tidak menemukan passion di dalamnya. Rela membunuh kesenangannya pada suatu bidang tertentu demi menjalani bidang lain yang dianggap bisa mengarahkannya pada cita-cita. Mereka mengeluh “salah kamar” setelah menjalani perkuliahan dua-tiga semester. Di SMA dulu, sama, keluhan “salah kamar” juga sering terdengar. Itu semua demi mengejar cita-cita yang sebenarnya tidak wajib dimiliki.
Kemudian yang lebih buruk, hari ini banyak diantara kita yang ngotot, mati-matian, peras keringat-banting tulang hingga menghalalkan segala cara untuk mewujudkan cita-citanya. Karena bukan didasari cinta, pelajar malas belajar. Sudah malas belajar, maka tak mampu mengikuti pembelajaran, nyontek lah saat ujian ataupun saat mengerjakan tugas. Karena ingin cepat mencapai yang dicita-citakan, perilaku koruplah yang diperagakan oleh calon pegawai itu. Karena bercita-cita cepat sukses, perilaku koruplah yang diperankan oleh para profesional itu. Karena bercita-cita cepat kaya, perilaku koruplah yang dimainkan oleh pebisnis itu.
Pendidikan dan lingkungan yang mementingkan “cita-cita” daripada “proses (belajar)” membuat anak-anak tumbuh menjadi seperti itu saat dewasa. Maka kelak lebih baik anak-anakku jangan bercita-cita! Bercinta-cinta saja...
© WaaLlahu’alam bishshawab
Oleh: Amex Rijal, Bandung 01 Januari 2012
Padahal, setelah kupikir-pikir ternyata cita-cita itu tidak begitu penting. Seorang anak tidak harus memiliki cita-cita. Tidak perlu guru atau orang tua mewajibkan, atau bahkan sampai memaksa, anaknya punya cita-cita tinggi. Lah, Tuhan saja tidak mewajibkan kok! Misalnya saja dari dasar agama yang kuanut, Islam, tidak ada suruhan bercita-cita di sana. Yang ada itu tholabul ‘ilmi faridlotun ‘ala kulli muslimin walmuslimat, muslim cowok dan muslim cewek berkewajiban menuntut ilmu. Yang pertama dan utama tentu ilmu yang sifatnya wajib kita punyai, kemudian ilmu yang ingin kita ketahui, atau ilmu yang kita sukai, ilmu apa saja. Dari situ kita belajar, menemukan berbagai pengalaman.
Disertai kondisi-kondisi tertentu dan berbagai pengalaman inilah yang sebenarnya kemudian menciptakan cita-cita dengan sendirinya, tidak ada paksaan. Terbukti dari survei yang iseng-iseng aku adakan terhadap teman-teman. Mayoritas cita-cita mereka berubah di setiap jenjang sekolah, berubah setelah menerima berbagai informasi dan pengalaman. Ada yang bercita-cita menjadi pilot, tapi karena melihat sering terjadinya kecelakaan pesawat cita-citanya ganti. Ada yang bercita-cita menjadi dokter anak, tapi karena ketemu fisika di SMP tidak sukalah ia pada IPA dan berubah cita-citanya. Ada yang ingin jadi pramugari, tapi karena mata minus gugurlah cita-citanya. Rupa-rupa. Artinya, cita-cita muncul setelah adanya proses menuntut ilmu, belajar, menerima berbagai informasi dan macam-macam pengalaman, serta dipengaruhi oleh kondisi-kondisi tertentu yang berada di luar kendali kita.
Sampai di sinipun cita-cita masih kuanggap tidak begitu penting. Karena ujungnya menjadi apa kita kelak adalah ‘sekedar’ konsekuensi dari proses belajar kita. Lah, bukannya cita-cita itu tujuan ya? Bagaimana proses bisa berlangsung tanpa adanya tujuan?
Betul! Proses gak akan berlangsung sebelum dilengkapi dengan adanya tujuan. Tapi kurang tepat kalau dikatakan bahwa cita-cita adalah tujuan, sebab ini akan berbahaya. Tujuan kita berpacu dalam proses itu, menurutku, mestinya adalah sesuatu yang kita cintai. Terserah apa yang mau dicintai, pengalaman belajar akan menuntun kita untuk menemukan sesuatu yang benar untuk kita cintai, tidak akan menuju pada sesuatu yang buruk. Yang terpenting jangan berhenti belajar, tidak punya cita-cita bukan masalah.
Kalau kita menjadikan cita-cita sebagai tujuan belajar, tujuan aktivitas menuntut ilmu, tujuan sekolah kita, tujuan kita bekerja, maka inilah yang kucurigai sebagai pemicu banyaknya perilaku korup di negeri ini.
Setidaknya kita akan memiliki potensi bertindak korup terhadap diri kita sendiri, jika menjadikan cita-cita sebagai tujuan. Ini juga yang kudapat dari survei iseng-isengan itu. Banyak teman yang sekarang menempuh pendidikan di bidang yang ia tidak menemukan passion di dalamnya. Rela membunuh kesenangannya pada suatu bidang tertentu demi menjalani bidang lain yang dianggap bisa mengarahkannya pada cita-cita. Mereka mengeluh “salah kamar” setelah menjalani perkuliahan dua-tiga semester. Di SMA dulu, sama, keluhan “salah kamar” juga sering terdengar. Itu semua demi mengejar cita-cita yang sebenarnya tidak wajib dimiliki.
Kemudian yang lebih buruk, hari ini banyak diantara kita yang ngotot, mati-matian, peras keringat-banting tulang hingga menghalalkan segala cara untuk mewujudkan cita-citanya. Karena bukan didasari cinta, pelajar malas belajar. Sudah malas belajar, maka tak mampu mengikuti pembelajaran, nyontek lah saat ujian ataupun saat mengerjakan tugas. Karena ingin cepat mencapai yang dicita-citakan, perilaku koruplah yang diperagakan oleh calon pegawai itu. Karena bercita-cita cepat sukses, perilaku koruplah yang diperankan oleh para profesional itu. Karena bercita-cita cepat kaya, perilaku koruplah yang dimainkan oleh pebisnis itu.
Pendidikan dan lingkungan yang mementingkan “cita-cita” daripada “proses (belajar)” membuat anak-anak tumbuh menjadi seperti itu saat dewasa. Maka kelak lebih baik anak-anakku jangan bercita-cita! Bercinta-cinta saja...

Oleh: Amex Rijal, Bandung 01 Januari 2012
Sip! sekian dulu dari ane.. semoga manfaat

Barangkali ada yang nggak setuju, silakan berargumen secara kerren

Diubah oleh amexrijal 06-01-2013 07:27
0
1.9K
Kutip
15
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan