- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Hentikan 10 Kebusukan Profesi Jurnalistik!


TS
saifam1987
Hentikan 10 Kebusukan Profesi Jurnalistik!
Spoiler for Kebusukan #1:
Perhatian semua wartawan dan wartawati: berhentilah mengutip "sumber yang tak mau disebutkan namanya". Berhentilah dari kebiasaan membiarkan sebuah berita dimanfaatkan sebagai sarana provokasi politik dari mereka-mereka yang punya kepentingan sempit. Berhentilah memburu "bocoran". Berhentilah mengutip kutipan "sebuah sumber" pemberitaan kawan lain. Berhentilah berspekulasi, tak berkesimpulan, dan mengosipkan kabar-kabar angin. Hanya tulislah, cetaklah, dan siarkanlah materi-materi pemberitaan yang bisa diverifikasi oleh sang wartawan secara faktual. Selebihnya, stop! Buang saja ke tempat sampah!
Spoiler for Kebusukan #2:
Berhentilah berlagak jadi pesohor (selebritis), badut dan kaki tangan para kapitalis. Berhentilah berlagak jadi pakar di acara wicara (talk show) TV untuk hal-hal yang tak ada hubungannya dengan pemberitaan, dan cuma ingin menyombongkan pengetahuan. Berhentilah menerima undangan dari Istana Negara, kantor menteri, gubernur, bupati, atau dari mana saja, yang pasti akan menyuguhkan makan siang atau makan malam yang mewah, tapi tak ada cukup informasi penting dan berharga yang bisa diberitakan dari sana. Berhentilah "menjilat pantat"para politisi dengan memuji-muji gagasan, sikap, dan pernyataan mereka. Berhentilah menerima "amplop" dari perusahaan manapun yang mengirimkan undangan peliputan. Tolaklah setiap ajakan para pejabat atau pengusaha untuk mengiringi kepergiannya dengan naik kapal mewah atau pesawat terbang dengan gratis plus semua akomodasi ditanggung. Pokoknya, hentikan!
Spoiler for Kebusukan #3:
Berhentilah berpuas diri dan menyombongkan hasil kerja mu! Jangan pernah berhenti "mencari" dan menjadi lebih baik terus menerus. Periksa, dan periksa sekali lagi apakah apa yang kita tulis/siarkan adalah sebuah berita yang penting dan menarik! Periksa, dan periksa sekali lagi apakah anda telah memperoleh kutipan langsung yang "kuat" dari narasumber, kisah yang faktual, lengkap, sahih, dan menarik! Berhentilah menuliskan dan menyiarkan omong kosong! Berhentilah berbual!
\
Spoiler for Kebusukan #4:
Kebusukan ini lebih ditudingkan kepada para bos pengelola media massa. Berhentilah bermuka dua: mencaci praktik-praktik KKN, tapi tetap nepotis. Buktikan bahwa prestasi dan kapasitas profesional adalah alat ukur memperkerjakan seorang wartawan. Berhenti merekrut "kawan-kawan" dan sanak saudara sendiri! Berikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk membangun karir profesional di dunia jurnalistik! Hentilah sikap rasis, seksis, dan rasialis dalam memilih pekerja. Kalau media massa ramai berteriak-teriak soal keadilan, buktilah dulu di tubuh perusahaan sendiri! Berhentilah munafik!
Spoiler for Kebusukan #5:
Berhentilah merasa paling benar! Berhentilah menabur amunisi bagi mereka yang siap saat siap menyulutkan amarahnya secara destruktif! Berhentilah mengorek-ngorek kebusukan orang lain, sekadar untuk kepuasan individual! Berhentilah menjadi penuduh dan pemfitnah! Bukalah telinga pada banyak teriakan dan hujatan orang soal betapa tidak berimbangnya pemberitaan pers. Adalah sepantasnya kita bertepuk tangan dan mengangkat topi pada hal-hal mulia yang sungguh terjadi di depan mata.
Spoiler for Kebusukan #6:
Berhentilah jadi penakut! Bersainglah! Kritiklah pemberitaan media lain, kritiklah organisasi wartawan lain, kritiklah sesama wartawan! Sungguh membosankan setiap hari membaca lebih dari separuh berita koran-koran sama saja isinya: tentang hal yang sama dan datang dari sumber yang sama. Kritik bukanlah makian dan cemooh. Dan, saling kritik secara adalah sarana bersaing yang ampuh hanya bila dilakukan antara media-media yang setara. Misalnya, tak ada gunanya KO**AS mengkritik pemberitaan PosKota atau Sinar Pagi yang memang dari sono-nya punya kualitas jauh berbeda. Tapi bayangkan RE***LIKA mengupas kelakuan dan kinerja SU**A PEM***UAN secara reguler.
Spoiler for Kebusukan #7:
Kebusukan yang satu ini milik para pemimpin redaksi, pemimpin perusahaan, pemimpin umum, dan manajer koran, majalah, radio, TV, dan situs berita. Berhentilah berpikir untuk melulu mengakali soal tingginya biaya produksi dan sibuk mencari sensasi untuk meroketkan oplah, rating, dan unique visitors! Berhentilah memeras para wartawan dengan terus menggaji mereka rendah! Berhentilah mengeksploitasi para mahasiswa magang yang mau jungkir balik tanpa dibayar! Ya, kalian memang harus mencari untung dan mengumpulkan laba bagi para pemegang saham, tapi kelakuan kalian memangkas biaya produksi tanpa memperdulikan persoalan kualitas profesional bukan cuma akan membusukkan perusahaan secara perlahan...dan sebuah petakan di sudut neraka yang paling panas telah disiapkan bagi kalian-kalian yang paling sukses bekerja.
Spoiler for Kebusukan #8:
Kebusukan ini masih soal para petinggi perusahaan media massa: berhentilah jadi banci dan pemalas! Jangan sekali-kali melempar semua tanggung jawab kepada anak buah, sementara anda sendiri tak pernah nonggol di kantor --sibuk dengan ngobyek sendiri-sendiri. Berperanlah sebagai "penjaga gawang" yang memastikan standar etika dan profesionalisme yang tinggi dipraktikkan oleh anak buah anda. Anda ditunjuk untuk duduk di posisi itu bukan agar bisa berleha-leha, jadi mulailah bertindak selayaknya seorang profesional sejati.
Spoiler for Kebusukan #9:
Ini masih untuk para bos media: berhentilah menyalahkan kampus atau sekolah jurnalistik! Sudah terlalu sering terdengar para bos melemparkan kesalahan buruknya sumber daya manusia yang mereka miliki kepada kampus. Menurut mereka, kampus-kampus yang ada sekarang tidak bermutu sebab para alumnus selalu tidak siap pakai. Tapi jahanamnya, mereka pasti ogah merogoh koceknya untuk membantu mendanai penelitian atau pengembangan perpustakaan kampus misalnya. Singkatnya, belagu! Mau enaknya aja lu!
Spoiler for Kebusukan #10:
Kesembilan "kebusukan" di atas memang lebih banyak ditudingkan bagi para wartawan yang setiap harinya bergelut dengan produksi pemberitaan. Semoga saja sekian banyak "berhentilah" itu ada gunanya untuk memperbaiki kinerja dan profesionalitasnya. Tapi semua itu sepertinya mesti juga dimulai dari kampus, sekolah-sekolah jurnalistik. Entah benar-benar dungu atau sebegitu mengisolasi dirinya dari kenyataan di luar pagar kampus, para pengajar jurnalistik lebih banyak bersibuk sendiri dengan menghafal teori-teori lama untuk dikhotbahkannya di muka kelas. Berhentilah omong kosong dan berkepala kosong! Sedari kampus setiap mahasiswa jurnalistik mestinya mempersenjatai dirinya dengan gagasan-gagasan, standar-standar, prinsip-prinsip, dan etika untuk berhadapan dengan dunia nyatanya nanti di luar pagar kampus. Itu artinya, berhentilah mengajarkan kurikulum yang sudah "busuk", sudah terlalu basi ketimbang perkembangan permasalahan dan tantangan dunia profesional yang akan dimasuki para mahasiswa nantinya! Jawablah! Apa yang bisa kampus lakukan untuk menyelamatkan masa depan profesi jurnalistik yang tengah meradang membusuk ini?! Berhentilah berdiam diri! Aktif dan lebih berlibatlah, atau kalian harus bersedia turut memikul dosa atas nasib profesi jurnalistik yang terus membusuk.
Itulah 10 "kebusukan" profesi jurnalistik. Sekarang persoalannya: siapa yang maju ke muka dan jadi orang pertama yang memegang sapu dan sikat baja untuk menyingkirkan semua kebusukan itu? Kamu...? Kamu...? Atau...kamu?
Saya sendiri sudah lelah jadi bagian dari kebusukan-kebusukan itu, dan telah memutuskan untuk menutup buku pada profesi jurnalistik.
0
4K
Kutip
49
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan