Kaskus

News

asephawariAvatar border
TS
asephawari
Kecemasan Yayat Supriatna yang bikin Gemas (Ingin Jokowi seperti Stuityoso)
Jokowi bikin cemas karena banyak umbar janji

Menurut pakar tata ruang Yayat Supriatna, gaya Jokowi kerap mengumbar janji saat blusukan menimbulkan kecemasan. "Yang dikhawatirkan nanti, apa yang dijanjikan itu tidak terprogram dalam APBD dan tidak terealisir."

Berikut penuturan Yayat kepada Islahuddin dan Muhammad Taufik dari merdeka.com menjelang siaran sebagai pembicara di ruang tunggu stasiun televisi Jak TV, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 52-53 SCBD, Jakarta Selatan, Selasa (27/11) malam.

Sampai saat ini, apakah gaya kepemimpinan Jokowi sekadar pencitraan?

Gaya kepemimpinan Jokowi mengedepankan kultur. Dia datang dan bilang, "Ini lho, saya mau mendengar, meng-wong-ke, melihat, memperhatikan." Sebelumnya banyak juga dulu gubernur-gubernur datang dengan blusukan seperti itu. Bang Yos, Foke juga turun, tapi mungkin media tidak meliput atau gaya blusukannya berbeda. Kalau yang dulu kaku, sangat formal sekali.

Tentang pencitraan tadi adalah bagian dari skenario. Pemimpin membutuhkan pencitraan. Ini juga terkait dengan tema kampanye. Jokowi berjanji kalau terpilih, dia akan tujuh jam di lapangan dan satu jam di kantor. Itu ingin dibuktikan. Orang menunggu, apakah benar apa yang dia katakan. Jokowi juga sering katakan, pemimpin itu harus banyak di lapangan dan dia ingin membuktikan itu. Dia mengibaratkan seperti jenderal langsung turun ke lapangan.

Pertanyaannya kemudian, di mana anak buahnya? Beliau kelihatan sekali berjalan sendiri. Memang itu benar yang dilakukan untuk mengenal wilayah, memahami masalah, mengenal warga, tapi hal itu sudah dilakukan pada masa kampanye, blusukan juga. Sekarang ini blusukan tahap dua, tiga, tahap berapa ini? Kemudian yang ditunggu orang, apa dari hasil dari blusukan ini? Itu yang ditunggu.

Jokowi banyak umbar janji saat blusukan, bukankah itu bisa menjadi senjata makan tuan buat dia?

Ini menjadi kekhawatiran kita, karena kalau beliau ditanya ada masalah sangat situasional. Berdasarkan kasus per kasus. Padahal untuk menata kota harus pendekatan program. Bisa setahun, dua, tiga tahun dan ada kajian, ada pendekatannya. Ini kanbanyak program-program dadakan muncul.

Nanti kalau ditanya ada tidak dalam programnya dan dalam pencanangan, dalam anggarannya nanti. Yang dikhawatirkan nanti, apa yang dijanjikan itu tidak terprogram dalam APBD dan tidak terealisir.

Bukankah dengan cara Jokowi itu, hasilnya akan lebih baik?

Jokowi boleh di depan seperti itu, tapi di belakangnya siapa tim pemikirnya. Gayanya harusnya dulu seperti Bang Yos yang mengatakan, "Aku ini jenderal bukan gubernur." Tapi karena memimpin kota ini dia didampingi oleh staf ahli yang membisikkan, termasuk untuk busway itu. Itu juga staf ahli yang memberikan pandangan sebagai satu solusi.

Nah, pertanyaannya sekarang, pemimpinnya sudah memiliki pengalaman. Jokowi sudah memiliki pengalaman di Solo dengan segala karakteristiknya. Tapi Solo berbeda dengan Jakarta.

Kenapa Anda membandingkan Jokowi dengan Sutiyoso, bukan dengan Ali Sadikin?

Itu beda zamannya. Bang Ali dengan Bang Yos itu berbeda, demikian juga dengan Jokowi. Karakter Bang Ali berbeda dengan Pak Jokowi. Pak Jokowi humble, masih mudah nge-wong-ke, kalau Bang Ali itu tentara, agak keras, berani menempeleng kalau ada orang melakukan kesalahan, tapi tujuan untuk benar.

Jakarta dengan pola-pola kepemimpinan berbeda pasti akan menghasilkan yang berbeda juga. Yang kemarin mungkin sangat formal, yang ini sangat informal. Pertanyaannya, apakah yang didatangi ini mau berubah atau tidak?

Gubernur menginginkan perubahan, tapi warga Jakarta, jangan-jangan setiap ada musibah akan bilang, "Nunggu gubernur saja deh. Nanti dia datang ngasih solusi." Harusnya gubernur itu bisa mendorong inisiatif warga.

Bisa Anda contohkan inisiatif warga seperti apa?

Contohnya Jokowi pernah mengatakan akan membuat rumah kampung susun. Di mana lokasinya? Kalau warga jakarta sudah siap akan menawarkan. "Pak Gubernur, RT kami luas tanahnya sekian, kami sudah sepakat mengkonsolidasi lahan kami untuk menjadi rumah susun." Ada tidak yang berani mengambil inisiatif seperti itu atau berani tidak gubernur memberikan semacam kriteria. "Saya akan membantu warga di lokasi warga sudah siap."

Harusnya gubernur memancing seperti itu supaya masyarakat mengambil inisiatif. Yang terjadi sekarang, saya dengar-dengar, gubernur baru mewacanakan, di lapangan sudah ada yang mematok tanah. Dalam pengertian lain, kalau terjadi ganti rugi, mereka berharap mendapat uang kerahiman dan sebagainya. Mungkin ganti rugi tidak, karena itu mungkin di atas tanah negara.

Kenapa dengan usaha Jokowi turun ke bawah untuk langsung membantu masyarakat, selalu ada suara miring?

Begini, cara pendekatan yang dulu adalah formal, terstruktur. Berdasarkan aturan, pedoman, kajian, segala sesuatu harus terukur karena pendekatan kita pendekatan formal. Saya melihat apa yang dilakukan gubernur dengan langsung turun ke lapangan tidak mengikuti agenda besar. Coba Anda tanyakan kepada aparat di Pemda, tidak ada yang bisa memberikan. Gubernur tidak mau diatur oleh birokrasi, gubernur punya agenda sendiri.

Tapi agak membingungkan bagi aparat di bawahnya. Pertama begini, ini harusnya dibangun kekompakan antara Jokowi dan internal birokrasi. Harus diingat, birokrasi di Jakarta itu adalah ujung tombak dia. Birokrasi itulah yang menjalankan programnya. birokrasi itu yang melaksanakan di lapangan. Harusnya datangi birokrasi, yakinkan kepada mereka, "Walau saya pemimpin baru, Anda tidak setuju dengan saya, saya berikan kepada Anda, jaminan Anda nyaman dan harus bekerja bersungguh-sungguh."

Kalau tidak seperti itu, rasanya mungkin birokrasi rasanya tanda tanya. Seperti kasus, belum apa-apa sudah mau dipotong 25 persen anggaran Dinas Pekerjaan Umum. Dengan begitu, terkesan ada stigma, "Anda tukang korupsi. Anda tidak mampu merencanakan dengan cara baik, padahal punya dana besar."

Bukankah itu bentuk usaha perbaikan pada birokrasi dan dalam tayangan di youtube itu memang birokrasi ada yang tidak bisa menjelaskan programnya?

Betul, harusnya seperti itu, yang dibongkar adalah mentalitas. Ada mental blok di birokrasi itu. Mental blok itu, birokrasi yang selama ini dilayani, harusnya melayani, seperti apa yang dilakukan oleh gubernur.

Gubernur melakukan, turun langsung ke lapangan membuktikan, "Kalau saya pelayan masyarakat." Pertanyaannya, apakah semua orang bisa mengikuti gaya seperti itu.

Dengan kata lain, gubernur tidak percaya pada birokrasi?

Sekali-kali terapi kejut perlu untuk memberikan efek jera. Artinya yang selama ini dilakukan adalah ajakan untuk berubah. "Saya berubah, Anda juga berubah." Tapi kemudian, apakah perubahan itu bisa sekejap, tidak. Itu membutuhkan proses. Orang harus diyakinkan, nilai-nilai, petunjuk yang diberikan gubernur adalah cara terbaik untuk mengatasi masalah Jakarta. Kalau birokrasi dengan gaya seperti ini, maka tidak akan pernah berubah.

Apakah cara Jokowi dan Basuki dalam memperbaiki birokrasi selama ini adalah cara terbaik?

Perlu juga, memang harus pelan tapi pasti. Kalau terlalu keras, orang akan menolak. Yang dikhawatirkan orang, bila dihadapkan dengan perubahan adalah rasa cemas, ketidakpastian, "Saya bagaimana ke depan ini?" "Bagaimana saya merasa nyaman selama ini dan kolaborasi dengan pelaku investasi di luar sana bisa bekerja sama."

Apalagi kalau nanti beliau membuat transparansi, kemarin beliau sudah datang ke KPK. Sudah membuka anggaran secara terbuka. Ahok mengatakan kepala putih, ekor putih. Artinya selama ini mungkin mengatakan, "Kalau gubernurnya tidak bisa disogok, pakai apa kita supaya usaha lancar." Saya mengatakan pakai aturan. Sekarang bagaimana aturan itu dibuka transparan, ikuti aturan.

Jadi dulu pernah dia mengatakan kepada kelompok pengusaha tertentu ingin dialog. "Saya tidak akan berkompetisi dengan kalian untuk lomba-lomba kaya, saya hanya minta tiga, pertama, Anda bekerja benar, dua taati aturan, tiga bayar pajak dengan jujur. Saya tidak akan ganggu kalian."

Artinya dalam hal ini, itulah yang harus dibuka. Birokrasi di Jakarta selama ini tidak terbuka. Selalu punya kesempatan dalam kesempitan. Itulah mentalitas yang selama ini tidak kreatif dan inovatif yang harus dibongkar. Jadi saya berpikir, birokrasi harus kreatif, tapi dalam koridor peraturan. Sekali lagi saya katakan birokrasi itu adalah penjara besi, mereka diikat aturan, tidak bisa keluar sebebas itu. Tapi pertanyaannya, gubernurnya senang dengan gaya informal.

Biodata

Nama ; Yayat Supriyatna

Pendidikan:

S-1: FISIP, Universitas Pajajaran, Bandung (1989)

S-2: Teknik Planologi, ITB (1993)

Pekerjaan:

Dosen di Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti

Ketua Bidang Kajian dan Perencanaan, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

[fas]

Sumber
Diubah oleh asephawari 30-11-2012 08:11
0
6.8K
61
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan