- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Wali Nanggroe? NO!


TS
raflihasan
Wali Nanggroe? NO!
Warga Subulussalam Tolak Qanun WN
* DPRK Mendukung
SUBULUSSALAM – Aksi penolakan terhadap Qanun Wali Nanggroe (WN) berlangsung di Kota Subulussalam, Rabu (12/12) kemarin. Puluhan warga yang tergabung dalam Gerakan Massa Peduli Perdamaian (GMPP) berunjuk rasa untuk memprotes qanun tersebut di depan Gedung DPRK Subulussalam.
Pengunjuk rasa memulai aksinya dari Lapangan Beringin, Jalan Teuku Umar, Kota Subulussalam, pagi hari. Dari Lapangan Beringin mereka berjalan kaki sambil mengusung spanduk berisi protes terhadap Qanun WN. Aksi mereka dikawal oleh polisi yang naik mobil patroli lalu lintas ditambah personel Satuan Polisi Pamong Praja Kota Subulussalam.
Para pengunjuk rasa yang beraksi di Jalan Pertemuan, Kota Subulussalam itu menilai, Qanun WN, demikian pula Rancangan Qanun (Raqan) Bendera dan Lambang Aceh, belum mengakomodir aspirasi seluruh rakyat Aceh.
Kedua “karya legislasi” DPRA itu, menurut orator aksi, Satria Tumangger, mendiskreditkan kaum/suku minoritas di Aceh, sehingga berpotensi memicu konflik baru antarsuku yang ada di Aceh.
Khusus Raqan Lambang dan Bendera Aceh malah dia khawatirkan dapat menimbulkan trauma bagi rakyat Aceh, karena simbol dan bendera yang diadopsi dalam rancangan qanun tersebut justru mudah mengingatkan masyarakat pada era konflik yang mencekam. Soalnya, bendera dan simbol itu merepresentasikan identitas sebuah gerakan yang dulunya merupakan musuh negara.
Ia juga menyatakan, proses penetapan Wali Nanggroe Ke-9 samar-samar. “Entah bagaimana, tiba-tiba saja DPRA telah menetapkan Malik Mahmud sebagai Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Ke-9,” teriak Satria Tumangger. Teriakannya disambut yel-yel oleh para pengunjuk rasa.
Satria mengingatkan bahwa di tengah trauma psikis akibat konflik yang belum hilang, sikap Pemerintah Aceh bersama DPRA mengesahkan Qanun WN dan memperjuangkan Raqan Bendera dan Lambang Aceh, dapat mengundang konflik baru.
Begitupun diakuinya, dalam MoU Helsinki maupun Pasal 96-99 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), ada diamanatkan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe. Oleh karenanya, dalam aksi tersebut, kata Satria, yang dipersoalkan GMPP hanyalah substansi atau isi qanun yang dinilai sarat masalah. “Maka kami rekomendasikan qanun tersebut perlu dikaji ulang,” imbuhnya.
Secara keseluruhan aksi itu berlangsung damai. Saat unjuk rasa berlangsung di halaman gedung, DPRK Subulussalam sendiri sedang menggelar Sidang Pembahasan RAPBK 2013 Kota Subulussalam. Namun, sidang itu tak sampai terganggu.
Ketua DPRK Subulussalam, Pianti Mala, didampingi Wakil Ketua Siti Ansari dan Karlinus, berjanji akan merespons dan menindaklanjuti hal-hal yang diprotes massa kemarin berkenaan dengan Qanun WN serta Raqan Bendera dan Lambang Aceh.
Dalam kesempatan itu, Pianti menyatakan sangat mendukung aksi damai GMPP. “Kami mendukung apa yang dilakukan adik-adik GMPP. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut dan akan kami adakan sidang guna merekomendasi tuntutan GMPP untuk dikirim ke provinsi,” janji Pianti.
Pada bagian lain, Pianti juga menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap “tidak adil” Pemerintah Aceh terhadap daerah yang berada di wilayah pantai barat selatan Aceh, seperti Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Pianti mengaku telah membaca pernyataan Muslim Aiyub, anggota DPR Aceh dari Dapil 7 yang menyatakan porsi APBA 2013 sangat minim untuk Subulussalam. Kondisi tersebutlah yang, antara lain, menurut Pianti memicu kekecewaan masyarakat Subulussalam.
“Saya sendiri kecewa. Ini sangat tidak adil. Inilah salah satu kekurangan Kota Subulussalam yang tidak punya wakil untuk memperjuangkan aspirasi rakyatnya, kecuali Bapak Muslim Aiyub,” ujar Pianti.
Aksi protes dan penolakan terhadap Qanun WN ini sebelumnya dilakukan mahasiswa dan pemuda Gayo Merdeka yang berunjuk rasa di Takengon, Lhokseumawe, dan Banda Aceh. Disusul oleh massa di Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Penolakan terhadap Qanun WN juga disuarakan peserta Forum Komunikasi Himpunan Masyarakat Singkil dan Subulussalam (FK HMSS) se-Indonesia dalam rekomendasi hasil pertemuan mereka di Kota Subulussalam, Sabtu lalu. Dalam forum itu sebelumnya, Gubernur Aceh dalam pidato tertulisnya menegaskan adalah muskil memisahkan Singkil dan Subulussalam dari Provinsi Aceh. (kh)
* DPRK Mendukung
SUBULUSSALAM – Aksi penolakan terhadap Qanun Wali Nanggroe (WN) berlangsung di Kota Subulussalam, Rabu (12/12) kemarin. Puluhan warga yang tergabung dalam Gerakan Massa Peduli Perdamaian (GMPP) berunjuk rasa untuk memprotes qanun tersebut di depan Gedung DPRK Subulussalam.
Pengunjuk rasa memulai aksinya dari Lapangan Beringin, Jalan Teuku Umar, Kota Subulussalam, pagi hari. Dari Lapangan Beringin mereka berjalan kaki sambil mengusung spanduk berisi protes terhadap Qanun WN. Aksi mereka dikawal oleh polisi yang naik mobil patroli lalu lintas ditambah personel Satuan Polisi Pamong Praja Kota Subulussalam.
Para pengunjuk rasa yang beraksi di Jalan Pertemuan, Kota Subulussalam itu menilai, Qanun WN, demikian pula Rancangan Qanun (Raqan) Bendera dan Lambang Aceh, belum mengakomodir aspirasi seluruh rakyat Aceh.
Kedua “karya legislasi” DPRA itu, menurut orator aksi, Satria Tumangger, mendiskreditkan kaum/suku minoritas di Aceh, sehingga berpotensi memicu konflik baru antarsuku yang ada di Aceh.
Khusus Raqan Lambang dan Bendera Aceh malah dia khawatirkan dapat menimbulkan trauma bagi rakyat Aceh, karena simbol dan bendera yang diadopsi dalam rancangan qanun tersebut justru mudah mengingatkan masyarakat pada era konflik yang mencekam. Soalnya, bendera dan simbol itu merepresentasikan identitas sebuah gerakan yang dulunya merupakan musuh negara.
Ia juga menyatakan, proses penetapan Wali Nanggroe Ke-9 samar-samar. “Entah bagaimana, tiba-tiba saja DPRA telah menetapkan Malik Mahmud sebagai Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Ke-9,” teriak Satria Tumangger. Teriakannya disambut yel-yel oleh para pengunjuk rasa.
Satria mengingatkan bahwa di tengah trauma psikis akibat konflik yang belum hilang, sikap Pemerintah Aceh bersama DPRA mengesahkan Qanun WN dan memperjuangkan Raqan Bendera dan Lambang Aceh, dapat mengundang konflik baru.
Begitupun diakuinya, dalam MoU Helsinki maupun Pasal 96-99 Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), ada diamanatkan pembentukan Lembaga Wali Nanggroe. Oleh karenanya, dalam aksi tersebut, kata Satria, yang dipersoalkan GMPP hanyalah substansi atau isi qanun yang dinilai sarat masalah. “Maka kami rekomendasikan qanun tersebut perlu dikaji ulang,” imbuhnya.
Secara keseluruhan aksi itu berlangsung damai. Saat unjuk rasa berlangsung di halaman gedung, DPRK Subulussalam sendiri sedang menggelar Sidang Pembahasan RAPBK 2013 Kota Subulussalam. Namun, sidang itu tak sampai terganggu.
Ketua DPRK Subulussalam, Pianti Mala, didampingi Wakil Ketua Siti Ansari dan Karlinus, berjanji akan merespons dan menindaklanjuti hal-hal yang diprotes massa kemarin berkenaan dengan Qanun WN serta Raqan Bendera dan Lambang Aceh.
Dalam kesempatan itu, Pianti menyatakan sangat mendukung aksi damai GMPP. “Kami mendukung apa yang dilakukan adik-adik GMPP. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut dan akan kami adakan sidang guna merekomendasi tuntutan GMPP untuk dikirim ke provinsi,” janji Pianti.
Pada bagian lain, Pianti juga menyampaikan kekecewaannya terhadap sikap “tidak adil” Pemerintah Aceh terhadap daerah yang berada di wilayah pantai barat selatan Aceh, seperti Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Pianti mengaku telah membaca pernyataan Muslim Aiyub, anggota DPR Aceh dari Dapil 7 yang menyatakan porsi APBA 2013 sangat minim untuk Subulussalam. Kondisi tersebutlah yang, antara lain, menurut Pianti memicu kekecewaan masyarakat Subulussalam.
“Saya sendiri kecewa. Ini sangat tidak adil. Inilah salah satu kekurangan Kota Subulussalam yang tidak punya wakil untuk memperjuangkan aspirasi rakyatnya, kecuali Bapak Muslim Aiyub,” ujar Pianti.
Aksi protes dan penolakan terhadap Qanun WN ini sebelumnya dilakukan mahasiswa dan pemuda Gayo Merdeka yang berunjuk rasa di Takengon, Lhokseumawe, dan Banda Aceh. Disusul oleh massa di Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Penolakan terhadap Qanun WN juga disuarakan peserta Forum Komunikasi Himpunan Masyarakat Singkil dan Subulussalam (FK HMSS) se-Indonesia dalam rekomendasi hasil pertemuan mereka di Kota Subulussalam, Sabtu lalu. Dalam forum itu sebelumnya, Gubernur Aceh dalam pidato tertulisnya menegaskan adalah muskil memisahkan Singkil dan Subulussalam dari Provinsi Aceh. (kh)
0
913
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan