- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mimpi Empat Triliun Rupiah


TS
r.c.t.i.o.k
Mimpi Empat Triliun Rupiah
Quote:
Kakinya yang lumpuh membuat dia harus dibantu dua kruk untuk berjalan. Namun kondisi itu tak mampu mengalahkan bara semangat Triyono (31) untuk menggapai cita-cita. Ia bermimpi dalam dua-tiga tahun mendatang, perusahaan yang dirintisnya sudah beromzet Rp 4 triliun.
Spoiler for Jejak langkah seorang pengejar empat trilyun rupiah:
Menderita polio sejak usia 1,5 tahun yang membuat kedua kakinya lumpuh, tidak membuat Triyono menjadi sosok yang minder. Orangtuanya, Priyono dan Marinah, memilih membaurkan sang anak dengan anak-anak lain yang normal.
Orangtuanya menyediakan banyak mainan dan makanan yang membuat anak-anak sekampung senang datang ke rumah mereka, dan bermain bersama Triyono dan kakak-adiknya. Triyono pun tumbuh menjadi anak yang percaya diri, berpikiran positif, dan pantang menyerah. Ia aktif bermasyarakat dan berorganisasi, baik di kampung maupun kampus yang mengasah jiwa kepemimpinannya.
“Kalau teman-teman main sepak bola, saya ikut jadi kiper atau asisten pelatih. Kali lain, saya mencarikan sponsor untuk seragam dan sepatu mereka. Saya bisa berperan menjadi apa saja, dan tetap menjadi bagian tim,” kata Triyono saat ditemui di rumahnya di Dusun Teplok, Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Memastikan diri sejak dini tak ingin menjadi karyawan, Triyono merintis usaha bidang desain bersama beberapa teman saat kuliah pada semester tiga Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Ia juga menerima jasa mencetak undangan pernikahan, kalender, hingga kaus.
“Ada teman saya yang bertugas di bidang marketing dan desain. Saya bagian mencari modal, negosiasi harga, dan mencari percetakan,” katanya.
Berjalan setahun, Triyono memilih aktif berorganisasi di kampus. Ia menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UNS dan Menteri Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa UNS. Bisnis desain dilanjutkan teman-temannya.
Setahun menjadi aktivis kampus, ia lantas bergabung dengan Yayasan Penyandang Cacat “Pelangi Hati”, dan sempat menjadi Ketua II. Hanya bertahan empat bulan, Triyono mengundurkan diri karena idealismenya berbenturan dengan realitas.
Kembali berbisnis
Dia kembali berbisnis. Kali ini pilihannya beternak bebek potong. Triyono memberanikan diri mengambil kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp 5 juta. Kandang bebek dibuatnya di kebun samping rumah. Usaha ini hanya berjalan lima bulan, karena mendapat protes tetangga yang merasa terganggu dengan bau dari aktivitas peternakan ini.
Namun ia merasa beruntung, karena hasil peternakannya sudah bisa digunakan untuk mengembalikan kredit. Semua bebek yang berjumlah 500 ekor itu, lantas dijualnya.
Triyono banting setir menjadi makelar sapi kurban. Ia menawarkan jasa kepada para takmir masjid di Solo dan sekitarnya yang tengah mencari sapi untuk kurban pada Idul Adha. Para takmir itu sebagian adalah temannya di kampus.
Ia juga memanfaatkan jaringannya, para peternak sapi. Saat itu Triyono berhasil menyediakan 66 ekor sapi yang dibawa dengan 11 truk. Dari setiap sapi ia memperoleh keuntungan Rp 200.000-Rp 300.000. Uang itu lantas dibagi dengan dua teman yang membantunya. “Saya lalu berpikir, mengapa tidak menyediakan sendiri sapinya,” ceritanya.
Ia lantas menggandeng Joko, pegawai Tata Usaha di kampusnya bekerja sama. Joko memiliki lahan di Desa Gentan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, yang cukup untuk menampung 70 ekor sapi.
Saat itu, akhir tahun 2007, Triyono membangun kandang sederhana dari bambu yang awalnya berisi tiga sapi. Ia lalu membentuk kelompok dengan anggota petani yang punya sapi. Jumlah sapi pun berkembang menjadi 17 sapi.
Triyono mengajukan proposal program Sarjana Membangun Desa kepada Kementerian Pertanian, dan mendapat dana Rp 360 juta. Uang itu untuk membeli 40 sapi dan membangun kandang permanen, termasuk instalasi pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk padat dan cair. Pupuk dijual kepada anggota kelompok tani.
Sapi dia beri makanan dengan campuran konsentrat berformula tertentu, agar kotorannya tak berbau. Jumlah sapi berkembang menjadi 90 ekor yang sebagian besar merupakan pembibitan, dan sisanya sapi penggemukan.
Investor yang menitipkan uang untuk gaduh sapi mendapat keuntungan 30 persen dalam dua-tiga bulan. Atas pencapaian itu, ia masuk finalis tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri 2010.
Melirik yang lain
Namun harga sapi fluktuatif dan penjualannya pun tak secepat ternak lain. Hal itu membuat Triyono melirik ayam potong sebagai peluang lain. Ayam potong bisa dipanen dalam 28-33 hari, sehingga perputaran uang lebih cepat.
Awalnya ia memelihara 6.000 ekor ayam potong di lahan milik mitra bisnisnya di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Ia juga memelihara 6.000 ekor lainnya di Desa Rejosari, Kecamatan Bendosari.
Tahun 2012 Triyono mendirikan pangkalan ayam di Pulogadung, Jakarta, setelah sebelumnya melegalkan usahanya di bawah bendera CV Tri Agri Aurum Multifarm yang disingkat TAMA.
Setiap hari ia mampu memasok dua-lima truk ayam potong ke Jakarta, dengan omzet rata-rata Rp 200 juta per bulan. Setiap truk itu berisi sekitar 15.000 ekor ayam. Selain diambil dari peternakannya sendiri, ayam juga didapat Triyono dari daerah lain seperti Tegal, Madura, dan Jabodetabek. Keuntungan bersihnya dari setiap truk pasokan ayam Rp 1,8 juta. Usahanya pun kebanjiran investor.
Bahkan ada investor yang mau menanamkan uang Rp 5 miliar di bidang ini. Triyono tengah menggodok konsep kemitraan dengan para peternak dan mitra bisnisnya. Selain itu, dia juga tengah memulai ekspor perdana udang beku ke Osaka, Jepang. Ia membeli udang dari petambak di Lampung, membawanya ke perusahaan pengolah dan pengemas di Tanjung Priok, Jakarta.
Di sela-sela aktivitasnya yang lain, yakni memberi movitasi dari kampus ke kampus, pria lajang ini terus mengejar mimpinya. Ia ingin perusahaannya yang dalam proses menjadi Perseroan Terbatas, berkembang merambah bisnis lain. Dari pertanian kemitraan meluas menjadi perkebunan, kehutanan, ekspor, hingga perbankan, dengan omzet Rp 4 triliun per tahun. Ia bahkan telah menyiapkan nama banknya kelak, Tama Bank.
Triyono membuktikan, cacat fisik tak mampu menghalangi cita-citanya. Kekurangan justru menjadi bahan bakar untuk terus menghidupkan semangatnya mengejar mimpi, termasuk menonton klub sepak bola idolanya, Manchester United berlaga di Old Trafford, Inggris.
***
Biodata :
Nama : Triyono
Lahir : Sukoharjo, Jawa Tengah, 21 Juni 1981
Pendidikan:
SD Mancasan 2, Baki, Sukoharjo
SMP 1 Baki, Sukoharjo
SMA 3 Sukoharjo
S1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Penghargaan : Finalis Wirausaha Muda Mandiri 2010
Orangtua : Priyono (ayah) dan Marinah (ibu). Ia anak ke-3 dari 4 bersaudara (2 kakaknya meninggal dunia)link
Orangtuanya menyediakan banyak mainan dan makanan yang membuat anak-anak sekampung senang datang ke rumah mereka, dan bermain bersama Triyono dan kakak-adiknya. Triyono pun tumbuh menjadi anak yang percaya diri, berpikiran positif, dan pantang menyerah. Ia aktif bermasyarakat dan berorganisasi, baik di kampung maupun kampus yang mengasah jiwa kepemimpinannya.
“Kalau teman-teman main sepak bola, saya ikut jadi kiper atau asisten pelatih. Kali lain, saya mencarikan sponsor untuk seragam dan sepatu mereka. Saya bisa berperan menjadi apa saja, dan tetap menjadi bagian tim,” kata Triyono saat ditemui di rumahnya di Dusun Teplok, Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Memastikan diri sejak dini tak ingin menjadi karyawan, Triyono merintis usaha bidang desain bersama beberapa teman saat kuliah pada semester tiga Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Ia juga menerima jasa mencetak undangan pernikahan, kalender, hingga kaus.
“Ada teman saya yang bertugas di bidang marketing dan desain. Saya bagian mencari modal, negosiasi harga, dan mencari percetakan,” katanya.
Berjalan setahun, Triyono memilih aktif berorganisasi di kampus. Ia menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UNS dan Menteri Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa UNS. Bisnis desain dilanjutkan teman-temannya.
Setahun menjadi aktivis kampus, ia lantas bergabung dengan Yayasan Penyandang Cacat “Pelangi Hati”, dan sempat menjadi Ketua II. Hanya bertahan empat bulan, Triyono mengundurkan diri karena idealismenya berbenturan dengan realitas.
Kembali berbisnis
Dia kembali berbisnis. Kali ini pilihannya beternak bebek potong. Triyono memberanikan diri mengambil kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp 5 juta. Kandang bebek dibuatnya di kebun samping rumah. Usaha ini hanya berjalan lima bulan, karena mendapat protes tetangga yang merasa terganggu dengan bau dari aktivitas peternakan ini.
Namun ia merasa beruntung, karena hasil peternakannya sudah bisa digunakan untuk mengembalikan kredit. Semua bebek yang berjumlah 500 ekor itu, lantas dijualnya.
Triyono banting setir menjadi makelar sapi kurban. Ia menawarkan jasa kepada para takmir masjid di Solo dan sekitarnya yang tengah mencari sapi untuk kurban pada Idul Adha. Para takmir itu sebagian adalah temannya di kampus.
Ia juga memanfaatkan jaringannya, para peternak sapi. Saat itu Triyono berhasil menyediakan 66 ekor sapi yang dibawa dengan 11 truk. Dari setiap sapi ia memperoleh keuntungan Rp 200.000-Rp 300.000. Uang itu lantas dibagi dengan dua teman yang membantunya. “Saya lalu berpikir, mengapa tidak menyediakan sendiri sapinya,” ceritanya.
Ia lantas menggandeng Joko, pegawai Tata Usaha di kampusnya bekerja sama. Joko memiliki lahan di Desa Gentan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, yang cukup untuk menampung 70 ekor sapi.
Saat itu, akhir tahun 2007, Triyono membangun kandang sederhana dari bambu yang awalnya berisi tiga sapi. Ia lalu membentuk kelompok dengan anggota petani yang punya sapi. Jumlah sapi pun berkembang menjadi 17 sapi.
Triyono mengajukan proposal program Sarjana Membangun Desa kepada Kementerian Pertanian, dan mendapat dana Rp 360 juta. Uang itu untuk membeli 40 sapi dan membangun kandang permanen, termasuk instalasi pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk padat dan cair. Pupuk dijual kepada anggota kelompok tani.
Sapi dia beri makanan dengan campuran konsentrat berformula tertentu, agar kotorannya tak berbau. Jumlah sapi berkembang menjadi 90 ekor yang sebagian besar merupakan pembibitan, dan sisanya sapi penggemukan.
Investor yang menitipkan uang untuk gaduh sapi mendapat keuntungan 30 persen dalam dua-tiga bulan. Atas pencapaian itu, ia masuk finalis tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri 2010.
Melirik yang lain
Namun harga sapi fluktuatif dan penjualannya pun tak secepat ternak lain. Hal itu membuat Triyono melirik ayam potong sebagai peluang lain. Ayam potong bisa dipanen dalam 28-33 hari, sehingga perputaran uang lebih cepat.
Awalnya ia memelihara 6.000 ekor ayam potong di lahan milik mitra bisnisnya di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Ia juga memelihara 6.000 ekor lainnya di Desa Rejosari, Kecamatan Bendosari.
Tahun 2012 Triyono mendirikan pangkalan ayam di Pulogadung, Jakarta, setelah sebelumnya melegalkan usahanya di bawah bendera CV Tri Agri Aurum Multifarm yang disingkat TAMA.
Setiap hari ia mampu memasok dua-lima truk ayam potong ke Jakarta, dengan omzet rata-rata Rp 200 juta per bulan. Setiap truk itu berisi sekitar 15.000 ekor ayam. Selain diambil dari peternakannya sendiri, ayam juga didapat Triyono dari daerah lain seperti Tegal, Madura, dan Jabodetabek. Keuntungan bersihnya dari setiap truk pasokan ayam Rp 1,8 juta. Usahanya pun kebanjiran investor.
Bahkan ada investor yang mau menanamkan uang Rp 5 miliar di bidang ini. Triyono tengah menggodok konsep kemitraan dengan para peternak dan mitra bisnisnya. Selain itu, dia juga tengah memulai ekspor perdana udang beku ke Osaka, Jepang. Ia membeli udang dari petambak di Lampung, membawanya ke perusahaan pengolah dan pengemas di Tanjung Priok, Jakarta.
Di sela-sela aktivitasnya yang lain, yakni memberi movitasi dari kampus ke kampus, pria lajang ini terus mengejar mimpinya. Ia ingin perusahaannya yang dalam proses menjadi Perseroan Terbatas, berkembang merambah bisnis lain. Dari pertanian kemitraan meluas menjadi perkebunan, kehutanan, ekspor, hingga perbankan, dengan omzet Rp 4 triliun per tahun. Ia bahkan telah menyiapkan nama banknya kelak, Tama Bank.
Triyono membuktikan, cacat fisik tak mampu menghalangi cita-citanya. Kekurangan justru menjadi bahan bakar untuk terus menghidupkan semangatnya mengejar mimpi, termasuk menonton klub sepak bola idolanya, Manchester United berlaga di Old Trafford, Inggris.
***
Biodata :
Nama : Triyono
Lahir : Sukoharjo, Jawa Tengah, 21 Juni 1981
Pendidikan:
SD Mancasan 2, Baki, Sukoharjo
SMP 1 Baki, Sukoharjo
SMA 3 Sukoharjo
S1 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
Penghargaan : Finalis Wirausaha Muda Mandiri 2010
Orangtua : Priyono (ayah) dan Marinah (ibu). Ia anak ke-3 dari 4 bersaudara (2 kakaknya meninggal dunia)link
0
3.1K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan