- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
GOL YANG MENANTANG NAZI DAN MEMBUNUH SEORANG LEGENDA


TS
AuziDeMessi
GOL YANG MENANTANG NAZI DAN MEMBUNUH SEORANG LEGENDA
Quote:
Sebelum mulai ane minta
sama jangan lupa
gan..


Quote:
Matthias Sindelar bisa dianggap sebagai pemain ternbaik pada masa-masa perang hingga satu gol sodokan menjadi sinyal akhir karier. bergantung kisah mana yang anda yakini
Quote:

Matthias Sindelar
Quote:
3 April 1938, stadion Prater di Wina. Selama 69 menit Matthias Sindelar, yang memperkuat timnas negaranya, melakukan apa yang diinstruksikan kepadanya. Ia melewatkan peluang demi peluang saat melawan Jerman, yang baru beberapa pekan sebelumnya menganeksasi Austria, yang dicintainya. Pertandingan ini,nyang direncanakan sebagai perayaan aneksasi tersebut--merupakan penyambutan resmi kembali Austria ke dalam Reich. Setelah “disarankan” untuk tidak mencetak gol, sindelar kerap luput memanfaatkan peluang-peluang mudah.
Pada menit ke-70, ia menceploskan bola pantul. Sebanyak 60.000 penonton, yang memprediksi bahwa partai ini akan berakhir seri 0-0 secara diplomatis, terkejut. Rekan setim sekaligus temannya, Schasti Sesta, lalu mencetak gol dari tendangan bebas untuk membuat kedudukan menjadi 2-0, dan keduanya menari kegirangan di hadapan boks penonton yang dipadati petinggi-petinggi Nazi.
Sembilan bulan kemudian, beberapa pekan setelah pelecehan Gestapo, Sindelar dan pacarnya ditemukan tewas di apartemennya di Wina. Sejak itulah segalanya dimulai: isu menjadi mitos dan mitos menjadi legenda: gol Sindelar dan “tarian kematiannya” setelah gol itu, kata salah seorang teori konspirasi, membuatnya dibunuh Nazi. Namun benarkah spekulasi tersebut? Benarkah pemain terbesar Austria itu dibunuh hanya karena merayakan gol? Hanya tuhan yang tahu..
Pada menit ke-70, ia menceploskan bola pantul. Sebanyak 60.000 penonton, yang memprediksi bahwa partai ini akan berakhir seri 0-0 secara diplomatis, terkejut. Rekan setim sekaligus temannya, Schasti Sesta, lalu mencetak gol dari tendangan bebas untuk membuat kedudukan menjadi 2-0, dan keduanya menari kegirangan di hadapan boks penonton yang dipadati petinggi-petinggi Nazi.
Sembilan bulan kemudian, beberapa pekan setelah pelecehan Gestapo, Sindelar dan pacarnya ditemukan tewas di apartemennya di Wina. Sejak itulah segalanya dimulai: isu menjadi mitos dan mitos menjadi legenda: gol Sindelar dan “tarian kematiannya” setelah gol itu, kata salah seorang teori konspirasi, membuatnya dibunuh Nazi. Namun benarkah spekulasi tersebut? Benarkah pemain terbesar Austria itu dibunuh hanya karena merayakan gol? Hanya tuhan yang tahu..
Quote:
Quote:
Masa Kecil
Quote:
Matthias Sindelar berasal dari keluarga sederhana.Orang tuanya oindag dari Moravia ke Vienna agar ayahnya, seorang tukang batu, bisa mendapat pekerjaan di distrik industri Favoriten. Di jalan-jalan becek industri inilah Sindelar mengasah keterampilan sepak bola
yang membuatnya pada kemudian hari di juluki Der Papierene (Si Tukang Koran) berkat kemampuannya menyusup menembus pertahanan lawan.
Sindelar termantau saat bermain di jalanan dengan bola terbuat dari gumpalan kain dan bergabung dengan klub lokal, Hertha, pada usia 15 tahun, setahun setelah ayahnya tewas di garis depan Italia pada Perang Dunia I. Tak lama berselang ia pindah ke Vienna Amateurs, yang kemudian berubah nama menjadi FK Austria Vienna, dan langsung masuk tim utama meski kerap diganggu cidera lutut. Banyak yang mengatakan bahwa gaya bermainnya yang menghindari lawan sebenarnya dipicu rasa takut menerima tekel yang bisa membunuh kariernya jika terarah ke lututnya yang selalu dibalut. Sindelar memukau para fans FK Austria, yang secara tradisional merupakan klub kelas menengah yahudi. Kinerjanya digambarkan di kedai-kedai kopi, di mana ia sering minum dan berjudi bersama para fan, persis seperti orang menggambarkan akting atau pertunjukan musik yang memikat. Pada tiga musim pertamanya Sindelar memimpin timnya meraih tiga Piala Austria dan satu gelar liga. Pada 1933, mereka menjuarai piala Mitropa, mengalahkan Ambrosiana Milan (yang kemudian menjadi Internazionale); tiga tahun kemudian mereka mengulangi pencapaian yang sama dengan menumbangkan Slavia Prague.
Seorang fan Austria Vienna, ayah Fritz Polster, kerap bergaul dengan ‘Sindi’. “Ia selalu saya anggap sebagai suerstar klasik,” kenang Fritz. “Tak ada histeria massa terhadap pemain pada masa itu; yang ada keheningan penuh rasa hormat.
Ayah saya mengajak saya beberapa kali bertemu dengannya. Ia sosok ramping dan nyaris ringkih yang seolah bisa melesat kapan saja. Anda tak akan pernah menduga bahwa ia mampu menumbangkan pertahanan lawan sendirian. Namun, ternyata ia mampu. Bisa dekat dengan dirinya saja sudah merupakan pengalaman luar biasa.”

Sindelar termantau saat bermain di jalanan dengan bola terbuat dari gumpalan kain dan bergabung dengan klub lokal, Hertha, pada usia 15 tahun, setahun setelah ayahnya tewas di garis depan Italia pada Perang Dunia I. Tak lama berselang ia pindah ke Vienna Amateurs, yang kemudian berubah nama menjadi FK Austria Vienna, dan langsung masuk tim utama meski kerap diganggu cidera lutut. Banyak yang mengatakan bahwa gaya bermainnya yang menghindari lawan sebenarnya dipicu rasa takut menerima tekel yang bisa membunuh kariernya jika terarah ke lututnya yang selalu dibalut. Sindelar memukau para fans FK Austria, yang secara tradisional merupakan klub kelas menengah yahudi. Kinerjanya digambarkan di kedai-kedai kopi, di mana ia sering minum dan berjudi bersama para fan, persis seperti orang menggambarkan akting atau pertunjukan musik yang memikat. Pada tiga musim pertamanya Sindelar memimpin timnya meraih tiga Piala Austria dan satu gelar liga. Pada 1933, mereka menjuarai piala Mitropa, mengalahkan Ambrosiana Milan (yang kemudian menjadi Internazionale); tiga tahun kemudian mereka mengulangi pencapaian yang sama dengan menumbangkan Slavia Prague.
Seorang fan Austria Vienna, ayah Fritz Polster, kerap bergaul dengan ‘Sindi’. “Ia selalu saya anggap sebagai suerstar klasik,” kenang Fritz. “Tak ada histeria massa terhadap pemain pada masa itu; yang ada keheningan penuh rasa hormat.
Ayah saya mengajak saya beberapa kali bertemu dengannya. Ia sosok ramping dan nyaris ringkih yang seolah bisa melesat kapan saja. Anda tak akan pernah menduga bahwa ia mampu menumbangkan pertahanan lawan sendirian. Namun, ternyata ia mampu. Bisa dekat dengan dirinya saja sudah merupakan pengalaman luar biasa.”
Quote:
Foto-foto
Quote:

Bahkan Pers Inggris menganggap Sindelar sebagai "pemain jenius".
Quote:

Paper Man beraksi saat memperkuat FK Austria Vienna, 1936.
Quote:

Menguasai bola dalam partai (tengah) reunifikasi
Quote:

Tim Austria berbaris untuk menghadapi Hungaria pada 1932; Sindelar bediri keempat dari kanan.
Quote:
Kaskuser yang baik selalu:
Meninggalkan Komen
Memberikan Cendol
Memberi
di thread
Meninggalkan Komen

Memberikan Cendol

Memberi

Quote:


nona212 memberi reputasi
1
5.2K
Kutip
28
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan