- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Dinamika Serikat Pekerja di Indonesia


TS
OBEi
Dinamika Serikat Pekerja di Indonesia
Dinamika Serikat Pekerja (SP) di Indonesia


Quote:
Lintasan sejarah Serikat Pekerja(SP)/Serikat Buruh (SB) di negeri ini, dihiasi oleh gerak dinamis yang kadang menjurus ke titik ekstrim. Namun, sampai sekarang, secara umum SP/SB masih berdiri gamang di tengah masalah ketenagakerjaan yang kian rumit, terutama setelah diberlakukan kebijakan otonomi.
Sejarah serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) di tanah air, dimulai pada Abad XX, menyusul berdirinya perusahaan pegadaian, kereta api, dan lainnya pada masa kolonial Belanda. Ketika itu, keberadaan SP/SB sudah mempunyai pengaruh besar, karena mampu mengadakan pemogokan untuk perbaikan nasib. “Pasalnya, sebagian SP/SB, dipengaruhi oleh tokoh-tokoh kiri Belanda,” ungkap Awaloedin Djamin.
Setelah Indonesia merdeka, SP/SB kembali tumbuh. Di pentas perpolitikan nasional yang multipartai saat itu, gerak SP/SB itu mengarah pada political labor union.
Pada 1948, gerak SP/SB cenderung menukik ke arah “kiri”, ditandai oleh dominasi Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah Orde Lama jatuh, pemerintahan Orde Baru melakukan banyak pembenahan, termasuk dalam bidang ketenagakerjaan. Ketika itu, Awaloedin Djamin diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja. Arah pergerakan SP/SB pun dirubah, dari political labor union menjadi federation of trade union, mengacu pada corak SP/SB di DGB (Deutsche Gewerkschafts Bund) di Jerman.
Dengan semangat kebersamaan untuk mengangkat martabat dan kesejahteraan pekerja di Indonesia, maka SP/SB yang ada dipersatukan dalam Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSBSI). “Inilah yang menjadi dasar terbentuknya federasi trade union atau industrial union, yang memungkinkan pelaksanaan hubungan industrial, menurut lapangan pekerjaan dan perusahaan,” papar Awaloedin Djamin.
Sejak saat itu, konsolidasi dan kegiatan tripartite dilakukan secara intens, terutama bipartite dalam perumusan collective labor agreement yang sekarang dikenal dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). “Hak buruh untuk mogok dan unjuk rasa, sudah diakui,” ungkap Awaloedin, “Namun itu merupakan jalan terakhir, jika musyawarah untuk mufakat gagal tercapai.”
Sebagai Menaker, Awaloedin selalu menekankan, agar buruh dan pengusaha sama-sama mendahulukan kepentingan negara, kemajuan perusahaan dan kerukunan kerja. “Pengusaha diminta menjalankan transparansi, dan memperlakukan buruh sebagai mitra, memberi kesejahteraan yang mencukupi, upah yang layak, keselamatan kerja, dan jaminan sosial,” kata Awaloedin.
Keadaan berubah, ketika Menaker dijabat oleh Laksamana Sudomo. Era federation trade unions yang sudah menemukan bentuknya yang baik, diakhiri sejalan dengan digantikan FBSI menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang bersifat monopolistik. Di era reformasi sekarang ini, masalah ketenagakerjaan malah cenderung makin rumit. “Dengan diotomikannya bidang ketenagakerjaan di provinsi dan kabupaten/kota, maka pengawasan pelaksanaan hubungan industrial, jadi masalah besar,” kata Awaloedin, “karena tidak ada lagi Depnaker yang memiliki Kanwil di provinsi dan Kandep di kabupaten/ kota.”
Menurut Awaloedin, karena Indonesia masih merupakan negara berkembang, maka paling tidak ada dua bidang tidak bisa diotonomikan, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan.
Sejarah serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) di tanah air, dimulai pada Abad XX, menyusul berdirinya perusahaan pegadaian, kereta api, dan lainnya pada masa kolonial Belanda. Ketika itu, keberadaan SP/SB sudah mempunyai pengaruh besar, karena mampu mengadakan pemogokan untuk perbaikan nasib. “Pasalnya, sebagian SP/SB, dipengaruhi oleh tokoh-tokoh kiri Belanda,” ungkap Awaloedin Djamin.
Setelah Indonesia merdeka, SP/SB kembali tumbuh. Di pentas perpolitikan nasional yang multipartai saat itu, gerak SP/SB itu mengarah pada political labor union.
Pada 1948, gerak SP/SB cenderung menukik ke arah “kiri”, ditandai oleh dominasi Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Setelah Orde Lama jatuh, pemerintahan Orde Baru melakukan banyak pembenahan, termasuk dalam bidang ketenagakerjaan. Ketika itu, Awaloedin Djamin diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja. Arah pergerakan SP/SB pun dirubah, dari political labor union menjadi federation of trade union, mengacu pada corak SP/SB di DGB (Deutsche Gewerkschafts Bund) di Jerman.
Dengan semangat kebersamaan untuk mengangkat martabat dan kesejahteraan pekerja di Indonesia, maka SP/SB yang ada dipersatukan dalam Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FSBSI). “Inilah yang menjadi dasar terbentuknya federasi trade union atau industrial union, yang memungkinkan pelaksanaan hubungan industrial, menurut lapangan pekerjaan dan perusahaan,” papar Awaloedin Djamin.
Sejak saat itu, konsolidasi dan kegiatan tripartite dilakukan secara intens, terutama bipartite dalam perumusan collective labor agreement yang sekarang dikenal dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). “Hak buruh untuk mogok dan unjuk rasa, sudah diakui,” ungkap Awaloedin, “Namun itu merupakan jalan terakhir, jika musyawarah untuk mufakat gagal tercapai.”
Sebagai Menaker, Awaloedin selalu menekankan, agar buruh dan pengusaha sama-sama mendahulukan kepentingan negara, kemajuan perusahaan dan kerukunan kerja. “Pengusaha diminta menjalankan transparansi, dan memperlakukan buruh sebagai mitra, memberi kesejahteraan yang mencukupi, upah yang layak, keselamatan kerja, dan jaminan sosial,” kata Awaloedin.
Keadaan berubah, ketika Menaker dijabat oleh Laksamana Sudomo. Era federation trade unions yang sudah menemukan bentuknya yang baik, diakhiri sejalan dengan digantikan FBSI menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang bersifat monopolistik. Di era reformasi sekarang ini, masalah ketenagakerjaan malah cenderung makin rumit. “Dengan diotomikannya bidang ketenagakerjaan di provinsi dan kabupaten/kota, maka pengawasan pelaksanaan hubungan industrial, jadi masalah besar,” kata Awaloedin, “karena tidak ada lagi Depnaker yang memiliki Kanwil di provinsi dan Kandep di kabupaten/ kota.”
Menurut Awaloedin, karena Indonesia masih merupakan negara berkembang, maka paling tidak ada dua bidang tidak bisa diotonomikan, yaitu pendidikan dan ketenagakerjaan.
Sumber : FSP BUMN
0
3.2K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan