Kaskus

News

padyaparagiAvatar border
TS
padyaparagi
Fenomena Paradoksal dalam Evaluasi Akuntabilitas Belanja Negara : Opini BPK Membaik,
Menjelang akhir 2012, kinerja pemerintah kembali disorot. Persentase penyerapan anggaran tidak memenuhi target hingga akuntabilitas belanja negara dipertanyakan. Apa masalah yang menyumbat seretnya pengeluaran APBN? Berikut ulasan Wawan Sobari, pakar The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memberikan label “pemalas” terhadap enam kementerian berkinerja buruk dalam membelanjakan APBN. Enam kementerian itu yakni Kemenpera, Kemenpora, Kementerian ESDM, Kementerian PDT, Kemenbudpar, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, baru merealisasikan kurang dari 20 persen APBNP yang harus dibelanjakan hingga akhir Juni 2012 (Jawa Pos, 24/12).

Ketidaktercapaian target penyerapan anggaran tidak terjadi tahun ini saja. Hasil Studi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menunjukkan hal serupa. Dalam kurun lima tahun (2006-2010), tujuh kementerian negara/lembaga (K/L) ang memperoleh alokasi anggaran terbesar membelanjakan APBN cukup seret sampai semester I dalam rentang waktu itu.

Kemendikbud, Kemenhan, Kemen PU, Kepolisian, Kemenkes, Kemenhub, dan Kemenkeu rata-rata menyerap anggaran 28,44 persen hingga setiap semester pertama 2006-2010. Apalagi, pengeluaran pemerintah tersebut lebih banyak dialokasikan untuk belanja barang daripada belanja modal.
Capaian tersebut tentu sangat disayangkan, mengingat besarnya peran belanja modal sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi. Menurut penghitungan BKF, setiap gerojokan belanja infrastruktur per Rp 10 triliun akan mengerek pertumbuhan ekonomi sebesa 0,1 persen.

Ironisnya, Tim Evaluasi Percepatan Penyerapan Anggaran (TEPPA) membeberkan temuan yang relatif sama tiga tahun sebelumnya. Lembaga yang dihuni tim dari UKP4, Kemenkeu, serta BPKPtersebut memaparkan bahwa capaian penyerapan anggaran terus menurun selama 2009-2011. Akhir 2009, capaian belanja pemerintah masih mencapai 91,8 persen.
Pada waktu yang sama tahun lalu, angka tersebut turun hingga 87 persen. Bahkan, hingga kuartal ketiga, penyerapan anggaran masih kurang dari 50 persen. Merujuk data TEPPA, selama kuartal terakhir 2011, pemerintah membelanjakan hampir 40 persen anggaran. Jumlah belanja yang masif dalam kurun relatif singkat itu tentu tidak tepat bila ingin memperoleh kualitas belanja yang bagus.

Menariknya, hasil bertolak belakang terlihat dalam hasil audit laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) oleh BPK. Setiap tahun hasil audit menunjukkan perbaikan opini yang diberikan BPK. Salah satuny diindikasikan dengan bertambahnya jumlah K/L yang memperoleh predikat wajar tanpa pengecualian (WTP), perolehan tertinggi dalam opini BPK.
Di antara 80-an K/L yang diaudit kali pertama pada 2006, hanya enam institusi yang mendapat opini WTP. Setahun kemudian, ngka tersebut naik menjadi 16 K/L dengan laporan keuangan berpredikat WTP. Hingga 2011, sudah 67 K/L yang diganjar WTP atau sekitar 84 persen dari K/L. Alhasil, BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP/qualified opinion) terhadap LKPP 2011.

Dalam bahasa sederhana, predikat WTP mengindikasikan K/L telah mampu menyajikan dan mengungkap laporan keuangan secara wajar dalam semua hal secara riil. Pun, informasi keuangan bisa diandalkan.

Bila dikaitkan, secara logis fakta bertolak belakang antara tren penurunan penyerapan anggaran dan perbaikan opini laporan keuangan K/L tersebut bisa dijelaskan. Yakni, kementerian negara dan lembaga menjadi semakin berhati-hati dalam mengeksekusi program dan mengalokasikan anggaran. Atau, dalam pengungkapan yang berbeda, penyerapan anggaran rendah karena meningkatnya peran audit laporan keuangan, sehingga menimbulkan “rasa takut” dari pengguna dan pengelola anggaran.

Berdasar temuan Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu, pengguna anggaran tidak selamanya bisa disalajkan terkait rendahnya serapan anggaran. Sejumlah faktor lain menjadi penyebab. Misalnya, kebijakan pemerintah yang cukup ketat dalam pengelolaan keuangan negara.

Selain itu, secara institusional, lemahnya perencanaan dan koordinasi menjadi kendala klasik. Bahkan, kebiasaan menunda pekerjaan menumpuk pada akhir masa kegiatan ditengarai berkontribusi terhadap seretnya belanja pemerintah.

Sementara itu, BPK dalam kacamata sebagai lembaga audit menilai pengadaan barang jasa sebagai sumber masalah. Proses pengadaan yang bermasalah bisa menimbukan lambatnya penyerapan anggaran. Juga, hasil pemeriksaan terhadap pengguna anggaran akan bermasalah.

Sementara itu, dari sisi akuntabilitas penggunaan uang negara, fakta, dan argumen tersebut sulit diterima, mengingat cukup krusialnya peran belanja publik. Di satu sisi, pengguna anggaran mesti taat prosedur dan peraturan sebagai wujud akuntabilitas. Di sisi lain, yang lebih penting adalah kecepatan penggunaan anggaran untuk kemaslahatan publik.

Karena itu, akuntabilitas otentik dari penggunaan anggaran berhubungan dengan bagaimana uang negara digunakan setepat-tepatnya untuk kemanfaatan rakyat. Publik jangan dipaksa menunggu untuk mendapatkan nilai guna dari uang negara hanya karena prosedur dan aturan yang terlalu rumit. Atau, yang lebih buruk, rakyat dipaksa menanti karena ada agenda serta kepentingan gelap para penguasa formal dan informal yang bersekongkol mendistorsi anggaran publik.

Karena itu, perlu dievaluasi peran audit bila justru menghasilkan pola belanja yang menumpuk pada akhir tahun anggaran. Juga, faktor-faktor penyumbat lainnya perlu diperangi, termasuk perilaku korup dan tidak transparan aparat negara dan non-negara.

Berdasar fakta dan argumen itu, langkah-langkah penyelesaian berbasis regulasi tidak akan cukup mengurangi persoalan seretnya belanja publik. Pemerintah dan publik perlu mengidentifikasi alternatif non kebijakan untuk memacu penyerapan anggaran yang sesuai terget dan memenuhi aspek akuntabilitas otentik. (www.jawapos.co.id)
0
1.2K
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan