- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kisah bayi yang Harum Baunya Ketika Meninggal Dunia


TS
ajisaka
Kisah bayi yang Harum Baunya Ketika Meninggal Dunia
Kawan tahukah engkau Houtman Zainal Arifin?
Ya, beliau adalah mantan Office Boy yang karena perjuangannya bisa menjadi Vice President Citibank, beliau juga salah satu founder Dompet Dhuafa.
Oh, iya beliau meninggal dunia tanggal 20 Desember 2012..
Semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT, dilapangkan kuburnya, dan diampuni semua dosa-dosanya..Amien
Sampai dengan meninggalnya beliau tinggal bersama sekitar 42 anak yatim di rumahnya.
Saya rasa kisah keberhasilannya banyak di temukan di internet.
Tapi ada satu kisah yang bisa menjadi inspirasi bagi kita semua tentang kemuliaan hati beliau.
Kisah ini dimulai ketika beliau menemukan seorang bayi yang dibuang oleh ibunya.
Bayi itu cacat, punuknya memanjang hingga ke punggungnya, kedua kakinya saling menyilang, demikian pula tangannya.
Mungkin karena itulah orangtua sang bayi membuangnya, hingga muka bayi tersebut dikerumuni oleh semut.
Merasa iba melihat bayi tersebut, beliau membawa bayi itu ke rumahnya setelah sebelumnya berdiskusi dengan keluarga.
Saat sampai di rumah, beliau merasakan ada sesuatu yang berbeda. Rumah yang tadinya terlihat dan terasa sempit tiba-tiba menjadi lapang dan luas. Luar biasa!!
“Setelah kejadian itu,
keajaiban demi keajaiban terus terjadi mengiringi kami,” kenangnya.
Namun, selang beberapa hari kemudian, bayi itu jatuh sakit. Beliau langsung membawanya ke rumah sakit di bilangan Pondok Indah.
Entah karena kondisi bayi yang tak sempurna sehingga pihak rumah sakit menolaknya atau karena sebab lain, kendati kala itu beliau telah memperlihatkan segala bentuk kartu perbankan miliknya sebagai bukti kesungguhan dan kemampuannya untuk membayar seluruh tagihan perawatan.
Karena ditolak, beliau kemudian memacu mobilnya menuju sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Barat dengan harapan bayi itu segera mendapat pertolongan. Sesampainya di sana, ia disambut oleh suster penjaga. Selang beberapa menit kemudian, puluhan dokter berjejer sembari memperhatikan bayi mungil itu.
“Mohon ditempatkan di ruang VIP. Saya tidak mau ‘anak saya’ menjadi tontonan orang banyak,” tegasnya kepada para dokter dengan menyebut
bayi itu sebagai anaknya. Subhanallah!
Setiap hari beliau bolak balik antara rumah, kantor dan rumah sakit. Tak jarang beliau datang ke rumah sakit dengan pakaian kerja, jas dan dasi yang masih menggantung, karena sayangnya terhadap anak itu.
Waktu terus bergulir, menit demi menit, jam demi jam, dan hari demi hari, namun anak itu belum juga mengalami perubahan signifikan.
Saat tenggelam dalam penantian akan kesembuhan “anaknya”, beliau tiba-tiba mendapat berita bahwa tantenya di Semarang meninggal dunia. Beliau langsung menuju bandara diantar oleh sopirnya.
Namun, sesaat sebelum naik pesawat, ia mendapat telpon dari rumah bahwa “anaknya” meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
“Tante di sana pasti ada yang ngurus. Anak ini siapa yang akan mengurusnya selain saya?!” Pak Houtman membatin.
Beliau mengurungkan niatnya berangkat ke Semarang, demi mengurus anaknya yang baru saja dipanggil oleh SWT.
Sesampai di rumah sakit, beliau langsung menuju ruang mayat. Subhanallah, di sana beliau mendapati bau yang sangat harum, belum pernah ia mencium bau yang sesejuk dan seharum itu. Bau harum istimewa itu tersebut terus menyertainya sepanjang perjalanan hingga sampai ke kuburan. Setelah anak itu dimasukkan ke liang lahat, salah seorang teman, sebut saja namanya Sukanto, meminta izin kepada beliau untuk turun mendoakannya.
“Karena saya menilai niatnya baik, maka saya tak dapat melarangnya,” ujarnya. Namun, setelah puluhan menit Sukanto berdo’a, ia belum juga berdiri. Ia tak mau beranjak dari kuburan tersebut.
Saat ditanyakan alasannya,
Sukanto menjawab, “Saya melihat pemandangan yang indah sekali. Sebuah pemandangan yang tiada taranya,” jawabnya.
Setelah pemakaman usai saya berdiri mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan yang telah turut menyertai anak kami. “Satu hal yang sengaja tak saya lakukan adalah meminta maaf seperti yang lazim dilakukan banyak orang, karena saya yakin betul anak itu tak memiliki kesalahan apapun, sehingga saya
tidak perlu memohon maaf,” tegasnya.
Salah satu pesan beliau :
“Martabatmu bukan ditentukan oleh banyaknya sertifikat
dan bintang jasa di pundak dan dadamu. Tetapi ditentukan oleh seberapa kuat namamu ada di hati orang-orang di sekitarmu. Pujian sejati, bukanlah dalam bentuk gemuruh tepuk tangan tiada henti.
Tetapi justru ada di dalam hati, ia keluar dalam bentuk doa di saat-saat sepi.”
Sumber : didiknotes.wordpress.com
Ya, beliau adalah mantan Office Boy yang karena perjuangannya bisa menjadi Vice President Citibank, beliau juga salah satu founder Dompet Dhuafa.
Oh, iya beliau meninggal dunia tanggal 20 Desember 2012..
Semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT, dilapangkan kuburnya, dan diampuni semua dosa-dosanya..Amien
Sampai dengan meninggalnya beliau tinggal bersama sekitar 42 anak yatim di rumahnya.
Saya rasa kisah keberhasilannya banyak di temukan di internet.
Tapi ada satu kisah yang bisa menjadi inspirasi bagi kita semua tentang kemuliaan hati beliau.
Kisah ini dimulai ketika beliau menemukan seorang bayi yang dibuang oleh ibunya.
Bayi itu cacat, punuknya memanjang hingga ke punggungnya, kedua kakinya saling menyilang, demikian pula tangannya.
Mungkin karena itulah orangtua sang bayi membuangnya, hingga muka bayi tersebut dikerumuni oleh semut.
Merasa iba melihat bayi tersebut, beliau membawa bayi itu ke rumahnya setelah sebelumnya berdiskusi dengan keluarga.
Saat sampai di rumah, beliau merasakan ada sesuatu yang berbeda. Rumah yang tadinya terlihat dan terasa sempit tiba-tiba menjadi lapang dan luas. Luar biasa!!
“Setelah kejadian itu,
keajaiban demi keajaiban terus terjadi mengiringi kami,” kenangnya.
Namun, selang beberapa hari kemudian, bayi itu jatuh sakit. Beliau langsung membawanya ke rumah sakit di bilangan Pondok Indah.
Entah karena kondisi bayi yang tak sempurna sehingga pihak rumah sakit menolaknya atau karena sebab lain, kendati kala itu beliau telah memperlihatkan segala bentuk kartu perbankan miliknya sebagai bukti kesungguhan dan kemampuannya untuk membayar seluruh tagihan perawatan.
Karena ditolak, beliau kemudian memacu mobilnya menuju sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Barat dengan harapan bayi itu segera mendapat pertolongan. Sesampainya di sana, ia disambut oleh suster penjaga. Selang beberapa menit kemudian, puluhan dokter berjejer sembari memperhatikan bayi mungil itu.
“Mohon ditempatkan di ruang VIP. Saya tidak mau ‘anak saya’ menjadi tontonan orang banyak,” tegasnya kepada para dokter dengan menyebut
bayi itu sebagai anaknya. Subhanallah!
Setiap hari beliau bolak balik antara rumah, kantor dan rumah sakit. Tak jarang beliau datang ke rumah sakit dengan pakaian kerja, jas dan dasi yang masih menggantung, karena sayangnya terhadap anak itu.
Waktu terus bergulir, menit demi menit, jam demi jam, dan hari demi hari, namun anak itu belum juga mengalami perubahan signifikan.
Saat tenggelam dalam penantian akan kesembuhan “anaknya”, beliau tiba-tiba mendapat berita bahwa tantenya di Semarang meninggal dunia. Beliau langsung menuju bandara diantar oleh sopirnya.
Namun, sesaat sebelum naik pesawat, ia mendapat telpon dari rumah bahwa “anaknya” meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
“Tante di sana pasti ada yang ngurus. Anak ini siapa yang akan mengurusnya selain saya?!” Pak Houtman membatin.
Beliau mengurungkan niatnya berangkat ke Semarang, demi mengurus anaknya yang baru saja dipanggil oleh SWT.
Sesampai di rumah sakit, beliau langsung menuju ruang mayat. Subhanallah, di sana beliau mendapati bau yang sangat harum, belum pernah ia mencium bau yang sesejuk dan seharum itu. Bau harum istimewa itu tersebut terus menyertainya sepanjang perjalanan hingga sampai ke kuburan. Setelah anak itu dimasukkan ke liang lahat, salah seorang teman, sebut saja namanya Sukanto, meminta izin kepada beliau untuk turun mendoakannya.
“Karena saya menilai niatnya baik, maka saya tak dapat melarangnya,” ujarnya. Namun, setelah puluhan menit Sukanto berdo’a, ia belum juga berdiri. Ia tak mau beranjak dari kuburan tersebut.
Saat ditanyakan alasannya,
Sukanto menjawab, “Saya melihat pemandangan yang indah sekali. Sebuah pemandangan yang tiada taranya,” jawabnya.
Setelah pemakaman usai saya berdiri mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan yang telah turut menyertai anak kami. “Satu hal yang sengaja tak saya lakukan adalah meminta maaf seperti yang lazim dilakukan banyak orang, karena saya yakin betul anak itu tak memiliki kesalahan apapun, sehingga saya
tidak perlu memohon maaf,” tegasnya.
Salah satu pesan beliau :
“Martabatmu bukan ditentukan oleh banyaknya sertifikat
dan bintang jasa di pundak dan dadamu. Tetapi ditentukan oleh seberapa kuat namamu ada di hati orang-orang di sekitarmu. Pujian sejati, bukanlah dalam bentuk gemuruh tepuk tangan tiada henti.
Tetapi justru ada di dalam hati, ia keluar dalam bentuk doa di saat-saat sepi.”
Sumber : didiknotes.wordpress.com
0
1.8K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan