- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengenal Kampung Pembuat Pusaka ( Golok )


TS
Diks.
Mengenal Kampung Pembuat Pusaka ( Golok )


Quote:
Sebelumnya Bantu






Quote:


Diks.

Quote:
Quote:



Spoiler for No Repost:

Quote:



Quote:
Quote:
Sukabumi, Jawa Barat, selain menawarkan udara sejuk dan keindahan alamnya juga merupakan rumah bagi seniman pandai besi yang andal. Di Cibatu, Sukabumi dapat Anda temukan pengrajin senjata khas tradisional golok pusaka yang bermutu tinggi. Produk golok dari tempat ini telah ternama bukan saja di Nusantara melainkan hingga mancanegara. Bahkan, saat Pendudukan Jepang, daerah Cibatu memiliki reputasi sebagai pembuat samurai berkualitas tinggi.
Golok merupakan alat berkebun sekaligus juga senjata pribadi yang banyak digunakan oleh masyarakat di Nusantara. Benda ini memiliki berat, ukuran, dan bentuk yang beragam di tiap daerah. Ukuran golok lebih besar dari pisau namun lebih pendek dari pedang dengan bilah tebal dan lebar. Selain digunakan sebagai senjata dalam silat, golok digunakan untuk memotong semak dan dahan pohon. Golok lazimnya berat dan pendek, terbuat dari besi baja karbon yang lebih lunak daripada pisau besar umumnya. Golok umumnya diasah secara rutin berkala.
Masyarakat Sunda dan Betawi begitu lekat dengan senjata bernama golok ini. Istilah golok identik dengan senjata khas masyarakat Sunda yang bernama bedog, baik yang berupa pakakas maupun yang berupa senjata. Dalam Bahasa Indonesia, kini bedog disebut sebagai golok atau parang. Golok Sunda umumnya memiliki bentuk gagang (perah) melengkung dengan ujungnya bulat (eluk). Bentuk gagang yang sedikit miring dan melengkung tersebut berfungsi agar golok dapat digenggam dengan kuat dan nyaman. Selain itu, ujung gagang yang bulat juga berfungsi agar jari kelingking terkait, menahan genggaman tangan agar tidak lepas.
Bagi masyarakat Betawi, mereka mengenal dua tipe golok, yaitu pertama, golok kerja (gablongan atau bendo) yang digunakan sehari-hari di dapur dan kedua adalah golok simpenan (sorenam) yang digunakan sewaktu-waktu untuk memotong dan selalu terselip di pinggang. Bagi masyarakat Betawi golok identik dengan ciri sebagai kelaki-lakin. Ada ungkapan, “Bukan laki-laki, jika tidak ada golok, laki-laki yang tidak memiliki golok ibarat banci”. Golok yang terselip di pinggang para Jawara Betawi mulai hilang sejak tahun 1970-an saat pihak berwajib melarang membawa senjata tajam ke luar rumah untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Dahulu Sang Pendekar tak sekadar mengajarkan ilmu golok tetapi juga disertai ketajaman hati yang bersih. Golok hanya digunakan apabila kondisi benar-benar terdesak. Untuk memperoleh golok yang sejiwa dengan si pesilat maka berbagai macam ritual harus dilakukan dengan menyucikan diri. Sang pendekar akan membawa goloknya ke ajengan (guru dan pemuka agama) pada bulan Maulud atau hari-hari tertentu yang dianggap keramat agar goloknya didoakan sehingga membawa berkah dan kebaikan. Setelah golok didoakan, Sang Pendekar disatukan jiwanya dengan golok. Ritual diakhiri dengan pesan ajengan kepada pendekar agar senjata goloknya dipergunakan untuk kebaikan.
Pembuatan golok di Cibatu sudah terkenal sejak lebih dari lima dekade. Golok Cibatu memiliki ciri khas memadukan tampilan khas keindahan, kualitas, dan kekuatan untuk keperluan sehari-hari. Meskipun menggunakan peralatan sederhana tetapi pengrajin di Cibatu sudah menghasilkan ribuan senjata tajam yang tersebar ke sejumlah daerah di Indonesia.
Salah satu dapur pembuatan golok yang paling dicari adalah milik Aas As`ari (Haji Aas). Di tempat tersebut hasil tempaan besinya tidak terbatas kepada golok tradisonal yang lazimnya berukuran 20 - 40 cm tetapi juga berbagai jenis pisau untuk olahraga bela diri. Haji Aas juga melayani pemesanan golok dan senjata termasuk pisau yang digunakan oleh TNI, Polri, serta kolektor pisau-pisau unik dari dalam dan luar negeri. Pelanggan tetap dari bengkel senjata tradisional ini adalah dari Ikatan Pencak Silat Indonesia dan Persatuan Pencak Silat dari Belanda dimana golok digunakan pesilat untuk atraksi seni. Hampir semua perguruan pencak silat di Nusantara mengkombinasikan gerakan silat dengan menggunakan senjata tajam khas daerahnya masing-masing, termasuk golok.
Haji Aas telah mengenal pembuatan golok sejak sangat muda. Hingga kini ia mewariskan nilai-nilai seorang empu ideal pembuat golok. Bagi Haji Aas, seorang empu golok pusaka harus memilki ilmu dan kesucian hati agar karyanya memiliki keampuhan supranatural bagi pemiliknya. Haji Aas teliti memperhatikan model, ukuran, serta bentuk golok yang dibuatnya. Dipilihnya besi mentah yang terbaik dan gagang golok dari tanduk kerbau.
Di tengah serbuah produk luar, golok Cibatu tetap bertahan dengan kualitas, kekuatan, dan keindahannya. Pengrajin golok Cibatu telah meleburkan kebersihan, kesatuan, dan suasana hati mereka sehingga dapat menghasilkan golok dan senjata bermutu sekaligus bernilai seni
Golok merupakan alat berkebun sekaligus juga senjata pribadi yang banyak digunakan oleh masyarakat di Nusantara. Benda ini memiliki berat, ukuran, dan bentuk yang beragam di tiap daerah. Ukuran golok lebih besar dari pisau namun lebih pendek dari pedang dengan bilah tebal dan lebar. Selain digunakan sebagai senjata dalam silat, golok digunakan untuk memotong semak dan dahan pohon. Golok lazimnya berat dan pendek, terbuat dari besi baja karbon yang lebih lunak daripada pisau besar umumnya. Golok umumnya diasah secara rutin berkala.
Masyarakat Sunda dan Betawi begitu lekat dengan senjata bernama golok ini. Istilah golok identik dengan senjata khas masyarakat Sunda yang bernama bedog, baik yang berupa pakakas maupun yang berupa senjata. Dalam Bahasa Indonesia, kini bedog disebut sebagai golok atau parang. Golok Sunda umumnya memiliki bentuk gagang (perah) melengkung dengan ujungnya bulat (eluk). Bentuk gagang yang sedikit miring dan melengkung tersebut berfungsi agar golok dapat digenggam dengan kuat dan nyaman. Selain itu, ujung gagang yang bulat juga berfungsi agar jari kelingking terkait, menahan genggaman tangan agar tidak lepas.
Bagi masyarakat Betawi, mereka mengenal dua tipe golok, yaitu pertama, golok kerja (gablongan atau bendo) yang digunakan sehari-hari di dapur dan kedua adalah golok simpenan (sorenam) yang digunakan sewaktu-waktu untuk memotong dan selalu terselip di pinggang. Bagi masyarakat Betawi golok identik dengan ciri sebagai kelaki-lakin. Ada ungkapan, “Bukan laki-laki, jika tidak ada golok, laki-laki yang tidak memiliki golok ibarat banci”. Golok yang terselip di pinggang para Jawara Betawi mulai hilang sejak tahun 1970-an saat pihak berwajib melarang membawa senjata tajam ke luar rumah untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Dahulu Sang Pendekar tak sekadar mengajarkan ilmu golok tetapi juga disertai ketajaman hati yang bersih. Golok hanya digunakan apabila kondisi benar-benar terdesak. Untuk memperoleh golok yang sejiwa dengan si pesilat maka berbagai macam ritual harus dilakukan dengan menyucikan diri. Sang pendekar akan membawa goloknya ke ajengan (guru dan pemuka agama) pada bulan Maulud atau hari-hari tertentu yang dianggap keramat agar goloknya didoakan sehingga membawa berkah dan kebaikan. Setelah golok didoakan, Sang Pendekar disatukan jiwanya dengan golok. Ritual diakhiri dengan pesan ajengan kepada pendekar agar senjata goloknya dipergunakan untuk kebaikan.
Seperti juga keris, golok adalah benda yang dahulu lazim diberi kekuatan untuk memagari, menghalangi, memperingatkan, serta mengendalikan diri secara halus dan tenang maupun hati-hati. Golok digunakan sebagai penangkal segala sesuatu yang tidak diinginkan oleh si pemilik, seperti penangkal bahaya kebakaran, guna-guna dan angin ribut.
Pembuatan golok di Cibatu sudah terkenal sejak lebih dari lima dekade. Golok Cibatu memiliki ciri khas memadukan tampilan khas keindahan, kualitas, dan kekuatan untuk keperluan sehari-hari. Meskipun menggunakan peralatan sederhana tetapi pengrajin di Cibatu sudah menghasilkan ribuan senjata tajam yang tersebar ke sejumlah daerah di Indonesia.
Salah satu dapur pembuatan golok yang paling dicari adalah milik Aas As`ari (Haji Aas). Di tempat tersebut hasil tempaan besinya tidak terbatas kepada golok tradisonal yang lazimnya berukuran 20 - 40 cm tetapi juga berbagai jenis pisau untuk olahraga bela diri. Haji Aas juga melayani pemesanan golok dan senjata termasuk pisau yang digunakan oleh TNI, Polri, serta kolektor pisau-pisau unik dari dalam dan luar negeri. Pelanggan tetap dari bengkel senjata tradisional ini adalah dari Ikatan Pencak Silat Indonesia dan Persatuan Pencak Silat dari Belanda dimana golok digunakan pesilat untuk atraksi seni. Hampir semua perguruan pencak silat di Nusantara mengkombinasikan gerakan silat dengan menggunakan senjata tajam khas daerahnya masing-masing, termasuk golok.
Haji Aas telah mengenal pembuatan golok sejak sangat muda. Hingga kini ia mewariskan nilai-nilai seorang empu ideal pembuat golok. Bagi Haji Aas, seorang empu golok pusaka harus memilki ilmu dan kesucian hati agar karyanya memiliki keampuhan supranatural bagi pemiliknya. Haji Aas teliti memperhatikan model, ukuran, serta bentuk golok yang dibuatnya. Dipilihnya besi mentah yang terbaik dan gagang golok dari tanduk kerbau.
Spoiler for Pict:

Spoiler for Pict:

Spoiler for Pict:

Spoiler for Pict:
Spoiler for Pict:

Spoiler for Pict:

Spoiler for Pict:

Spoiler for Pict:

Quote:
Pesan TS
Sekian Thread Dari Ane Tentang "Mengenal Kampung Pembuat Pusaka ( Golok )"
Tak Lupa Memberikan


Hargai TS Yang Susah Payah Membuat Thread Ini
Dengan Memberikan





Dan Berikan Komentar Terbaik

Quote:
Sekian Dari Saya 
Please Not Junk In My Thread
:
Dan Berikan Komentar Yang Bermutu
:

Please Not Junk In My Thread

Dan Berikan Komentar Yang Bermutu

Sekian Thread Dari Ane Tentang "Mengenal Kampung Pembuat Pusaka ( Golok )"
Tak Lupa Memberikan





Hargai TS Yang Susah Payah Membuat Thread Ini
Dengan Memberikan





Dan Berikan Komentar Terbaik

Quote:
Diubah oleh Diks. 19-12-2012 01:35
0
17.9K
Kutip
28
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan