- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Auditor Independen Tak Sah Audit Keuangan Negara...
TS
eKOONTOLL
Auditor Independen Tak Sah Audit Keuangan Negara...
JAKARTA – Upaya Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menyeret dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat pengeringan gabah oleh Bank Bukopin, yang berekses pada kerugian keuangan negara ke depan persidangan, dinilai sebagian pihak kurang tepat. Pasalnya, audit terhadap potensi kerugian Negara tidak dilakukan oleh pihak yang berwenang yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Melainkan, Kejagung menggunakan tim akuntan publik independen. Auditor independen tersebut menemukan adanya kerugian Negara sebesar Rp 59.584.529.500.
”Jika terkait dengan perhitungan keuangan negara, kasus ini harusnya diaudit oleh BPK,” ungkap Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta Mudzakkir, kepada Jawa Pos, kemarin (24/12).
Kendati demikian, Mudzakkir menjelaskan, Kejagung seharusnya memperhatikan apakah kasus Bukopin ini benar menyangkut keuangan Negara. Pasalnya, seperti diketahui bahwa kepemilikan saham Negara di Bukopin kurang dari 51 persen.
Karena Negara bukan pemegang saham mayoritas, maka dalam hal ini Bukopin pun tidak bisa disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara konsep kerugian Negara sendiri, ia menjelaskan, terjadi ketika ada pengaruh gerakan terhadap arus kas Negara. Misalnya, setoran ke kas Negara dimungkinkan menurun akibat suatu perbuatan melawan hukum.
Lantaran itu, Mudzakkir menerangkan, ketika BPK yang berwenang memeriksa, menetapkan, dan menilai kerugian Negara, akhirnya menolak menghitung adanya kerugian Negara pada kasus Bukopin ini dinilai sudah tepat. ”Sikap BPK sudah benar,” jelasnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi, menampik adanya penyimpangan terhadap regulasi atas penggunaan tim auditor independen tersebut. Ia mengatakan, penggunaan akuntan independen merupakan kebijakan penuh penyidik. ”Auditor independen ini tergantung penyidik. Yang terpenting adalah akuntan kredibel,” ungkap Untung yang enggan menjabarkan lebih detil kepada Jawa Pos.
Sebelumnya, setelah delapan tahun mangkrak, kasus dugaan korupsi pengadaan alat pengeringan gabah oleh Bank Bukopin pada 2004, ditaksir telah menggerogoti kantong keuangan Negara dalam jumlah besar. Kejagung dengan menggandeng tim akuntan publik independen Nursehan dan Sinarhaja, mencatat kerugian Negara.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto mengatakan kerugian negara tak dapat diungkap secara cepat, lantaran sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) enggan mengadakan pemeriksaan. Kedua lembaga tersebut, lanjut Andhi, menganggap kepemilikan saham pemerintah yang minim, yakni berada di bawah 50 persen tidak mengandung kerugian Negara. ”Karena sudah ada hitungannya (kerugian), jadi kita percepat penyidikannya,” ungkap Andhi.
Dia melanjutkan, aksi penyidikan Kejagung untuk mencari kerugian Negara kasus Bukopin bisa berjalan lagi pasca hembusan angin segar vonis kasus pembobolan dana PT Elnusa (anak perusahaan Pertamina), sebesar Rp 111 miliar. Putusan pengadilan Tipikor Bandung kala itu dijadikan yurisprudensi oleh Kejagung. Bahwa, meskipun kepemilikan saham Pemerintah dalam suatu korporasi di bawah 50 persen, kasus Elnusa tetap dapat diajukan ke lembaga peradilan.
Sekadar mempersegar ingatan, kasus ini bermula ketika Direksi PT Bank Bukopin memberikan fasilitas kredit kepada PT Agung Pratama sebesar Rp 69,8 miliar pada 2004 yang dikucurkan dalam tiga tahap. Kredit itu dikucurkan untuk membiayai pembangunan alat pengering gabah "drying center" pada Bulog Divre Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, sebanyak 45 unit.
Namun, fasilitas kredit tidak digunakan sebagaimana mestinya, seperti pada pengadaan spesifikasi merek dan jenis mesin. Akibat pemberian kredit itu, penyidik menyatakan terjadi kredit macet di Bank Bukopin ditambah bunga sebesar Rp76,24 miliar. Dari kasus ini, penyidik sudah menetapkan 11 tersangka yang mayoritas diantaranya merupakan karyawan Bukopin dan juga seorang pihak dari PT. Agung Patama. (gal)
sumber
ts: dari pada duit bwt orang laen mending bwt bayar orang sendiri.
”Jika terkait dengan perhitungan keuangan negara, kasus ini harusnya diaudit oleh BPK,” ungkap Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta Mudzakkir, kepada Jawa Pos, kemarin (24/12).
Kendati demikian, Mudzakkir menjelaskan, Kejagung seharusnya memperhatikan apakah kasus Bukopin ini benar menyangkut keuangan Negara. Pasalnya, seperti diketahui bahwa kepemilikan saham Negara di Bukopin kurang dari 51 persen.
Karena Negara bukan pemegang saham mayoritas, maka dalam hal ini Bukopin pun tidak bisa disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara konsep kerugian Negara sendiri, ia menjelaskan, terjadi ketika ada pengaruh gerakan terhadap arus kas Negara. Misalnya, setoran ke kas Negara dimungkinkan menurun akibat suatu perbuatan melawan hukum.
Lantaran itu, Mudzakkir menerangkan, ketika BPK yang berwenang memeriksa, menetapkan, dan menilai kerugian Negara, akhirnya menolak menghitung adanya kerugian Negara pada kasus Bukopin ini dinilai sudah tepat. ”Sikap BPK sudah benar,” jelasnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi, menampik adanya penyimpangan terhadap regulasi atas penggunaan tim auditor independen tersebut. Ia mengatakan, penggunaan akuntan independen merupakan kebijakan penuh penyidik. ”Auditor independen ini tergantung penyidik. Yang terpenting adalah akuntan kredibel,” ungkap Untung yang enggan menjabarkan lebih detil kepada Jawa Pos.
Sebelumnya, setelah delapan tahun mangkrak, kasus dugaan korupsi pengadaan alat pengeringan gabah oleh Bank Bukopin pada 2004, ditaksir telah menggerogoti kantong keuangan Negara dalam jumlah besar. Kejagung dengan menggandeng tim akuntan publik independen Nursehan dan Sinarhaja, mencatat kerugian Negara.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto mengatakan kerugian negara tak dapat diungkap secara cepat, lantaran sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) enggan mengadakan pemeriksaan. Kedua lembaga tersebut, lanjut Andhi, menganggap kepemilikan saham pemerintah yang minim, yakni berada di bawah 50 persen tidak mengandung kerugian Negara. ”Karena sudah ada hitungannya (kerugian), jadi kita percepat penyidikannya,” ungkap Andhi.
Dia melanjutkan, aksi penyidikan Kejagung untuk mencari kerugian Negara kasus Bukopin bisa berjalan lagi pasca hembusan angin segar vonis kasus pembobolan dana PT Elnusa (anak perusahaan Pertamina), sebesar Rp 111 miliar. Putusan pengadilan Tipikor Bandung kala itu dijadikan yurisprudensi oleh Kejagung. Bahwa, meskipun kepemilikan saham Pemerintah dalam suatu korporasi di bawah 50 persen, kasus Elnusa tetap dapat diajukan ke lembaga peradilan.
Sekadar mempersegar ingatan, kasus ini bermula ketika Direksi PT Bank Bukopin memberikan fasilitas kredit kepada PT Agung Pratama sebesar Rp 69,8 miliar pada 2004 yang dikucurkan dalam tiga tahap. Kredit itu dikucurkan untuk membiayai pembangunan alat pengering gabah "drying center" pada Bulog Divre Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan, sebanyak 45 unit.
Namun, fasilitas kredit tidak digunakan sebagaimana mestinya, seperti pada pengadaan spesifikasi merek dan jenis mesin. Akibat pemberian kredit itu, penyidik menyatakan terjadi kredit macet di Bank Bukopin ditambah bunga sebesar Rp76,24 miliar. Dari kasus ini, penyidik sudah menetapkan 11 tersangka yang mayoritas diantaranya merupakan karyawan Bukopin dan juga seorang pihak dari PT. Agung Patama. (gal)
sumber
ts: dari pada duit bwt orang laen mending bwt bayar orang sendiri.
0
915
1
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan