- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Fatwa Tarjih Muhammadiyah Mengenai Hukum Nikah Sirri


TS
lephielephie
Fatwa Tarjih Muhammadiyah Mengenai Hukum Nikah Sirri
Menarik, sudah lama fatwa ini keluar, tetapi ane baru tau padahal tinggal di daerah kalangan Muhammadiyah ini. Wong ane TK dan SD pun di sekolah Muhammadiyah. 
Ane rasa, fatwa ini bisa dijadikan bahan advokasi kepada pemerintah khususnya Kementerian Agama bahwa Undang-undang dan peraturan negara tidak harus selalu bertentangan dengan agama. Jangan jadikan agama sebagai pelegalan atas tindakan yang menyebabkan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
sumber:Fatwa

Ane rasa, fatwa ini bisa dijadikan bahan advokasi kepada pemerintah khususnya Kementerian Agama bahwa Undang-undang dan peraturan negara tidak harus selalu bertentangan dengan agama. Jangan jadikan agama sebagai pelegalan atas tindakan yang menyebabkan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
Spoiler for Fatwa Tarjih Muhammadiyah ttg Nikah Sirri:
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkimpoian dan syaratnya menurut syari’at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun-nikah dalam bentuk walimatul-’ursy atau dalam bentuk yang lain. Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya.
Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkimpoian yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkimpoian yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkimpoian di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkimpoian selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian, disebutkan:
Perkimpoian adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkimpoian dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkimpoian dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkimpoian. Dalam ayat (2) disebutkan: “Tatacara perkimpoian dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Dalam ayat (3) disebutkan: “Dengan mengindahkan tatacara perkimpoian menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkimpoian dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
Tentang pencatatan perkimpoian diatur dalam Pasal 11:
Sesaat setelah dilangsungkannya perkimpoian sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkimpoian yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Akta perkimpoian yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkimpoian dan bagi yang melangsungkan perkimpoian menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkimpoian, maka perkimpoian telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkimpoian, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkimpoian dan kutipannya, yaitu:
Akta perkimpoian dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkimpoian itu berada
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkimpoian.
Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkimpoian, bahkan ditandaskan bahwa perkimpoian sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundangan hanya mengatur perkimpoian dari formalitasnya, yaitu perkimpoian sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.
Berkaitan dengan pencatatan perkimpoian, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkimpoian. Waktu itu perkimpoian sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di’ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-’ursy. Nabi saw bersabda:
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
“Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing” [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkimpoian, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkimpoian dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkimpoian dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkimpoian itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkimpoian, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkimpoian yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkimpoian yang terjadi antara mereka.
Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkimpoian dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
“Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat” [I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkimpoian selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkimpoian, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkimpoian antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kimpoi, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkimpoian oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkimpoian dan pembuatan akta perkimpoian, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya … .”
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan merka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkimpoian mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkimpoian tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkimpoian hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
“Satu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.”
Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkimpoian yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di antara sifat Muhammadiyah ialah “mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah”. Wallahu a’lam bish-shawab. *sp)
Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkimpoian yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkimpoian yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkimpoian di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkimpoian selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkimpoian, disebutkan:
Perkimpoian adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkimpoian dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkimpoian dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tatacara perkimpoian. Dalam ayat (2) disebutkan: “Tatacara perkimpoian dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Dalam ayat (3) disebutkan: “Dengan mengindahkan tatacara perkimpoian menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkimpoian dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
Tentang pencatatan perkimpoian diatur dalam Pasal 11:
Sesaat setelah dilangsungkannya perkimpoian sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkimpoian yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Akta perkimpoian yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkimpoian dan bagi yang melangsungkan perkimpoian menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkimpoian, maka perkimpoian telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkimpoian, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkimpoian dan kutipannya, yaitu:
Akta perkimpoian dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkimpoian itu berada
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkimpoian.
Dari ketentuan perundang-undangan di atas dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur materi perkimpoian, bahkan ditandaskan bahwa perkimpoian sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Peraturan perundangan hanya mengatur perkimpoian dari formalitasnya, yaitu perkimpoian sebagai sebuah peristiwa hukum yang harus dilaksanakan menurut peraturan agar terjadi ketertiban dan kepastian hukumnya.
Berkaitan dengan pencatatan perkimpoian, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkimpoian. Waktu itu perkimpoian sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di’ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-’ursy. Nabi saw bersabda:
“Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana” [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
“Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing” [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkimpoian, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkimpoian dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkimpoian dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkimpoian itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkimpoian, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkimpoian yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara sumai isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkimpoian yang terjadi antara mereka.
Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkimpoian dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
“Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.”
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
“Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat” [I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkimpoian selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkimpoian, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkimpoian antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kimpoi, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkimpoian oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkimpoian dan pembuatan akta perkimpoian, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya … .”
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan merka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkimpoian mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkimpoian tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkimpoian hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
“Satu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.”
Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi warga Muhammadiyah, wajib hukumnya mencatatkan perkimpoian yang dilakukannya. Hal ini juga diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35, bahwa di antara sifat Muhammadiyah ialah “mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah”. Wallahu a’lam bish-shawab. *sp)
sumber:Fatwa
0
2.1K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan