- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
{Kumat Lagi si Alay} Kunker DPR Disebut Plesiran, Marzukie Ali Tak Terima
TS
soipon
{Kumat Lagi si Alay} Kunker DPR Disebut Plesiran, Marzukie Ali Tak Terima
Kunker DPR Disebut Plesiran, Marzukie Ali tak Terima
Senin, 17 Desember 2012, 22:38 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri kembali menjadi sorotan publik. Banyak yang menilai studi banding tersebut terkesan seperti plesiran.
Efektifitas dan efisiensi kunker juga dipertanyakan. Tak hanya itu, masyarakat bertanya apakah anggaran yang digunakan sebanding dengan hasil yang didapatkan dari kunker tersebut.
Kunker terkini anggota DPR yang marak dibincangkan adalah lawatan 27 anggota Komisi IV ke Prancis dan Cina untuk membahas RUU Ternak. Kemudian kunjungan anggota Komisi VII yang terbang ke Brasil dan Amerika Serikat untuk membahas RUU Kedirgantaraan.
Ketua DPR, Marzuki Alie mengatakan kunjungan kerja ke luar negeri tidak pantas disebut plesiran. Apalagi jika muncul penilaian tentang anggaran plesiran. "Plesiran itu kalimat yang dipakai LSM yang iri hatinya, tapi ga ada bukti kerjanya buat bangsa. Bisanya ngomong aja," kata Marzuki.
Jika ada penilaian tentang kunker yang tidak efektif dan tidak efisien, menurut dia masih bisa diterima. Tetapi jika disebut sebagai plesiran, sangat tidak tepat.
Karena kunjungan anggota dewan ke luar negeri dilakukan untuk bekerja, agar perumusan UU menjadi lebih baik. Dengan studi banding ke luar negeri, isu-isu dan kemajuan yang dicapai di negara lain bisa diserap untuk dirumuskan dalam kebijakan legislasi.
Source
Senin, 17 Desember 2012
Akuntabilitas Studi Banding DPR Sangat Minim
"Hasil studi banding tak sepadan dengan uang rakyat yang dipergunakan."
Sebagian anggota DPR terkesan sudah menutup mata dan telinga terhadap kritik pedas masyarakat atas studi banding ke luar negeri. Meskipun dikritik, anggota DPR terus melakukan studi banding. Terakhir, anggota Komisi IV melakukan studi banding ke Perancis dalam rangka mencari bahan untuk pembahasan RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 2009. Sebagian lagi studi banding ke China untuk tujuan yang sama.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho, dan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nuralam, mengecam studi banding yang terus dilakukan DPR. Keduanya menilai DPR tidak transparan dan akuntabel, baik mengenai rencana keberangkatan maupun hasil kunjungan.
Hasil konkrit kunjungan DPR ke luar negeri belum kelihatan. Yang terjadi, anggota DPR selalu mencari alasan pembenar, bahkan menyalahkan mahasiswa Indonesia di luar negeri atau pers di Tanah Air yang mengecam studi banding tersebut.
Eryanto menunjuk bukti minimnya transparansi dan akuntabilitas. Dari 143 kali kunjungan sepanjang 2004-2009 hanya ada tiga laporan pertanggungjawaban studi banding. Sejak 2009 hingga sekarang ada 54 kunjungan ke luar negeri, namun baru lima yang ada laporan pertanggungjawaban terbuka. “Laporan itu tentu sangat minim sekali,” kata Eri di sela-sela diskusi di Jakarta, Sabtu (15/12).
Bukan hanya laporan yang minim. Menurut Eri, kualitas laporan pun layak dipertanyakan. Bayangkan, laporan studi banding RUU Holtikultura ke Belanda hanya berisi dua halaman.
Arif mengkritik penggunaan anggaran yang begitu besar untuk studi banding. Biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah uang rakyat dipakai studi banding tetapi hasilnya tidak sepadan. Arif melihat libido kunjungan kerja anggota DPR sulit dibendung karena tak semata ingin melakukan kajian mendalam mengenai RUU yang dibahas. Studi banding dijadikan sarana plesiran, bahkan tak jarang piknik bersama anggota keluarga. Gagasan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri tak ada artinya karena tetap dilanggar.
Senada dengan Eryanto, Arif mengingatkan anggota DPR tentang kewajiban mempertanggungjawabkan secara moral dan politik studi banding yang mereka lakukan. Untuk meminimalisasi libido studi banding, kata Arif, anggaran DPR sebaiknya berbasis kinerja. Sehingga transparansi dan akuntabilitas tak hanya dilihat secara formal, tetapi juga substansial.
Anggota Komisi IV DPR, Rosyid Hidayat, berkilah studi banding ke Perancis dan China sudah mendapat persetujuan dari fraksi masing-masing dan Badan Anggaran. Ia juga menilai studi banding ke Perancis cukup penting karena diperoleh informasi tentang zona berbasis impor ternak. Juga diperoleh informasi tentang penyakit sapi asal Australia dan Brazil.
Ery menegaskan informasi mengenai penyakit sapi di Australia dan Brazil bisa diperoleh dengan cepat di internet. Juga bisa diperoleh langsung dari narasumber di kedua negara melalui telekonperensi. Namun Rosyid mengatakan DPR juga belajar tentang swasembada daging dari Perancis. “Prancis saat ini merupakan produsen daging dan susu terbesar di seluruh Eropa”, kilah politisi Partai Demokrat itu.
Source
Kenyataannya memang benar hasil studi banding DPR ke luar negeri sangatlah sedikit dan jarang ada laporan yang terbuka, sehingga tidak heran masyarakat pun antipati dengan kunker DPR yang tidak sebanding dengan UU yang dihasilkan. Seharusnya Marzuki introspeksi diri, bukannya main tuding sana sini dari dulu.
Senin, 17 Desember 2012, 22:38 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri kembali menjadi sorotan publik. Banyak yang menilai studi banding tersebut terkesan seperti plesiran.
Efektifitas dan efisiensi kunker juga dipertanyakan. Tak hanya itu, masyarakat bertanya apakah anggaran yang digunakan sebanding dengan hasil yang didapatkan dari kunker tersebut.
Kunker terkini anggota DPR yang marak dibincangkan adalah lawatan 27 anggota Komisi IV ke Prancis dan Cina untuk membahas RUU Ternak. Kemudian kunjungan anggota Komisi VII yang terbang ke Brasil dan Amerika Serikat untuk membahas RUU Kedirgantaraan.
Ketua DPR, Marzuki Alie mengatakan kunjungan kerja ke luar negeri tidak pantas disebut plesiran. Apalagi jika muncul penilaian tentang anggaran plesiran. "Plesiran itu kalimat yang dipakai LSM yang iri hatinya, tapi ga ada bukti kerjanya buat bangsa. Bisanya ngomong aja," kata Marzuki.
Jika ada penilaian tentang kunker yang tidak efektif dan tidak efisien, menurut dia masih bisa diterima. Tetapi jika disebut sebagai plesiran, sangat tidak tepat.
Karena kunjungan anggota dewan ke luar negeri dilakukan untuk bekerja, agar perumusan UU menjadi lebih baik. Dengan studi banding ke luar negeri, isu-isu dan kemajuan yang dicapai di negara lain bisa diserap untuk dirumuskan dalam kebijakan legislasi.
Source
Senin, 17 Desember 2012
Akuntabilitas Studi Banding DPR Sangat Minim
"Hasil studi banding tak sepadan dengan uang rakyat yang dipergunakan."
Sebagian anggota DPR terkesan sudah menutup mata dan telinga terhadap kritik pedas masyarakat atas studi banding ke luar negeri. Meskipun dikritik, anggota DPR terus melakukan studi banding. Terakhir, anggota Komisi IV melakukan studi banding ke Perancis dalam rangka mencari bahan untuk pembahasan RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 2009. Sebagian lagi studi banding ke China untuk tujuan yang sama.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho, dan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nuralam, mengecam studi banding yang terus dilakukan DPR. Keduanya menilai DPR tidak transparan dan akuntabel, baik mengenai rencana keberangkatan maupun hasil kunjungan.
Hasil konkrit kunjungan DPR ke luar negeri belum kelihatan. Yang terjadi, anggota DPR selalu mencari alasan pembenar, bahkan menyalahkan mahasiswa Indonesia di luar negeri atau pers di Tanah Air yang mengecam studi banding tersebut.
Eryanto menunjuk bukti minimnya transparansi dan akuntabilitas. Dari 143 kali kunjungan sepanjang 2004-2009 hanya ada tiga laporan pertanggungjawaban studi banding. Sejak 2009 hingga sekarang ada 54 kunjungan ke luar negeri, namun baru lima yang ada laporan pertanggungjawaban terbuka. “Laporan itu tentu sangat minim sekali,” kata Eri di sela-sela diskusi di Jakarta, Sabtu (15/12).
Bukan hanya laporan yang minim. Menurut Eri, kualitas laporan pun layak dipertanyakan. Bayangkan, laporan studi banding RUU Holtikultura ke Belanda hanya berisi dua halaman.
Arif mengkritik penggunaan anggaran yang begitu besar untuk studi banding. Biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah uang rakyat dipakai studi banding tetapi hasilnya tidak sepadan. Arif melihat libido kunjungan kerja anggota DPR sulit dibendung karena tak semata ingin melakukan kajian mendalam mengenai RUU yang dibahas. Studi banding dijadikan sarana plesiran, bahkan tak jarang piknik bersama anggota keluarga. Gagasan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri tak ada artinya karena tetap dilanggar.
Senada dengan Eryanto, Arif mengingatkan anggota DPR tentang kewajiban mempertanggungjawabkan secara moral dan politik studi banding yang mereka lakukan. Untuk meminimalisasi libido studi banding, kata Arif, anggaran DPR sebaiknya berbasis kinerja. Sehingga transparansi dan akuntabilitas tak hanya dilihat secara formal, tetapi juga substansial.
Anggota Komisi IV DPR, Rosyid Hidayat, berkilah studi banding ke Perancis dan China sudah mendapat persetujuan dari fraksi masing-masing dan Badan Anggaran. Ia juga menilai studi banding ke Perancis cukup penting karena diperoleh informasi tentang zona berbasis impor ternak. Juga diperoleh informasi tentang penyakit sapi asal Australia dan Brazil.
Ery menegaskan informasi mengenai penyakit sapi di Australia dan Brazil bisa diperoleh dengan cepat di internet. Juga bisa diperoleh langsung dari narasumber di kedua negara melalui telekonperensi. Namun Rosyid mengatakan DPR juga belajar tentang swasembada daging dari Perancis. “Prancis saat ini merupakan produsen daging dan susu terbesar di seluruh Eropa”, kilah politisi Partai Demokrat itu.
Source
Kenyataannya memang benar hasil studi banding DPR ke luar negeri sangatlah sedikit dan jarang ada laporan yang terbuka, sehingga tidak heran masyarakat pun antipati dengan kunker DPR yang tidak sebanding dengan UU yang dihasilkan. Seharusnya Marzuki introspeksi diri, bukannya main tuding sana sini dari dulu.
0
2K
29
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan