ini post pertama ane gan, maap masih berantakan

PERTAMA menjajakkan kaki di kawasan ini,kabut langsung menghadang sehingga tak terlihat jelas candi yang terletak di lereng Gunung Lawu ini. Barulah setelah kabut pergi, bangunan Candi Cetho terlihat begitu indah dan mengagumkan.

Nuansa Bali pun terekam di area candi yang terletak di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Tepatnya pada ketinggian sekitar 1400 m atau di lereng Gunung Lawu sebelah barat.

Gapura puncak menuju tempat pemujaan (Foto: Fitryan)Keindahan candi tak hanya terlihat dari struktur bangunannya tapi juga pemandangan sekitar candi yang sejuk dan bersih. Berdiri di puncak teratas kemudian menatap pemandangan sekitar, hamparan pepohonan hijau terlihat begitu asri. Jalanan menanjak, menikung, dan berkelok dengan hamparan tanaman teh terlihat di sepanjang jalan menuju ke kawasan ini.

Arca kepala kura-kura (Foto: Fitryan)Candi Cetho berada ribuan meter di atas permukaan laut. Candi ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit yang masih digunakan untuk sembahyang dan acara-acara keagamaan umat Hindu yang tetap dirawat dengan baik. Letaknya terpencil, namun jika sudah berada di sana, terasa enggan untuk pulang karena udara yang sejuk dan pemandangannya yang indah membuat kita merasa nyaman.

Pelataran candi (Foto: Fitryan)Setelah naik beberapa anak tangga yang cukup melelahkan kaki, kita akan bertemu dengan gapura berupa sepasang arca penjaga.

Arca penjaga tersebut dinamakan Arca Nyai Gemang Arum. Lantas, memasuki gapura, kita akan mengetahui bahwa candi ini terdapat sembilan tingkatan berundak. Sebenarnya Candi Cetho memiliki tigabelas tingkatan berundak, namun hanya sembilan tingkatan berundak yang dipugar.

Di teras kedua merupakan tempat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, Leluhur Dusun Cetho. Pada teras ketiga terdapat susunan batu yang membentuk kura-kura raksasa yang konon sebagai lambang kejayaan Majapahit. Di depan kepala kura-kura terdapat simbol phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia, dari Suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 Masehi.

Tangga yang cukup tinggi (Foto: Fitryan)Di teras selanjutnya terdapat relief batu yang bercerita mengenai Sudhamala, hampir sama seperti relief yang terdapat di Candi Sukuh yang menceritakan kisah manusia tentang usaha untuk melepaskan diri dari malapetaka.

Media pemujaan yang masih digunakan (Foto: Fitryan)Di setiap teras terdapat dua pendapa yang mengapit jalan menuju ke bangunan utama. Di teras ketujuh Candi Cetho terdapat sepasang arca. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan arca Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.

Lalu, pada teras selanjutnya, di depan gapura terdapat arca Phallus (dinamakan Kuntobimo) di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Pemujaan terhadap arca Phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat.

Selanjutnya sebelum memasuki teras tertinggi terdapat jalan tembus ke arah kiri menuju ke Candi Kethek dan Puri Saraswati. Kalau terus berjalan menapaki tangga batu ke arah teras tertinggi, terdapat bangunan utama. Di teras inilah terdapat beberapa pendopo yang terbuat dari kayu. Bangunan pendopo ini bukan merupakan peninggalan sejarah karena dibuat pada beberapa tahun yang lalu.

Pendopo ini masih digunakan untuk beribadah bagi umat Hindu dan orang-orang yang beraliran Kejawen. Dan, bangunan utama Candi Cetho hampir mirip dengan gapura masuk Candi Sukuh dengan bagian depan berbentuk trapesium. Konon tempat ini memiliki mitos yang sama dengan Candi Sukuh yaitu untuk menguji keperawanan seorang gadis. Ingin membuktikan? Yuk, ke Candi Cetho!