- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Presiden Memberi "Grasi" kepada Mafia MIGAS


TS
KumanImut
Presiden Memberi "Grasi" kepada Mafia MIGAS
Begini Beritanya:
SUMBER
*Ada apa dengan Presiden kita, gayanya kaya Godfather aja.
Malah membela para Mafia.
Sejak awal pembubaran sampe sekarang banyak mafioso yang komen di media massa.
Semuanya berteriak seakan Indonesia akan kiamat kalo gak ada BPMIGAS.
Tapi baru kali ini ane nemu yang kebalikanya.
:jangan didelete ya Mod, nanti ane doain masuk sorga:
Quote:
Original Posted By Berita
Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Non-Litigasi Uji Materi UU No 22/2001tentang Migas ke Mahkamah Konstitusi,
Adhie Massardi, menilai Perpres No 95 Tahun 2012 merupakan `grasi` yang membebaskan orang-orang
BP Migas untuk terus menjalankan aksinya, dalam baju berbeda. "Gugatan kami atas
UU Migas (No 22/2001) yang dikabulkan MK RI adalah pasal yang memberikan kewenangan kenegaraan atas
pengelolaan minyak dan gas bumi kepada BP Migas, yang bisa langsung berhubungan dengan
pihak pebisnis swasta (asing maupun dalam negeri)," katanya di Jakarta, Minggu.
Padahal menurut konstitusi, migas harus dikelola oleh BUMN. Dengan ditarik ke Kementeriaan ESDM
(sesuai Perpres tsb),
maka subtansinya menjadi tidak berubah, malah cenderung makin kokoh dikuasai langsung negara, ujarnya.
Lebih lanjut Adhie menjelaskan putusan MK RI No 36/PUU-X/2012 ibarat vonis mati bagi terdakwa BP Migas
yang harus segera dieksekusi karena telah sekian lama melakukan kejahatan terhadap negara.
Sementara Perpres No 95 Tahun 2012 yang dikeluarkan Presiden Yudhoyono petang harinya,
merupakan `grasi` yang membebaskan (orang-orang) BP Migas untuk terus menjalankan aksinya,
dalam baju berbeda.
Adhie menilai, langkah Presiden yang langsung memayungi gerak-langkah (eks) BP Migas dengan Perpres itu,
menyalahi dua hal.Pertama, Presiden tidak memahami substansi masalah gugatan dan
keputusan MK tentang pembubaran BP Migas.Kedua, Presiden telah melakukan `abuse of power`, penyalahgunaan wewenang.
Dalam keputusannya, MK memang menyatakan, "Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dilaksanakan oleh pemerintah Cq kementerian terkait
sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut."
Menurut Adhie, konteks pernyataan MK itu harus dibaca sebagai mengawasi apa yang sudah dilakukan
BP Migas` dan bukan menjalankan fungsi kelanjutannya, seperti membuat kontrak-kontrak baru, dsb.
"Kalau toh mau begitu, Presiden wajib membicarakan langkah-langkahnya itu dengan parlemen.
Sebab yang merepresentasikan negara menurut konstitusi itu, eksekuif dan legislatif. Bukan pemerintah
semata. Ini yang membuat Presiden jadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam mengambil
kewenangan sepihak atas kelanjutan BP Migas yang dibubarkan," kata Adhie Korupsinya Harus Diusut
Menurut Adhie yang juga koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, seharusnya pemerintah dan parlemen
membubarkan dulu BP Migas. Dan sebelum tugas rutinnya dilanjutkan di bawah kementeriaan ESDM,
BP Migas diaudit terlebih dulu, baik kinerja maupun penggunaan keuangannya.
Sebab, menurut Adhie, selama ini,
BP Migas disinyalir menjadi sarang mafia minyak dan gas bumi di negeri ini.
"Selain mekanisme kontrak-kontrak karya dengan pihak asing yang tidak
transparan, penggunaan `cost recovery` juga banyak bermasalah," katanya.
Adhie melihat banyak hal yang misterius di BP Migas. Misalnya, biaya operasional BP Migas yang langsung
dikucurkan oleh Menkeu yang per tahun rata-rata Rp 1,2 triliun tidak jelas penggunaannya.
Selain itu, perpindahan kantor dari gedung Patra Jasa di Jl MT Haryono ke perkantoran super mewah
di Wisma Mulia di jalan yang sama, juga biaya iklan yang sangat besar, hanya untuk pencitraan BP Migas
guna melawan opini para penggugat UU Migas,
wajib diusut."Oleh sebab itu, Presiden SBY tidak bisa serta-merta memayungi dan
memindahkan kewenangan BP Migas tanpa persetujuan parlemen. Apalagi, menurut UU No 43/2009 Tentang
Kearsipan, Tanggung jawab penyelamatan arsip lembaga negara yang digabung dan/atau
dibubarkan, dilaksanakan oleh ANRI bersama dengan lembaga negara
yang bersangkutan sejak penggabungan dan/atau pembubaran ditetapkan (pasal 35 ayat 1)," kata Adhie.
Menurut Adhie, cara Presiden SBY dalam merespons pembubaran BP Migas memang seperti ketika
memberikan grasi kepada mafia narkoba Ola Meirika Franola, tanpa memahami persoalan dan konteksnya.
Akibatnya, kata Adhie, seperti juga Ola yang makin berani melakukan operasinya, meski dalam penjara,
para mafia migas pun tampaknya akan semakin merasa di atas angin setelah mendapat `grasi` dari Presiden Yudhoyono.
Namun Adhie menilai masih belum terlambat kalau gerakan masyarakat
madani meminta kepada DPR,
pemerintah dan BPK serta KPK untuk mengaudit kinerja dan keuangan BP Migas serta pimpinan dan para
stafnya yang mencurigakan. "Sebab, saya tidak yakin, apakah Presiden SBY dan kementeriaan ESDM
mau mengambil oper kejahatan korupsi yang selama ini terjadi di BP Migas. Sedang untuk (korupsi)
yang mereka lakukan sendiri saja, mereka menyangkal," katanya. (ar)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Non-Litigasi Uji Materi UU No 22/2001tentang Migas ke Mahkamah Konstitusi,
Adhie Massardi, menilai Perpres No 95 Tahun 2012 merupakan `grasi` yang membebaskan orang-orang
BP Migas untuk terus menjalankan aksinya, dalam baju berbeda. "Gugatan kami atas
UU Migas (No 22/2001) yang dikabulkan MK RI adalah pasal yang memberikan kewenangan kenegaraan atas
pengelolaan minyak dan gas bumi kepada BP Migas, yang bisa langsung berhubungan dengan
pihak pebisnis swasta (asing maupun dalam negeri)," katanya di Jakarta, Minggu.
Padahal menurut konstitusi, migas harus dikelola oleh BUMN. Dengan ditarik ke Kementeriaan ESDM
(sesuai Perpres tsb),
maka subtansinya menjadi tidak berubah, malah cenderung makin kokoh dikuasai langsung negara, ujarnya.
Lebih lanjut Adhie menjelaskan putusan MK RI No 36/PUU-X/2012 ibarat vonis mati bagi terdakwa BP Migas
yang harus segera dieksekusi karena telah sekian lama melakukan kejahatan terhadap negara.
Sementara Perpres No 95 Tahun 2012 yang dikeluarkan Presiden Yudhoyono petang harinya,
merupakan `grasi` yang membebaskan (orang-orang) BP Migas untuk terus menjalankan aksinya,
dalam baju berbeda.
Adhie menilai, langkah Presiden yang langsung memayungi gerak-langkah (eks) BP Migas dengan Perpres itu,
menyalahi dua hal.Pertama, Presiden tidak memahami substansi masalah gugatan dan
keputusan MK tentang pembubaran BP Migas.Kedua, Presiden telah melakukan `abuse of power`, penyalahgunaan wewenang.
Dalam keputusannya, MK memang menyatakan, "Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dilaksanakan oleh pemerintah Cq kementerian terkait
sampai diundangkannya undang-undang yang baru yang mengatur hal tersebut."
Menurut Adhie, konteks pernyataan MK itu harus dibaca sebagai mengawasi apa yang sudah dilakukan
BP Migas` dan bukan menjalankan fungsi kelanjutannya, seperti membuat kontrak-kontrak baru, dsb.
"Kalau toh mau begitu, Presiden wajib membicarakan langkah-langkahnya itu dengan parlemen.
Sebab yang merepresentasikan negara menurut konstitusi itu, eksekuif dan legislatif. Bukan pemerintah
semata. Ini yang membuat Presiden jadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam mengambil
kewenangan sepihak atas kelanjutan BP Migas yang dibubarkan," kata Adhie Korupsinya Harus Diusut
Menurut Adhie yang juga koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini, seharusnya pemerintah dan parlemen
membubarkan dulu BP Migas. Dan sebelum tugas rutinnya dilanjutkan di bawah kementeriaan ESDM,
BP Migas diaudit terlebih dulu, baik kinerja maupun penggunaan keuangannya.
Sebab, menurut Adhie, selama ini,
BP Migas disinyalir menjadi sarang mafia minyak dan gas bumi di negeri ini.
"Selain mekanisme kontrak-kontrak karya dengan pihak asing yang tidak
transparan, penggunaan `cost recovery` juga banyak bermasalah," katanya.
Adhie melihat banyak hal yang misterius di BP Migas. Misalnya, biaya operasional BP Migas yang langsung
dikucurkan oleh Menkeu yang per tahun rata-rata Rp 1,2 triliun tidak jelas penggunaannya.
Selain itu, perpindahan kantor dari gedung Patra Jasa di Jl MT Haryono ke perkantoran super mewah
di Wisma Mulia di jalan yang sama, juga biaya iklan yang sangat besar, hanya untuk pencitraan BP Migas
guna melawan opini para penggugat UU Migas,
wajib diusut."Oleh sebab itu, Presiden SBY tidak bisa serta-merta memayungi dan
memindahkan kewenangan BP Migas tanpa persetujuan parlemen. Apalagi, menurut UU No 43/2009 Tentang
Kearsipan, Tanggung jawab penyelamatan arsip lembaga negara yang digabung dan/atau
dibubarkan, dilaksanakan oleh ANRI bersama dengan lembaga negara
yang bersangkutan sejak penggabungan dan/atau pembubaran ditetapkan (pasal 35 ayat 1)," kata Adhie.
Menurut Adhie, cara Presiden SBY dalam merespons pembubaran BP Migas memang seperti ketika
memberikan grasi kepada mafia narkoba Ola Meirika Franola, tanpa memahami persoalan dan konteksnya.
Akibatnya, kata Adhie, seperti juga Ola yang makin berani melakukan operasinya, meski dalam penjara,
para mafia migas pun tampaknya akan semakin merasa di atas angin setelah mendapat `grasi` dari Presiden Yudhoyono.
Namun Adhie menilai masih belum terlambat kalau gerakan masyarakat
madani meminta kepada DPR,
pemerintah dan BPK serta KPK untuk mengaudit kinerja dan keuangan BP Migas serta pimpinan dan para
stafnya yang mencurigakan. "Sebab, saya tidak yakin, apakah Presiden SBY dan kementeriaan ESDM
mau mengambil oper kejahatan korupsi yang selama ini terjadi di BP Migas. Sedang untuk (korupsi)
yang mereka lakukan sendiri saja, mereka menyangkal," katanya. (ar)
SUMBER
*Ada apa dengan Presiden kita, gayanya kaya Godfather aja.
Malah membela para Mafia.
Sejak awal pembubaran sampe sekarang banyak mafioso yang komen di media massa.
Semuanya berteriak seakan Indonesia akan kiamat kalo gak ada BPMIGAS.
Tapi baru kali ini ane nemu yang kebalikanya.
:jangan didelete ya Mod, nanti ane doain masuk sorga:
0
3.2K
Kutip
35
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan