rimbalawuAvatar border
TS
rimbalawu
Seni Malam Punyanya Kupu-Kupu Solo


ada yg benci dirinya // ada yg butuh dirinya // ada yg berlutut mencintanya // ada pula yg kejam menyiksa dirinya


ini hidup wanita si kupu-kupu malam // bekerja bertaruh seluruh jiwa raga // bibir senyum kata halus merayu memanja // kepada setiap mereka yg datang

dosakah yg dia kerjakan //sucikah mereka yg datang // kadang dia tersenyum dalam tangis // kadang dia menangis di dalam senyuman

Oh apa yg terjadi, terjadilah // yg dia tahu Tuhan penyayang umatnya // oh apa yg terjadi, terjadilah // yg dia tahu hanyalah menyambung nyawa

Dulu saya suka sekali mendendangkan lagu ini ketika saya membaca dongeng-dongeng berlakon senada dengan lagu itu dari berbagai media. Sekali dua kali saya juga mendengar cerita senada dari beberapa sahabat saya yang sekolah SMA nya di pusat kota, sedangkan saat itu sekolah saya hanya di sekolah terpencil di pelosok kaki gunung.

Lari sebentar dari lagu tersebut, saya punya cerita lanjutan dari cerita saya sebelumnya.

Malam 11 Juli lalu, saya dan ketiga teman saya sengaja menghabiskan malam di jalanan Solo, setelah sebelumnya saya tuliskan mengenai perjalanan saya malam itu di Saripetojo lihat:

http://sosbud.kompasiana.com/2011/07...oh-saripetojo/

Niatnya saya ingin melihat pertunjukan wayang orang di Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari, Solo sekalian ingin mengambil foto-foto dengan tema kebudayaan. Naas. Sial. Malam itu, saya sudah sampai di depan GWO, ketika menyaksikan GWO yang sepi, saya bertanya pada seorang bapak juru parkir. Ternyata memang GWO tidak ada pertunjukan ketika minggu dan senin malam. Ya sudah akhirnya, saya dan ketiga teman saya luntang-lantung tanpa tujuan malam itu. Celotehan seorang teman saya mengagetkan sekali, ketika ia mengajak melanjutkan perjalanan ke wilayah Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta, melihat-lihat, katanya ada seni di sana.

Jujur. Saya yang belum pernah tahu seperti apa RRI Solo yang katanya terkenal dengan lapak-lapak penjual daging mentah itu, penasaran juga dengan keadaan di sana. Lebih jujur lagi, saya belum pernah sekalipun menyaksikan penjual-penjula daging mentah itu sekalipun dan dimanapun. Tentu saja, saya tak punya bayangan apapun tentang keadaan yang ada di kompleks RRI malam itu.

Bertolak dari Taman Sriwedari, Berkendara dari memotong jalan Slamet Riyadi, menuju Daerah Banjar sari, Kompleks RRI. Dekat stasiun balapan, ada sebuah gang (saya lupa, gang yang mana tepatnya) dari sanalah salah satu teman saya mengajak kami memulai melihat pertunjukan di kompleks RRI.

Masuk. Speedometer motor dengan kecepatan kurang lebih 30km/jam, pelan sekali, bukan? Kaget bukan main saya, ketika baru saja berbelok saya sudah melihat sesosok gadis berpakaian serba minim dengan make up super tebal dengan posisi nangkring di atas motor. Jelas sekali. Jelas sekali bak penjual memamer lapaknya.

Beberapa puluh meter motor kami melaju. Sekarang tak Cuma satu mata saya bulat-bulat menyaksikan gadis-gadis berpakaian minim dengan riasan tebal, tidak Cuma di atas motor, pinggir jalanan. bahkan di depan rumah, bersender dekat pintu dengan pose erotisnya. Oh Tuhan, ini jelas sekali, orang bodoh juga tau, tempat apa ini.

Belum usai, motor kami terus melaju dan jelas pada setiap titik tempat mata telanjang ini menyaksikan kupu-kupu yang hinggap di tepian jalan. Saya seperti tidak percaya dengan apa yang mata saya saksikan. Sudah itu, sempat saya berhenti sejenak, sekitar 10 meter dari tempat seorang gadis berwajah cantik, rambut panjangnya terurai bebas, sebagian besar tubuhnya diterpa angin malam tanpa sekat benang-benang tenunan. Resah. Gadis cantik itu beberapa kali memainkan ponselnya yang saya lirik itu bukan ponsel murahan seperti punya saya. Cukup lama di sana, nampaknya mata bulat gadis itu melirik ke arah saya dengan tatapan sadis. Saya putuskan bergegas dari tempat itu. Masih berputar-putar dan menyaksikan fenomena yang hampir serupa.

Hampir setengah jam di kompleks RRI. Tak banyak yang saya lakukan selain mata-mata saya yang berkomunikasi dengan otak. Ketika hendak keluar dari kompleks, motor saya melaju pelan di antara kerumuman wanita-wanita yang saya tahu mereka bukan wanita muda. Saya sempat merekam pembicaraan mereka dalam otak saya.

“bla…bla…masuk SMP….bla…bla…. uang seragam…bla…bla…. uang gedung…. bla…bla… MAHAL”

Pembaca, menangkap sesuatu dari kutipan kata-kata yang saya tulis di atas, bukan?

RRI sejak dulu memang tenar dengan keberadaannya sebagai lahan prostitusi di Kota Solo. Umumnya di sana sebagian besar penjaja daging mentah mangkal di pinggir jalan secara bebas menanti ada pelanggan yang menawarnya. Bukan Penjaja yang elit, ibarat kata sebagian besar penjaja daging mentah di sana adalah golongan pedagang kaki lima. Sedang sebagian kecilnya, yang berada di tangan germo dikesankan lebih elit. Dari sumber yang saya dapatkan, perbedaan tarif antara penjaja yang mangkal di pinggir jalan dengan yang lewat germo adalah sekitar 3-5 kali lipat. Lebih mahal yang lewat germo. Di sini diistilahkan PSK yang lebih elit tentu harganya juga lebih mahal.

Pernah juga saya mendengar, dengan harga 15-20 ribu rupiah, seorang lelaki hidung belang dapat jajan daging mentah selama kurang lebih 2 jam. Mau dicicipi dimana daging yang ia beli tadi, terserah kepada pembeli.

Murah meriah? Begitukah yang kira-kira terbesit dalam otak banyak orang yang tahu akan hal itu. Namun barang 15-20 ribu juga nominal yang cukup besar dengan pekerjaan yang sama sekali tidak menguras keringat itu. Bandingkan dengan seorang kuli angkut (jika wanita) di pasar, rata-rata yang ia dapatkan hanya 5-10 ribu, belum lagi berapa gelas keringat yang ia peras setiap harinya.

Fenomena semacam ini, siapa yang mau disalahkan. Sepenuhnya salahkah wanita-wanita penjaja itu? Ketika pada dasarnya mereka butuh makan, butuh menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan mungkin membiayai sekolah atau kuliahnya sendiri. Dengan Uang!

Kerja yang menjanjikan jika tanpa skill itu tidak mudah, memang, makanya merekapun menginginkan anak-anaknya, atau bahkan dirinya bersekolah yang tinggi agar kelak ada pekerjaan layak yang penghasilannya menjanjikan. Namun untuk mencapai titik itu, dibutuhkan biaya. Biaya besar. Sedang yang mereka lakukan apa untuk memperoleh jawaban atas besarnya tuntutan biaya itu, selain menjajakan daging-daging mentah mereka. Dilematis.

Dari beberapa uraian di atas, terjawablah satu dari sekian banyak alasan atas perilaku maksiat yang dilakukan oleh kupu-kupu malam yang berkeliaran itu. Tuntutan ekonomi, begitulah istilah kerennya.

Selanjutnya, kalau kita mau membuka mata kita lebar-lebar. Menggunakan logika kita paling dasar. Ibaratkan mereka adalah penjual yang menawarkan, siapa targetnya? Pembeli, bukan? Toh penjual tidak akan menjadi penjual manakala tidak ada yang membeli. Kalau mereka menawarkan jasa-jasa mereka maka pembelinya adalah para lelaki hidung belang. Selama yang bernama lelaki hidung belang itu masih ada, mereka yang menjual jasa, ya tetap ada.

Sekarang coba kita kembalikan pada alasan awalnya, mereka, si kupu-kupu yang saya maksud, berbuat maksiat adalah demi memenuhi kebutuhan seperti makan dan biaya kehidupan lainnya, seperti petikan kata-kata yang saya dengar di kompleks RRI tadi dan saya tulis di atas (jarang dari mereka yang hanya karena mencari sesuatu bernama kepuasan alias satisfaction) . sedangkan para lelaki hidung belang itu, berbuat maksiat dengan yang jelas-jelas bukan istri-istrinya karena alasan apa? Tidak lebih dari satisfaction. Uang yang para lelaki tadi cari seharian dengan keringatnya, yang seharusnya masuk ke dapur istrinya, toh hanya digunakan untuk jajan kepuasan yang saya yakini siklus ini akan berulang ketika si hidung belang tadi terjangkit apa yang namanya “kecanduan jajan”.

Ini hanya tangkapan mata saya di sebuah titik yang mengandung fenomena umum yang banyak ada di seluruh penjuru negeri ini. Sementara di luar sana, betapa fenomena sejenis dan lebih besar skalanya tersisip dalam rumitnya kehidupan. Ini seni yang melagukan nada-nada sendu para gadis yang terhimpit kejamnya kehidupan, imbas dari ketidakadilan persebaran rupiah yang mengumpul di dompet pembesar-pembesar, juga karena materialisnya pendidikan, Buntunya hati nurani si kaya dan segudang alasan lainnya. Sedang tentang ini Betapa cacat hal ini di mata-mata orang-orang sok suci, yang menghina dinakan si kupu-kupu penyeni ini.

Ini masalah besar dari peradaban, butuh penyelesaian, tapi tidak mudah. Kepada siapa mau diserahkan? Yang jelas jangan hanya pada satu pihak. Sulit. Saya sudah kehabisan kata untuk sesumbar tak berarah macam di atas tadi. Ini kehidupan. Ada hitam, ada putih.
0
4.2K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan