

TS
komehere
Satelit Khusus Militer, Sudah Butuhkah Kita?

Spoiler for warning:
Mod, kalau repost hapus aja

Quote:
Beberapa waktu lalu muncul sebuah topik menarik mengenai alutsista TNI. Adalah Laksma TNI (purn) Eddy Tumengkol, seorang mantan penerbang senior TNI-AL dan mantan Atase Pertahanan RI di AS dan Australia. Ucapan beliau mengenai “TNI lebih butuh satelit daripada tank atau kapal selam”, menghiasi beberapa media cetak dan online. Memang, topik ini seakan tenggelam dengan hadirnya berita-berita pengadaan Alutsista TNI lainnya yang di gembor-gemborkan media seperti hibah F-16 dari AS, MBT Leopard II dari Jerman, UAV dari Israel, Sukhoi Su-30Mk2 dari Rusia, kapal selam Changbogo Class dari Korea Selatan, dan pembelian-pembelian Alutsista lainnya. Tapi topik mengenai kebutuhan satelit ini tentu menarik untuk dibahas. Sudah perlukah Indonesia dalam hal ini TNI memiliki satelit militer sendiri? Satelit militer jenis apa yang cocok untuk kita operasikan? Apakah kita sudah memiliki kemampuan untuk membuatnya sendiri? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita perlu merumuskan pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Teknologi Satelit
Penggunaan Teknologi satelit dalam militer memiliki banyak fungsi. Fungsi komunikasi, fungsi pengintaian, fungsi penyadapan, dan sebagainya. Namun yang paling esensial adalah fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi sendiri dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Komunikasi bentuk suara misalnya, merupakan media yang cukup aman dalam berkomunikasi dibandingkan dengan media lain, misalnya radio. Selain aman, cakupannya pun jelas jauh lebih luas. Fungsi lainnya teknologi komunikasi pada satelit dalam bentuk transfer data, video, dan lain sebagainya. Dengan fungsi ini, seorang jendral dapat melihat apa yang dilihat anak buahnya dalam sebuah operasi militer. Dia bisa mengarahkan, memberi arahan kepada anak buahnya secara realtime. Contoh lainnya misalkan sebuah pesawat tempur dapat berbagi data lawan dengan Alutsista lain, seperti kapal selam, kapal permukaan, pesawat AWACS, pesawat pengintai tanpa awak, maupun dengan pasukan di darat. Dengan berbagi data antar Alutsista tersebut, dapat dengan jelas dipastikan mana kawan dan mana lawan, kemudian posisinya dimana, dan siapa yang akan mengeksekusi lawan dapat terkoordinir dengan baik. Sasaran yang harus dihancurkan dapat dihancurkan dengan efektif dan efisien (tidak overkilled). Kondisi diatas hanya dapat terlaksana jika komunikasi dalam suatu angkatan bersenjata terkoordinir dan terencana dengan baik.Teknologi komunikasi satelit adalah salah satu medianya. Konsep pengoptimalan teknologi satelit semacam ini bukanlah hanya berupa konsep diatas kertas saja, namun sudah mulai diadopsi negara-negara maju. Kita bisa melihat ketika terjadi operasi penyergapan Osama Bin Laden beberapa waktu lalu. Presiden Obama sebagai Panglima tertinggi AB AS dapat melihat secara realtime target apa yang sedang dihadapi oleh pasukannya yaitu dari pasukan elit Navy SEAL DEVGRU atau biasa disebut SEAL Team 6. Sehingga ketika personel dari Navy SEAL mengkonfirmasi bahwa Osama Bin Laden tewas tertembak, maka saat itu juga Presiden Obama mengetahuinya.

Situation room White House ketika penyergapan Osama Bin Laden (foto outontheporch)
Mengingat pentingnya teknologi satelit, terutama dalam komunikasi, maka perlunya kita memandang bahwa kebutuhan teknologi satelit sejajar dengan kebutuhan akan Alutsista yang selam ini seakan di”dewakan” dalam pengembangan angkatan bersenjata.
Kebutuhan TNI
Sampai saat ini, TNI hanya menggunakan teknologi satelit dalam bentuk menyewa transponder milik sipil, yaitu PT Telkom. Frekuensi yang digunakan adalah frekuensi C-Band. Dalam beberapa sumber, disebutkan teknologi C-Band yang digunakan oleh TNI masih belum bersifat “all weather proof”, yang sebenarnya kurang mendukung kebutuhan militer yang membutuhkan komunikasi handal di segala cuaca.

Satelit Telkom 2 (foto idreamofsatellite)
Penggunaan teknologi satelit di TNI juga belum berfungsi maksimal. Terbukti dengan pernyataan Laksma Achmad Taufiqurrahman, Komandan Guspurla Koarmabar. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh jurnas.com, saat ini baru akan diupayakan pembangunan Komando dan Pengendalian (Kodal) yang berbasis teknologi satelit menggantikan teknologi radio yang saat ini digunakan. Beliau juga menyatakan bahwa kondisi Kodal TNI khususnya TNI-AL saat ini masih terbatas dimana belum tersambung ke kapal. Itu artinya sampai saat ini kemampuan Komando dan Pengendalian kita terbilang lemah, sebab untuk antar perangkat dalam satu matra saja kita belum terkoneksi dengan baik. Misalkan saja ada kapal perang asing yang melanggar kedaulatan negara kita, kita tentu sulit berbuat banyak, karena keputusan untuk menembak kapal perang asing tersebut ada di petinggi militer, sedangkan untuk berkoordinasi dengan petinggi militer di ibukota sulit. Contoh di atas baru di tingkat matra laut, belum di matra yang lain, angkatan udara misalnya, bagaimana kita harus menunggu hampir 5-6 jam untuk menerbangkan F-16 ke pulau Bawean untuk mencegat penerbangan F-18 AS. Hal ini tentu riskan. Kita butuh teknologi yang dapat menghubungkan operator dilapangan dengan pengambil keputusan, sehingga suatu kasus dapat dieksekusi dengan cepat dan efisien. Disinilah komunikasi satelit berbicara. Kita memang sudah menggunakan teknologi komuikasi satelit untuk militer, tapi faktanya belum optimal. Kita harus memiliki sistem dimana antar perangkat yang ada dapat terintegrasi dengan baik, kemudian apa yang didapat dari perangkat itu dapat diketahui pengambil keputusan dan operator perangkat-perangkat yang kita miliki dapat mengeksekusinya. Lepas dari itu, kita juga harus memiliki satelit khusus militer sendiri tanpa berhubungan dengan sipil. Sebab faktanya satelit yang digunakan TNI saat ini sendiri, milik PT Telkom, meskipun pemegang saham PT Telkom adalah Pemerintah Indonesia dengan 51,19%, tapi didalamnya terdapat kepemilikan asing sebesar 45,58%. Dengan adanya kepemilikan asing di Telkom, maka kepentingan-kepentingan asing dapat menjadi obstacle bagi kepentingan pertahanan dan keamanan Indonesia dan TNI pada khususnya. Pihak asing yang memiliki saham di telkom dapat menempatkan “telinganya” untuk mendengarkan komunikasi-komunikasi rahasia ditubuh militer Indonesia. Ancaman seperti inilah yang akan terus mengganggu kita jika kita terus menyewa satelit komersial tanpa memilikinya dalam fungsi militer. Oleh karena itu, kepemilikan satelit militer secara mandiri adalah harga yang harus dibayar.
Kepemilikan Satelit untuk Militer Negara-Negara Tetangga
Dalam mengkaji kebutuhan satelit untuk militer ini, kita juga perlu memandang kemampuan tetangga-tetangga Indonesia dalam penggunaan satelit militer. Singapura misalnya, dikabarkan memiliki satelit mata-mata untuk kepentingan intelijen buatan Israel. Harganya pun bukan main mahalnya, 1 miliar dolar. Kita tentu berpikir tidak mungkin singapura mengeluarkan 1 miliar dolar jika mereka tidak memiliki kebutuhan yang besar akan satelit. Kita tidak tahu satelit ini digunakan untuk operasi intelijen yang seperti apa, dimana, dan kapan. Namun rasa-rasanya, sebagai negara yang memandang tetangga-tetangga disekitarnya sebagai salah satu ancaman, kita patut curiga satelit itu diarahkan ke Indonesia. Negara Asean lainnya belum ada yang memiliki satelit seperti yang Singapura miliki, namun melihat perkembangan di Singapura, rasanya hal ini menambah dorongan bagi Indonesia untuk memiliki teknologi satelit, meskipun bukan sebagai fungsi pengintaian seperti Singapura, tetapi dalam komunikasi, agar kita tidak tertinggal dalam kemajuan teknologi satelit militer yang berkembang pesat.
Kriteria Satelit untuk TNI
Dengan memandang kebutuhan TNI, satelit yang dibutuhkan tidaklah harus memiliki transponder sebanyak satelit komersial. Jika Palapa D memiliki 40 Transponder, untuk TNI mungkin hanya sekitar 10 transponder. Kemudian untuk tipe orbitnya, terdapat beberapa pilihan:
1. LEO (Low Earth Orbit) yang memiliki ketinggian sekitar 600Km.
2. MEO (Middle Earth Orbit) yang memiliki ketinggian sekitar 5000Km.
3. Geo (Geostasioner) yang memiliki ketinggian sekitar 36000Km.

Perbandingan orbit GEO,MEO dan LEO (foto ffden-2.phys.uaf.edu)
Teknologi Satelit
Penggunaan Teknologi satelit dalam militer memiliki banyak fungsi. Fungsi komunikasi, fungsi pengintaian, fungsi penyadapan, dan sebagainya. Namun yang paling esensial adalah fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi sendiri dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Komunikasi bentuk suara misalnya, merupakan media yang cukup aman dalam berkomunikasi dibandingkan dengan media lain, misalnya radio. Selain aman, cakupannya pun jelas jauh lebih luas. Fungsi lainnya teknologi komunikasi pada satelit dalam bentuk transfer data, video, dan lain sebagainya. Dengan fungsi ini, seorang jendral dapat melihat apa yang dilihat anak buahnya dalam sebuah operasi militer. Dia bisa mengarahkan, memberi arahan kepada anak buahnya secara realtime. Contoh lainnya misalkan sebuah pesawat tempur dapat berbagi data lawan dengan Alutsista lain, seperti kapal selam, kapal permukaan, pesawat AWACS, pesawat pengintai tanpa awak, maupun dengan pasukan di darat. Dengan berbagi data antar Alutsista tersebut, dapat dengan jelas dipastikan mana kawan dan mana lawan, kemudian posisinya dimana, dan siapa yang akan mengeksekusi lawan dapat terkoordinir dengan baik. Sasaran yang harus dihancurkan dapat dihancurkan dengan efektif dan efisien (tidak overkilled). Kondisi diatas hanya dapat terlaksana jika komunikasi dalam suatu angkatan bersenjata terkoordinir dan terencana dengan baik.Teknologi komunikasi satelit adalah salah satu medianya. Konsep pengoptimalan teknologi satelit semacam ini bukanlah hanya berupa konsep diatas kertas saja, namun sudah mulai diadopsi negara-negara maju. Kita bisa melihat ketika terjadi operasi penyergapan Osama Bin Laden beberapa waktu lalu. Presiden Obama sebagai Panglima tertinggi AB AS dapat melihat secara realtime target apa yang sedang dihadapi oleh pasukannya yaitu dari pasukan elit Navy SEAL DEVGRU atau biasa disebut SEAL Team 6. Sehingga ketika personel dari Navy SEAL mengkonfirmasi bahwa Osama Bin Laden tewas tertembak, maka saat itu juga Presiden Obama mengetahuinya.

Situation room White House ketika penyergapan Osama Bin Laden (foto outontheporch)
Mengingat pentingnya teknologi satelit, terutama dalam komunikasi, maka perlunya kita memandang bahwa kebutuhan teknologi satelit sejajar dengan kebutuhan akan Alutsista yang selam ini seakan di”dewakan” dalam pengembangan angkatan bersenjata.
Kebutuhan TNI
Sampai saat ini, TNI hanya menggunakan teknologi satelit dalam bentuk menyewa transponder milik sipil, yaitu PT Telkom. Frekuensi yang digunakan adalah frekuensi C-Band. Dalam beberapa sumber, disebutkan teknologi C-Band yang digunakan oleh TNI masih belum bersifat “all weather proof”, yang sebenarnya kurang mendukung kebutuhan militer yang membutuhkan komunikasi handal di segala cuaca.

Satelit Telkom 2 (foto idreamofsatellite)
Penggunaan teknologi satelit di TNI juga belum berfungsi maksimal. Terbukti dengan pernyataan Laksma Achmad Taufiqurrahman, Komandan Guspurla Koarmabar. Dalam pernyataannya yang dikutip oleh jurnas.com, saat ini baru akan diupayakan pembangunan Komando dan Pengendalian (Kodal) yang berbasis teknologi satelit menggantikan teknologi radio yang saat ini digunakan. Beliau juga menyatakan bahwa kondisi Kodal TNI khususnya TNI-AL saat ini masih terbatas dimana belum tersambung ke kapal. Itu artinya sampai saat ini kemampuan Komando dan Pengendalian kita terbilang lemah, sebab untuk antar perangkat dalam satu matra saja kita belum terkoneksi dengan baik. Misalkan saja ada kapal perang asing yang melanggar kedaulatan negara kita, kita tentu sulit berbuat banyak, karena keputusan untuk menembak kapal perang asing tersebut ada di petinggi militer, sedangkan untuk berkoordinasi dengan petinggi militer di ibukota sulit. Contoh di atas baru di tingkat matra laut, belum di matra yang lain, angkatan udara misalnya, bagaimana kita harus menunggu hampir 5-6 jam untuk menerbangkan F-16 ke pulau Bawean untuk mencegat penerbangan F-18 AS. Hal ini tentu riskan. Kita butuh teknologi yang dapat menghubungkan operator dilapangan dengan pengambil keputusan, sehingga suatu kasus dapat dieksekusi dengan cepat dan efisien. Disinilah komunikasi satelit berbicara. Kita memang sudah menggunakan teknologi komuikasi satelit untuk militer, tapi faktanya belum optimal. Kita harus memiliki sistem dimana antar perangkat yang ada dapat terintegrasi dengan baik, kemudian apa yang didapat dari perangkat itu dapat diketahui pengambil keputusan dan operator perangkat-perangkat yang kita miliki dapat mengeksekusinya. Lepas dari itu, kita juga harus memiliki satelit khusus militer sendiri tanpa berhubungan dengan sipil. Sebab faktanya satelit yang digunakan TNI saat ini sendiri, milik PT Telkom, meskipun pemegang saham PT Telkom adalah Pemerintah Indonesia dengan 51,19%, tapi didalamnya terdapat kepemilikan asing sebesar 45,58%. Dengan adanya kepemilikan asing di Telkom, maka kepentingan-kepentingan asing dapat menjadi obstacle bagi kepentingan pertahanan dan keamanan Indonesia dan TNI pada khususnya. Pihak asing yang memiliki saham di telkom dapat menempatkan “telinganya” untuk mendengarkan komunikasi-komunikasi rahasia ditubuh militer Indonesia. Ancaman seperti inilah yang akan terus mengganggu kita jika kita terus menyewa satelit komersial tanpa memilikinya dalam fungsi militer. Oleh karena itu, kepemilikan satelit militer secara mandiri adalah harga yang harus dibayar.
Kepemilikan Satelit untuk Militer Negara-Negara Tetangga
Dalam mengkaji kebutuhan satelit untuk militer ini, kita juga perlu memandang kemampuan tetangga-tetangga Indonesia dalam penggunaan satelit militer. Singapura misalnya, dikabarkan memiliki satelit mata-mata untuk kepentingan intelijen buatan Israel. Harganya pun bukan main mahalnya, 1 miliar dolar. Kita tentu berpikir tidak mungkin singapura mengeluarkan 1 miliar dolar jika mereka tidak memiliki kebutuhan yang besar akan satelit. Kita tidak tahu satelit ini digunakan untuk operasi intelijen yang seperti apa, dimana, dan kapan. Namun rasa-rasanya, sebagai negara yang memandang tetangga-tetangga disekitarnya sebagai salah satu ancaman, kita patut curiga satelit itu diarahkan ke Indonesia. Negara Asean lainnya belum ada yang memiliki satelit seperti yang Singapura miliki, namun melihat perkembangan di Singapura, rasanya hal ini menambah dorongan bagi Indonesia untuk memiliki teknologi satelit, meskipun bukan sebagai fungsi pengintaian seperti Singapura, tetapi dalam komunikasi, agar kita tidak tertinggal dalam kemajuan teknologi satelit militer yang berkembang pesat.
Kriteria Satelit untuk TNI
Dengan memandang kebutuhan TNI, satelit yang dibutuhkan tidaklah harus memiliki transponder sebanyak satelit komersial. Jika Palapa D memiliki 40 Transponder, untuk TNI mungkin hanya sekitar 10 transponder. Kemudian untuk tipe orbitnya, terdapat beberapa pilihan:
1. LEO (Low Earth Orbit) yang memiliki ketinggian sekitar 600Km.
2. MEO (Middle Earth Orbit) yang memiliki ketinggian sekitar 5000Km.
3. Geo (Geostasioner) yang memiliki ketinggian sekitar 36000Km.

Perbandingan orbit GEO,MEO dan LEO (foto ffden-2.phys.uaf.edu)
Lanjutan ada di post 2
0
12.3K
Kutip
74
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan