Dear all Saudara Indonesia ku.
Terima kasih atas tanggapanya baik yang masuk lewat jalur pribadi maupun yang lewat jalur umum..
Dibawah ini saya tulis bagaimana saya mencari takdir saya.. mohon maaf karena saya bukan penulis bahasa saya mungkin tidak enak dicerna. Bahasa adalah salah satu kelemahan saya, Jangankan bahasa Inggris bahasa Indonesia saya saja amburadur, tapi ini tidak akan menjadi batu halangan untuk mencoba maju terus. dengan banyaknya kekurangan saya serta penyakit Psorisis yang saya derita membuat sekujur tubuh terkelupas saya terus melangkah kalau salah diperbaiki kalau benar dipertajam.. .
LOMPATAN KATA MENUJU MATAHARI
"Man must be equipped with the capacity to listen to and obey the ten thousand demands in the ten thousand situations with which life is confronting him." (1975, p. 120), Viktor Frankl's theory.
Dalam perjalan hidup ini kita sering menedengar, "Pasti ada hikmah di balik setiap kejadian" Ungkapan ini selalu kita dengar...
Dipinggiran danau yang tercipta dari kaldera runtuhan yang terbentuk dari letusan besar jauh sebelum terjadinya super vulcano Toba yang menjadi ukuran besarnya letusan gunung berapi didunia ini. Maninjau, 15 September 1958. Aku lahir di iringi dendang siraman mitraliur oleh Tentara Nasional Indonesia dari puncak Embun Pagi. Cincin yang melekat di jari pamanku lepas untuk membayar jasa bu bidan yang membantu kelahiranku. Keponakan pertama dan cucu pertama dirumah keluarga besar suku melayu dipasar Maninjau disambut gembira seisi rumah.
Setelah melepas cincinnya sang paman kembali lari kehutan karena desa palembayan dan Matur sudah diduduki Tentara pusat dan Maninjau hanya menunggu waktu saja. Itulah sekeping cerita nenekku pada saat saat kelahiranku. Suasana kacau akibat pemberontakan PRRI yang gagal ini tanpa kusadari menjadikan aku seorang single fighter dalam perang yang lain yang berjudul "kehidupan". PRRI boleh kalah karana salah memilih perang but I don't.
Setelah Perang saudara reda pada usia dua tahun aku dibawa merantau oleh Ibuku ke Meral Tanjung balai Karimun – Riau adalah tujuan kami. Ibu mulai berkarya sebagai guru Sekolah Taman Kanak kanak dengan modal Ijazah SGTK nya dan kemudian bertransformasi sebagai karyawan Bea dan Cukai. Pada saat aku ada kerjaan di Kuala Lumpur sepanjang bulan May 2009, aku sempatkan lari di long weekend ke Meral, Untuk kembali melihat rumah pertama yang kami tempati dulu. Sekolah Dasarku yang masih berdiri gagah konon kini muridnya hampir seribu orang, untuk ukuran kecamatan itu patut di acungin jempol. Bertemu satu dua orang teman lama semasa anak, kami bermain gasing,mengejar layang layang putus dan mencari kepiting di lobang lobang berlumpur.
Sekolah dasar perguruan Tjahaya milik masyarakat Tionghoa di Meral Tanjung Balai Karimun adalah tempat aku mulai belajar membaca dan berhitung dan berlanjut di Sekolah Dasar Negeri III disebuah kota tambang bouksit Kijang di pulau Bintan. SMP pun selesai disini lanjut SMA Negeri Tanjung Pinang dan menempuh garis finish di Bagan Siapi api Riau.
Aku Anak Indonesia
16 Agustus 1968 adalah hari sibuk pertama dalam hidupku, kala anak anak SD Tjahaya akan ikut tap tu berjalan bawa obor dimalam hari menuju Taman Makam Pahlawan di kota kecamatan Tg, Balai Karimun. Rombongan kami menaiki Bas (sebutan untuk bis bagi orang orang meral) yang dikemudikan oleh apek apek (cina separuh baya). Ditengah kegembiraan anak anak SD, lagu halo halo bandung, maju tak gentar, dari Sabang sampai Marauke berkumandang sepanjang jalan utama di Tanjung Balai Karimun, membakar jiwa jiwa kecil kami. sepatu yang digosok berkilat baju yang harus pakai kanji biar rapi dan saat bulgur yang jadi makanan sehari hari kami pun sudah seperti nasi. Kami anak Indonesia akan berjuang untuk berdiri tegak. Suasana tegang akibat konfrontasi dengan Malaysia sudah takterasa lagi.
Lubang lubang persembunyian disekolah yang dibuat untuk berlindung kala serine bergaung telah ditutup, rumah rumah yang dicat loreng masih kelihatan. Perang sesama alat negara, yang terjadi didepan rumah kami yang menyisakan banyak selonsong peluru sudah mulai hilang dari ingatan kami.
Halo halo bandung…terus berkumandang… , teriakan merdeka yang keluar dari suara suara kecil itu disambut meriah oleh para penonton disepanjang jalan yang kami lalui…menjadi Indonesia adalah sebuah kebanggaan tersendiri itulah cita cita kami. Bagiku sehari sebelum parayaan 17 Agustus adalah hari dimana aku melihat jauh kedalam diriku, seolah menagih janji si anak SD. Apakah aku lebih baik dari tahun lalu. Tentu sudah tidak lagi makan bulgur baju pun tak perlu kanji lagi. Inilah pertannyaan tahunan yang selalu hadir dalam diriku.
Halo Indonesia hari ini aku tidak lagi bernyanyi halo halo bandung. Aku sedang menyanyikan lagu asin keringatku, merah darahku dan putih tulangku seperti lagu Gombloh. Aku telah berdiri sama tinggi dengan mereka Indonesia. Terima kasih Sukarno dan Hatta, Suharto, Habibie, Gusdur, Mega dan Susilo berkat tuan dan nyonya sampai hari ini aku masih bisa menyebut diri Warga Negara Indonesia masih tetap bangga menenteng Passport hijau berlambang burung garuda.
Masa kanak kanakku kuhabiskan di Meral dibesarkan dalam pangkuan dan asuhan nenekku karena ayah dan ibuku bekerja. Nenek adalah orang yang paling berkesan di dalam hidupku. Ketegasan, kasih sayangnya, cerita cerita rutinnya menemani hari hari ku mengenal dunia tak ada hari tanpa dongeng mengantar tidurku. Nenek ku namanya Nuraini orang dikampung memanggilnya uncu Ani ada pula yang memanggilnya uwaik anduang. Ayah nenek adalah seorang mentri candu di Medan sampai saat ini aku pun tidak tahu apa tugas mentri candu zaman belanda itu. Lorong lorong di simpang limun, gang aman , sukaramai jalan bakti nenek hafal luar kepala karena medan dan sekitarnya adalah rantau beliau .
Kalau ada kesempatan pulang kampung nenek selalu membawaku ketempat sanak saudara dan mengenalkan ku pada mereka dan biasanya akan berakhir dengan kunjungan ke tanah perkuburan keluarga kami. Disini nenek akan bercerita banyak, layaknya dosen sejarah, ini pusara nenek betawi, ini pusara nenek Aceh. Ini pusara abo Medan dan yang itu rantaunya ka sidempuan, setiap pusara nenek hafal betul. Masing-masing orang dikenal dengan kemana dia merantau. Ternyata nenek moyangku adalah keluarga perantau sejak dari sononya, ada yang pulang dihari tua dan banyak pula yang memilih tidak pulang sampai akhir hayatnya.
Karena ga muat selengkapnya di sini gan>>>