- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Indonesia-Malaysia Tidak Mungkin Perang!


TS
b4mz.
Indonesia-Malaysia Tidak Mungkin Perang!
Permisi agan2 dan agan wati
ane cm mau berbagi informasi
Ilustrasi
Oleh: Shohib Masykur*
Belum lama wacana integrasi Indonesia-Malaysia yang disampaikan sejarawan Asvi Warman Adam mengemuka, hubungan kedua negara serumpun ini kembali memanas. Persoalan utamanya adalah penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia oleh Polisi Diraja Malaysia lantaran ketiga petugas itu menangkap tujuh nelayan Malaysia yang dituding melanggar garis batas kedua negara. Persoalan itu diperpanas dengan mengemukanya kasus vonis mati bagi para WNI yang terbukti melakukan pelanggaran berat di Malaysia.
Saya tak ingin terjebak pada pembahasan tentang polemik seputar tukar-menukar tawanan (sebagian kalangan menyebutnya barter) yang menjadi topik pembicaraan ramai di media massa. Menurut saya bukan itu isu pokoknya. Saya ingin lebih menyoroti tentang bagaimana memadang isu ini dari kaca mata yang, dalam pandangan saya, lebih strategis. Hal yang ingin saya soroti adalah apa yang barangkali bisa disebut sebagai militerisasi hubungan Indonesia-Malaysia.
Begitu insiden penangkapan petugas KKP Indonesia oleh Polisi Diraja Malaysia terjadi dan diketahui publik, reaksi yang dominan di kalangan masyarakat kita adalah bahwa negara kita sudah diinjak-injak oleh Malaysia. Publik pun dibuat geram dengan kesan arogan Malaysia yang dinilai selalu memandang rendah Indonesia. Beberapa pihak bahkan sudah menyuarakan wacana perang. Media membuat situasi semakin panas dengan menampilkan perbandingan kekuatan militer kedua negara.
Saya bisa memahami perasaan yang tumbuh di masyarakat semacam ini. Berbagai isu yang kerap mewarnai hubungan Indonesia-Malaysia memang seringkali menempatkan Indonesia dalam posisi inferior, terutama ketika menyangkut tenaga kerja Indonesia (TKI). Reaksi publik yang berlebihan pun, saya kira, punya alasan historis dan pragmatis. Namun demikian, reaksi yang keterlaluan (misalnya perusakan kantor Kedubes Malaysia di Jakarta) hanya akan memperpuruk keadaan dan menambah runyam persoalan. Buktinya, pihak Malaysia memberikan reaksi yang tak kalah keras menanggapi perusakan tersebut. Suasana dingin yang diperlukan untuk diplomasi pun menjadi semakin jauh dan sulit diciptakan.
Kita masih belum tahu akan berujung bagaimana isu ini. Namun satu hal yang saya yakin: sampai seberapa panas pun masalah ini, Indonesia dan Malaysia tidak akan terlibat perang. Ada beberapa alasan mengapa saya demikian yakin dengan kesimpulan itu.
Pertama, faktor arsitektur regional. Sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia dan Malaysia sama-sama memegang teguh prinsip-prinsip yang ada dalam Treaty of Amitiy and Cooperation (TAC). Traktat ini mengatur bahwa sengketa apapun yang terjadi antarsesama anggota ASEAN harus diselesaikan dengan cara damai. Cara damai yang dimaksud bisa berarti dua, hukum dan politik. Contoh jalur hukum telah kita saksikan bersama beberapa tahun lalu dalam kasus Sipadan dan Ligitan. Untuk kasus sekarang, pilihan yang paling mungkin saya kira adalah jalur politik dengan negosiasi.
Selain itu, Indonesia dan Malaysia sama-sama pendiri dan sesepuh ASEAN. Kedua negara tentu akan menjadi contoh bagi negara-negara lain yang tergolong junior di ASEAN. Karena itu kedua negara pasti akan memperlihatkan perilaku yang ‘tahu aturan’ seperti layaknya seorang senior yang baik. Ditambah lagi, saat ini ASEAN tengah gencar-gencarnya mempromosikan ASEAN Community dalam rangka menuju intergrasi kawasan yang bersifat menyeluruh, mulai dari aspek politik, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam konteks ini, perang hanya akan menjadi hambatan yang tidak perlu, dan kedua negara pasti memilih menghindarinya.
Kedua, kesalingtergantungan ekonomi antarkedua negara sangat tinggi. Bagi Indonesia, Malaysia adalah penyedia lapangan kerja bagi para TKI. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, saat ini ada lebih dari 2 juta orang Indonesia yang tinggal di Malaysia (meski tidak semuanya menjadi TKI). Ditengah kekurangmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja domestik, pengiriman TKI merupakan salah satu jalan keluar yang terlalu sayang jika sampai terganggu gara-gara masalah ini. Sementara Indonesia bagi Malaysia adalah pemasok TKI sekaligus tempat investasi yang menjanjikan. Tanpa pasokan tenaga kerja dari Indonesia, perekonomian Malaysia bisa terganggu. Pemerintah Malaysia pasti tidak ingin mengambil risiko itu. Dari sisi investasi, banyak perusahaan utama Malaysia yang berinvestasi di Indonesia. Sebut saja misalnya Petronas, CIMB Niaga, Air Asia, dan lain-lain. Maka, asumsi teori liberal saya kira berlaku di sini. Kepentingan ekonomi kedua negara mencegah mereka berperang satu sama lain.
Ketiga, kalkulasi rasional kedua negara. Perang tidak ada untungnya bagi kedua negara. Hal yang dipertaruhkan terlalu kecil untuk menjadi alasan melancarkan perang. Soal pelanggaran kedaulatan dan harga diri bangsa masih bisa diperdebatkan mengingat garis batas kedua negara yang belum clear. Pada saat yang sama, risiko perang terlalu besar. Hubungan kedua negara yang telah dijalin lama, kerusakan infrastruktur, kondisi perekonomian, dan citra di dunia internasional (regional dan global) merupakan sedikit dari sekian banyak risiko yang harus dipertimbangkan kedua negara. Negara sekelas Amerika Serikat saja memerlukan sekian juta barel minyak plus legitimasi perang melawan terorisme untuk melancarkan perang terhadap Irak.
Selain itu, jika ingin dilancarkan perang, tidak ada target, sasaran, dan tujuan yang jelas yang ingin dicapai. Insiden itu telah terjadi. Kedua belah pihak sudah sama-sama membebaskan tawanan. Tidak ada teritori yang secara nyata ingin dipertahankan dari ancaman agresi dan pendudukan. Lantas mau perang untuk apa? Apa target yang ingin dicapai dari perang? Apa sasaran yang harus dihantam? Apa tujuannya menghantam sasaran itu? Tidak jelas.
Keempat, faktor personal pemimpin. Di Indonesia, Presiden SBY adalah orang yang sangat menghindari konflik. Dalam berbagai pidatonya dia menyatakan bahwa Indonesia tidak bermusuhan dengan negara manapun. Bagi Indonesia, semua negara adalah sahabat. Karena itu, konflik apapun yang terjadi antara Indonesia dengan negara manapun akan diselesaikan lewat jalur damai. Sementara Perdana Menteri Malaysia, Muhammad Najib Tun Abdul Razak, adalah orang yang memiliki keterikatan emosional dengan Indonesia. Dia merupakan keturunan ke-19 dari Raja Gowa di Sulawesi Selatan. Perang melawan Indonesia bagi Najib ibarat perang melawan leluhur sendiri.
Kelima, strategi pertahanan. Dalam dokumen Buku Putih Pertahanan yang dikeluarkan Dephan tahun 2008 disebutkan bahwa sistem pertahanan Indonesia adalah Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) dengan strategi pertahanan berlapis yang menempatkan diplomasi sebagai garda terdepan. Perang merupakan solusi terakhir ketika semua lapis pertahanan sudah tidak mempan. Artinya, selama jalur-jalur diplomatik masih berfungsi, perang tidak akan dilakukan. Dan kita lihat fakta di lapangan sekarang bahwa mesin diplomasi kedua negara tengah berupaya keras untuk menyelesaikan masalah ini lewat jalur diplomasi.
Ditinjau dari beberapa hal di atas, saya yakin Indonesia dan Malaysia tidak akan berperang. Benarkah asumsi saya ini? Kita tunggu saja.
* Penulis adalah calon diplomat muda Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi.



ane cm mau berbagi informasi
Ilustrasi
Spoiler for :

Quote:
Oleh: Shohib Masykur*
Belum lama wacana integrasi Indonesia-Malaysia yang disampaikan sejarawan Asvi Warman Adam mengemuka, hubungan kedua negara serumpun ini kembali memanas. Persoalan utamanya adalah penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia oleh Polisi Diraja Malaysia lantaran ketiga petugas itu menangkap tujuh nelayan Malaysia yang dituding melanggar garis batas kedua negara. Persoalan itu diperpanas dengan mengemukanya kasus vonis mati bagi para WNI yang terbukti melakukan pelanggaran berat di Malaysia.
Saya tak ingin terjebak pada pembahasan tentang polemik seputar tukar-menukar tawanan (sebagian kalangan menyebutnya barter) yang menjadi topik pembicaraan ramai di media massa. Menurut saya bukan itu isu pokoknya. Saya ingin lebih menyoroti tentang bagaimana memadang isu ini dari kaca mata yang, dalam pandangan saya, lebih strategis. Hal yang ingin saya soroti adalah apa yang barangkali bisa disebut sebagai militerisasi hubungan Indonesia-Malaysia.
Begitu insiden penangkapan petugas KKP Indonesia oleh Polisi Diraja Malaysia terjadi dan diketahui publik, reaksi yang dominan di kalangan masyarakat kita adalah bahwa negara kita sudah diinjak-injak oleh Malaysia. Publik pun dibuat geram dengan kesan arogan Malaysia yang dinilai selalu memandang rendah Indonesia. Beberapa pihak bahkan sudah menyuarakan wacana perang. Media membuat situasi semakin panas dengan menampilkan perbandingan kekuatan militer kedua negara.
Saya bisa memahami perasaan yang tumbuh di masyarakat semacam ini. Berbagai isu yang kerap mewarnai hubungan Indonesia-Malaysia memang seringkali menempatkan Indonesia dalam posisi inferior, terutama ketika menyangkut tenaga kerja Indonesia (TKI). Reaksi publik yang berlebihan pun, saya kira, punya alasan historis dan pragmatis. Namun demikian, reaksi yang keterlaluan (misalnya perusakan kantor Kedubes Malaysia di Jakarta) hanya akan memperpuruk keadaan dan menambah runyam persoalan. Buktinya, pihak Malaysia memberikan reaksi yang tak kalah keras menanggapi perusakan tersebut. Suasana dingin yang diperlukan untuk diplomasi pun menjadi semakin jauh dan sulit diciptakan.
Kita masih belum tahu akan berujung bagaimana isu ini. Namun satu hal yang saya yakin: sampai seberapa panas pun masalah ini, Indonesia dan Malaysia tidak akan terlibat perang. Ada beberapa alasan mengapa saya demikian yakin dengan kesimpulan itu.
Pertama, faktor arsitektur regional. Sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia dan Malaysia sama-sama memegang teguh prinsip-prinsip yang ada dalam Treaty of Amitiy and Cooperation (TAC). Traktat ini mengatur bahwa sengketa apapun yang terjadi antarsesama anggota ASEAN harus diselesaikan dengan cara damai. Cara damai yang dimaksud bisa berarti dua, hukum dan politik. Contoh jalur hukum telah kita saksikan bersama beberapa tahun lalu dalam kasus Sipadan dan Ligitan. Untuk kasus sekarang, pilihan yang paling mungkin saya kira adalah jalur politik dengan negosiasi.
Selain itu, Indonesia dan Malaysia sama-sama pendiri dan sesepuh ASEAN. Kedua negara tentu akan menjadi contoh bagi negara-negara lain yang tergolong junior di ASEAN. Karena itu kedua negara pasti akan memperlihatkan perilaku yang ‘tahu aturan’ seperti layaknya seorang senior yang baik. Ditambah lagi, saat ini ASEAN tengah gencar-gencarnya mempromosikan ASEAN Community dalam rangka menuju intergrasi kawasan yang bersifat menyeluruh, mulai dari aspek politik, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam konteks ini, perang hanya akan menjadi hambatan yang tidak perlu, dan kedua negara pasti memilih menghindarinya.
Kedua, kesalingtergantungan ekonomi antarkedua negara sangat tinggi. Bagi Indonesia, Malaysia adalah penyedia lapangan kerja bagi para TKI. Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, saat ini ada lebih dari 2 juta orang Indonesia yang tinggal di Malaysia (meski tidak semuanya menjadi TKI). Ditengah kekurangmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja domestik, pengiriman TKI merupakan salah satu jalan keluar yang terlalu sayang jika sampai terganggu gara-gara masalah ini. Sementara Indonesia bagi Malaysia adalah pemasok TKI sekaligus tempat investasi yang menjanjikan. Tanpa pasokan tenaga kerja dari Indonesia, perekonomian Malaysia bisa terganggu. Pemerintah Malaysia pasti tidak ingin mengambil risiko itu. Dari sisi investasi, banyak perusahaan utama Malaysia yang berinvestasi di Indonesia. Sebut saja misalnya Petronas, CIMB Niaga, Air Asia, dan lain-lain. Maka, asumsi teori liberal saya kira berlaku di sini. Kepentingan ekonomi kedua negara mencegah mereka berperang satu sama lain.
Ketiga, kalkulasi rasional kedua negara. Perang tidak ada untungnya bagi kedua negara. Hal yang dipertaruhkan terlalu kecil untuk menjadi alasan melancarkan perang. Soal pelanggaran kedaulatan dan harga diri bangsa masih bisa diperdebatkan mengingat garis batas kedua negara yang belum clear. Pada saat yang sama, risiko perang terlalu besar. Hubungan kedua negara yang telah dijalin lama, kerusakan infrastruktur, kondisi perekonomian, dan citra di dunia internasional (regional dan global) merupakan sedikit dari sekian banyak risiko yang harus dipertimbangkan kedua negara. Negara sekelas Amerika Serikat saja memerlukan sekian juta barel minyak plus legitimasi perang melawan terorisme untuk melancarkan perang terhadap Irak.
Selain itu, jika ingin dilancarkan perang, tidak ada target, sasaran, dan tujuan yang jelas yang ingin dicapai. Insiden itu telah terjadi. Kedua belah pihak sudah sama-sama membebaskan tawanan. Tidak ada teritori yang secara nyata ingin dipertahankan dari ancaman agresi dan pendudukan. Lantas mau perang untuk apa? Apa target yang ingin dicapai dari perang? Apa sasaran yang harus dihantam? Apa tujuannya menghantam sasaran itu? Tidak jelas.
Keempat, faktor personal pemimpin. Di Indonesia, Presiden SBY adalah orang yang sangat menghindari konflik. Dalam berbagai pidatonya dia menyatakan bahwa Indonesia tidak bermusuhan dengan negara manapun. Bagi Indonesia, semua negara adalah sahabat. Karena itu, konflik apapun yang terjadi antara Indonesia dengan negara manapun akan diselesaikan lewat jalur damai. Sementara Perdana Menteri Malaysia, Muhammad Najib Tun Abdul Razak, adalah orang yang memiliki keterikatan emosional dengan Indonesia. Dia merupakan keturunan ke-19 dari Raja Gowa di Sulawesi Selatan. Perang melawan Indonesia bagi Najib ibarat perang melawan leluhur sendiri.
Kelima, strategi pertahanan. Dalam dokumen Buku Putih Pertahanan yang dikeluarkan Dephan tahun 2008 disebutkan bahwa sistem pertahanan Indonesia adalah Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) dengan strategi pertahanan berlapis yang menempatkan diplomasi sebagai garda terdepan. Perang merupakan solusi terakhir ketika semua lapis pertahanan sudah tidak mempan. Artinya, selama jalur-jalur diplomatik masih berfungsi, perang tidak akan dilakukan. Dan kita lihat fakta di lapangan sekarang bahwa mesin diplomasi kedua negara tengah berupaya keras untuk menyelesaikan masalah ini lewat jalur diplomasi.
Ditinjau dari beberapa hal di atas, saya yakin Indonesia dan Malaysia tidak akan berperang. Benarkah asumsi saya ini? Kita tunggu saja.
* Penulis adalah calon diplomat muda Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi.
Spoiler for sumber:
http://thepenguinus.blogdetik..com



Diubah oleh b4mz. 12-12-2012 09:52
0
2.7K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan