Kaskus

News

shino3stuffAvatar border
TS
shino3stuff
soal upeti BUMN
kutipan Mochamad Thoha :

DPR kembali menjadi perhatian publik. Sejumlah oknum DPR seperti diungkap Menteri BUMN Dahlan Iskan meminta upeti terhadap perusahaan BUMN. Di sisi lain pelbagai opini juga kian mengemuka agar Dahlan Iskan tidak hanya sekedar menyampaikan pengakuannya ke publik, namun harus membuka siapa peminta upeti atau tukang peras dimaksud. Yang jelas, pengakuan Dahlam Iskan telah mengusik sejumlah politisi di Senayan bahkan mereka yang inisialnya akan terungkap mulai kebakaran jenggot.

Kasus ini semakin menambah sederetan persoalan institusi legislatif. Orang semakin pesimistis karena ulahnya yang kerapkali terjerembab pada pelbagai tindakan yang paradoks. Padahal, DPR seharusnya mau belajar dari kesalahan masa lalu agar institusi legislatif tidak divonis sebagai institusi yang "buruk rupa."

Namun, terlepas dari semua kasus yang ada, pelbagai persoalan yang mendera sejumlah elite politik Senayan kian meyakinkan publik dan menunjukkan potret buram institusi legislatif. Ironis memang, karena DPR tidak lagi sebagai representasi rakyat sebaliknya DPR menjadi tempat bagi "tukang peras".

Filosof Immanuel Kant mengibaratkan politisi itu tak ubahnya ular yang memangsa rakyat karena dalam diri seorang politisi itu terdapat dua binatang yang merupakan simbol dari dua sifat yang berbeda. Di dada sebelah kanannya terdapat merpati, simbol ketulusan (dalam berpolitik, mengingat politik itu mulia). Tetapi, di dada kiri seorang politisi, terdapat ular yang merupakan simbol kelicikan.

Dalam konteks ini, pengibaratan Kant sangat jelas, bahwa politisi kita tak ubahnya ular yang selalu memangsa rakyatnya sendiri. Seperti melalui mark up proyek dan pengaturan ilegal dalam anggaran. Apalagi anggota DPR di Senayan adalah komplotan elite politik yang berprilaku predatorik yang melingkar dalam lingkaran "kleptokrasi" yang memangsa rakyat.

Thomas Hobbes (1588-1679), menjelaskan bahaya kemunafikan dalam kehidupan politik. Dunia politik dan politikus, yang seharusnya dipercaya, menjadi begitu buruk manakala "topeng" politik digunakan untuk hal yang menjadikan politik tidak berfungsi (David Runciman, Political Hypocrisy).

Terkait korupsi atau kongkalingkong oknum DPR dan BUMN, Sekretaris Ka-binet Dipo Alam menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-542/Seskab/IX/2012 perihal Pengawasan APBN 2013-2014 dengan Mencegah Praktik Kongkalikong. Penegasan dalam surat tersebut adalah dihentikannya praktik persekongkolan dalam pembahasan dan pengelolaan uang Negara. Namun, selang beberapa hari kemudian publik kembali dikejutkan atas pengakuan Menteri BUMN tersebut.

Namun, sangat disayangkan kalau sekedar menyangka, bahwa oknum si tukang peras ini hanya ada di DPR. Sebab, pembahasan anggaran dilakukan oleh dua pihak, yaitu DPR dan ekskutif alias pemerintah. Artinya, DPR dan pemerintah setali tiga uang alias melakukan persekongkolan yang sistemik.

Kalau demikian rasanya ini tidak adil kalau DPR yang menjadi corong korupsi. Tetapi, pemerintah pun sebagai sumber malapetaka korupsi, karena praktik korupsi itu telah terlembaga melalui organ-organ negara dan berkait kelindan. Artinya, praktik korupsi itu terjadi karena ada sinergi politik antara kepentingan elite politik dan pemerintah untuk tujuan "kejar setoran alias balik modal".

Terlepas dari itu, pemerasan tidak mungkin terjadi tanpa ada kepentingaan politik dari pelbagai pihak. Setidaknya ada personifikasi kepentingan elitis yang tak bersenyawa dengan rakyat, yaitu kepentingan partai politik yang paling dominan melalui kader partai yang duduk di legislatif. Artinya, kader partai selain sebagai simbol representasi rakyat juga sebagai corong atau jembatan politik bagi partainya.

Selain itu juga tidak produktifnya fungsi legislasi DPR karena telah terjadi penyimpangan. Realitasnya, pada tahun 2012 ini anggaran untuk pembahasan sebuah undang-undang mencapai Rp 4,6 miliar jika RUU berasal dari pemerintah dan Rp 6,8 miliar jika RUU inisiatif DPR. Kalau diperkirakan DPR dan pemerintah sama-sama mempunyai anggaran atau bujet untuk sebuah RUU tidak kurang dari Rp 20 miliar. Disinilah pintu masuk korupsi politik.

Artinya, pemberian upeti untuk DPR itu digunakan untuk memuluskan pembahasan sebuah RUU. Uang tersebut nantinya akan digunakan oleh anggota DPR untuk menutup biaya akomodasi, transfortasi, dan honor (Tempo, 1/10/2012). Namun, ironisnya tak jarang produk legislasi yang dihasilkan DPR tak selalu dianulir oleh MK akibat kontroversi dan lemahnya logika hukum yang dibuat DPR.

Skeptisme publik makin membuncah pascamencuatnya kasus upeti untuk DPR ini. DPR telah gagal merepresentasikan kepentingan dan aspirasi rakayat. Alih-alih DPR akan memperjuangkan kepentingan rakyat, namun fakta berbalik. Oleh karenanya, ke depan diharapkan ada solusi yang progresif untuk perbaikan institusi ini.

Setidaknya ada dua hal. Pertama, pentingnya sinergitas antarpemerintah dan DPR. Dalam konteks ini, Menteri BUMN paling tidak harus menyampaikan secara terbuka kepada publik siapa saja anggota DPR atau tukang peras yang minta upeti terhadap jajaran direksi Kementerian BUMN. Paling tidak ini akan menjadi salah satu solusi dalam memberantas korupsi di satu sisi, di samping akan menjadi pertimbangan bagi masyarakat kedepan untuk lebih selektif dalam memilih wakilnya di DPR. Kedua, partai politik semestinya mengevaluasi lagi terkait dengan kader partai yang tersangkut dalam kasus jika terindikasi melakukan pemerasan atau minta upeti, karena partai politik sebagai salah satu pilar utama demokrasi semestinya harus sejalan dengan substansi demokrasi itu, yaitu memprioritaskan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi maupun partainya. ***

* Mahasiswa dan Peneliti FISIP
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
0
866
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan