- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
ADAKAH JOKO SUSILO BACA "PAMAN DOBLANG" DIRUTAN GUNTUR
TS
bobikaskuser
ADAKAH JOKO SUSILO BACA "PAMAN DOBLANG" DIRUTAN GUNTUR
syair: WS RENDRA, Penyanyi: IWAN FALS
Paman Doblang paman DoblangMereka masukkan kamu kedalam sel yang gelapTanpa lampu tanpa lubang cahayaOh pengap
Ada hawa tak ada angkasa ( terkucil )Temanmu beratus ratus nyamuk semata ( terkunci )Tak tahu kapan pintu akan terbukaKamu tak tahu dimana berada
Paman Doblang paman DoblangApa katamu?
( ...Ketika haus aku minum air dari kaleng karatanSambil bersila aku mengarungi waktuLepas dari jam, hari dan bulan Aku dipeluk oleh wibawa... )
Tidak berbentuk, tidak berupa, tidak bernamaAku istirahat disiniTenaga gaib memupuk jiwaku
Paman Doblang paman DoblangDi setiap jalan menghadang mastodon dan srigalaKamu terkurung dalam lingkaranPara pangeran meludahi kamu dari kereta kencana
Kaki kamu dirantai kebatang karangKamu dikutuk dan disalahkan tanpa pengadilanPaman Doblang paman DoblangBubur di piring timah didorong dengan kaki kedepanmu
Paman Doblang paman Doblang Apa katamu?
Kesadaran adalah matahariAdalah matahari adalah matahari
Kesabaran adalah bumiAdalah bumi adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawalaMenjadi cakrawala menjadi cakrawala
Dan perjuanganAdalah pelaksanaan kata kataAdalah pelaksanaan kata kata
Kesadaran adalah matahariAdalah matahari adalah matahari
Paman Doblang paman DoblangApa katamu?
Itulah bait-bait puisi WS Rendra berjudul ”Paman Doblang”. Kita tak pernah tahu, apakah mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo pernah membaca puisi karya Rendra itu. Pengalaman ditahan di Rumah Tahanan Polisi Daerah Militer Komando Daerah Militer Jakarta Raya di Guntur, Jakarta, menginspirasi Rendra menulis ”Paman Doblang”. Ya, Rendra pernah dijebloskan penguasa Orde Baru ke penjara Guntur, tempat Djoko kini ditahan.
Namun, apa yang dilakukan Rendra sehingga membuatnya ditahan di Guntur sangat jauh berbeda dengan yang diperbuat Djoko sehingga dia dijebloskan juga ke Guntur. Rendra membela mahasiswa yang menentang otoritarianisme Soeharto di tahun 1970-an.
Sebaliknya, Djoko ditahan di Guntur karena menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas. Tindakan Djoko diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar. Sementara tindakan Rendra membuat kita hari ini menikmati demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Sungguh, siapa pun yang tahu bahwa puisi ”Paman Doblang” akan membayangkan kengerian yang dialami Rendra selama dipenjara di Guntur. Pada bait berikutnya, Rendra menulis, ”Aku dipeluk oleh wibawa tak berbentuk/tidak berupa/tidak bernama.” Kengerian Guntur menjadi perlambang otoritarianisme penguasa saat itu. Rendra dan juga mereka yang dituduh sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia setelah peristiwa G30S tahun 1965 pernah mengalami kengerian itu.
Tetapi, tentu jangan membayangkan kondisi rutan Guntur saat Rendra atau mereka yang dituduh komunis ditahan dengan saat ini. Sebagian bangunan dan lahan di kompleks Instalasi Tahanan Militer, Pomdam Jaya, Guntur, ini dipinjam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rutan Guntur memang tak jauh letaknya dari KPK, hanya berjarak sekitar 3 kilometer. Kapasitas dan kondisi rutan yang berada di Gedung KPK itu tak mungkin menampung semua tersangka kasus korupsi yang disidik lembaga ini. Terlebih, KPK belum memiliki bangunan baru. Maka, bekerja sama dengan TNI, KPK pun meminjam-pakai lahan dan bangunan di Guntur. KPK merenovasi sel dan bangunan rutan sesuai standar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.
Masih terasa
Tetapi, tetap saja bekas kengerian itu masih terasa. Kompas mencoba menyambangi rutan Guntur kemarin, sehari setelah Djoko ditahan. Sore itu, di pintu samping kompleks Pomdam Jaya yang berada persis di Jalan Guntur, Manggarai, terlihat dua perempuan tengah menghentikan bajaj. Mereka baru saja keluar dari kompleks Pomdam Jaya.
Tanpa disadari, kedua perempuan itu menghentikan bajaj di tengah gerbang masuk. Tak pelak, suara menggelegar keluar dari pos jaga yang berada persis di samping kiri gerbang. ”Jangan di situ, majukan dulu bajajnya,” teriak seorang polisi militer berpangkat sersan. Memang, itu sebuah ksatrian, sebuah kompleks militer.
Bagaimanapun, seperti kata Komandan Pomdam Jaya Kolonel (CPM) Dedy Iswanto, saat wartawan diberi kesempatan melihat langsung dua buah sel tahanan yang telah direnovasi KPK, rutan Guntur memang bisa memberi efek psikologis bagi siapa pun yang ditahan di situ. Inilah kali pertama seorang dengan pangkat bintang dua (inspektur jenderal) ditahan di Guntur. Dalam sejarahnya, pangkat paling tinggi yang pernah dijebloskan ke Guntur hanya seorang kolonel.
Selasa sore, seorang penjaga sel yang ditempati tersangka KPK bertutur, kondisi Djoko layaknya orang yang ditahan. Apakah raut mukanya menampakkan kondisi tertekan? ”Ya standarlah itu,” ujar penjaga itu.
Hari itu hanya penasihat hukum yang mengunjungi Djoko di Guntur. Keluarga belum diperkenankan berkunjung karena jatah waktu kunjungan hanya hari Senin dan Kamis. Dion Pongkor, salah satu pengacara Djoko, saat ditanya apakah kliennya merasa tertekan ditempatkan di Guntur, hanya menjawab, ”Tidak terlalu.”
Djoko beruntung ditahan di Guntur di masa penguasa tak lagi represif. Bayangkan bait puisi ”Paman Doblang” yang ditulis Rendra ini bila dialami Djoko. ”Ketika haus aku minum dari kaleng karatan/Sambil bersila aku mengharungi waktu/lepas dari jam, hari, dan bulan.”
http://nasional.kompas.com/read/2012...campaign=Khlwp
Paman Doblang paman DoblangMereka masukkan kamu kedalam sel yang gelapTanpa lampu tanpa lubang cahayaOh pengap
Ada hawa tak ada angkasa ( terkucil )Temanmu beratus ratus nyamuk semata ( terkunci )Tak tahu kapan pintu akan terbukaKamu tak tahu dimana berada
Paman Doblang paman DoblangApa katamu?
( ...Ketika haus aku minum air dari kaleng karatanSambil bersila aku mengarungi waktuLepas dari jam, hari dan bulan Aku dipeluk oleh wibawa... )
Tidak berbentuk, tidak berupa, tidak bernamaAku istirahat disiniTenaga gaib memupuk jiwaku
Paman Doblang paman DoblangDi setiap jalan menghadang mastodon dan srigalaKamu terkurung dalam lingkaranPara pangeran meludahi kamu dari kereta kencana
Kaki kamu dirantai kebatang karangKamu dikutuk dan disalahkan tanpa pengadilanPaman Doblang paman DoblangBubur di piring timah didorong dengan kaki kedepanmu
Paman Doblang paman Doblang Apa katamu?
Kesadaran adalah matahariAdalah matahari adalah matahari
Kesabaran adalah bumiAdalah bumi adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawalaMenjadi cakrawala menjadi cakrawala
Dan perjuanganAdalah pelaksanaan kata kataAdalah pelaksanaan kata kata
Kesadaran adalah matahariAdalah matahari adalah matahari
Paman Doblang paman DoblangApa katamu?
Itulah bait-bait puisi WS Rendra berjudul ”Paman Doblang”. Kita tak pernah tahu, apakah mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo pernah membaca puisi karya Rendra itu. Pengalaman ditahan di Rumah Tahanan Polisi Daerah Militer Komando Daerah Militer Jakarta Raya di Guntur, Jakarta, menginspirasi Rendra menulis ”Paman Doblang”. Ya, Rendra pernah dijebloskan penguasa Orde Baru ke penjara Guntur, tempat Djoko kini ditahan.
Namun, apa yang dilakukan Rendra sehingga membuatnya ditahan di Guntur sangat jauh berbeda dengan yang diperbuat Djoko sehingga dia dijebloskan juga ke Guntur. Rendra membela mahasiswa yang menentang otoritarianisme Soeharto di tahun 1970-an.
Sebaliknya, Djoko ditahan di Guntur karena menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas. Tindakan Djoko diduga merugikan negara hingga Rp 100 miliar. Sementara tindakan Rendra membuat kita hari ini menikmati demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Sungguh, siapa pun yang tahu bahwa puisi ”Paman Doblang” akan membayangkan kengerian yang dialami Rendra selama dipenjara di Guntur. Pada bait berikutnya, Rendra menulis, ”Aku dipeluk oleh wibawa tak berbentuk/tidak berupa/tidak bernama.” Kengerian Guntur menjadi perlambang otoritarianisme penguasa saat itu. Rendra dan juga mereka yang dituduh sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia setelah peristiwa G30S tahun 1965 pernah mengalami kengerian itu.
Tetapi, tentu jangan membayangkan kondisi rutan Guntur saat Rendra atau mereka yang dituduh komunis ditahan dengan saat ini. Sebagian bangunan dan lahan di kompleks Instalasi Tahanan Militer, Pomdam Jaya, Guntur, ini dipinjam oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rutan Guntur memang tak jauh letaknya dari KPK, hanya berjarak sekitar 3 kilometer. Kapasitas dan kondisi rutan yang berada di Gedung KPK itu tak mungkin menampung semua tersangka kasus korupsi yang disidik lembaga ini. Terlebih, KPK belum memiliki bangunan baru. Maka, bekerja sama dengan TNI, KPK pun meminjam-pakai lahan dan bangunan di Guntur. KPK merenovasi sel dan bangunan rutan sesuai standar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM.
Masih terasa
Tetapi, tetap saja bekas kengerian itu masih terasa. Kompas mencoba menyambangi rutan Guntur kemarin, sehari setelah Djoko ditahan. Sore itu, di pintu samping kompleks Pomdam Jaya yang berada persis di Jalan Guntur, Manggarai, terlihat dua perempuan tengah menghentikan bajaj. Mereka baru saja keluar dari kompleks Pomdam Jaya.
Tanpa disadari, kedua perempuan itu menghentikan bajaj di tengah gerbang masuk. Tak pelak, suara menggelegar keluar dari pos jaga yang berada persis di samping kiri gerbang. ”Jangan di situ, majukan dulu bajajnya,” teriak seorang polisi militer berpangkat sersan. Memang, itu sebuah ksatrian, sebuah kompleks militer.
Bagaimanapun, seperti kata Komandan Pomdam Jaya Kolonel (CPM) Dedy Iswanto, saat wartawan diberi kesempatan melihat langsung dua buah sel tahanan yang telah direnovasi KPK, rutan Guntur memang bisa memberi efek psikologis bagi siapa pun yang ditahan di situ. Inilah kali pertama seorang dengan pangkat bintang dua (inspektur jenderal) ditahan di Guntur. Dalam sejarahnya, pangkat paling tinggi yang pernah dijebloskan ke Guntur hanya seorang kolonel.
Selasa sore, seorang penjaga sel yang ditempati tersangka KPK bertutur, kondisi Djoko layaknya orang yang ditahan. Apakah raut mukanya menampakkan kondisi tertekan? ”Ya standarlah itu,” ujar penjaga itu.
Hari itu hanya penasihat hukum yang mengunjungi Djoko di Guntur. Keluarga belum diperkenankan berkunjung karena jatah waktu kunjungan hanya hari Senin dan Kamis. Dion Pongkor, salah satu pengacara Djoko, saat ditanya apakah kliennya merasa tertekan ditempatkan di Guntur, hanya menjawab, ”Tidak terlalu.”
Djoko beruntung ditahan di Guntur di masa penguasa tak lagi represif. Bayangkan bait puisi ”Paman Doblang” yang ditulis Rendra ini bila dialami Djoko. ”Ketika haus aku minum dari kaleng karatan/Sambil bersila aku mengharungi waktu/lepas dari jam, hari, dan bulan.”
http://nasional.kompas.com/read/2012...campaign=Khlwp
0
3K
9
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan