TS
undesco
AIshi(t)teru
Spoiler for :
Akhirnya android yang sudah kutunggu datang.
Sore itu, Mama pulang dengan sebuah kardus setinggi siswi SMA rata-rata yang dibawakan oleh seorang pria berseragam biru. Mereka berdua masuk dan pria itu meletakkan kotak kardus warna coklat itu ke pinggir ruang tamu.
Mama mengatakan sesuatu yang intinya berada di sekitar “Itu adalah prototipe pertama”; aku tidak terlalu yakin apa yang dikatakan Mama karena seluruh tubuhku terpusat pada sebuah film plastik transparan yang berada di bagian atas kotak itu.
Yang ada di baliknya adalah wajah seorang gadis yang tersandar di atas bantalan styrofoam. Kulitnya putih dan pipinya berlesung. Rambut sintetisnya yang berwarna coklat sebahu kelihatan halus dan lembut. Matanya terpejam, tapi aku yakin yang berada di baliknya adalah sepasang mata indah. Mungkin jika harus dideskripsikan dengan singkat, satu kata yang pas adalah “cantik”.
Untuk catatan: aku memang menunggu datangnya android ini, tapi bukan android ini yang kutunggu.
Mama adalah salah seorang periset utama di Roboti(n)c, sebuah perusahaan yang seperti namanya bergerak di bidang robotik. Ketika aku mendengar dari Mama bahwa mereka akan mengembangkan android berkecerdasan artifisial dengan emosi penuh, hatiku melompat-lompat. Bukan hanya sebuah robot dengan wajah dan tubuh mirip manusia, itu adalah kali pertama sebuah perusahaan berani mengembangkan robot dengan emosi.
Jadi sekali lagi: aku memang menunggu datangnya android ini, tapi bukan android seperti ini yang kutunggu.
Bukannya aku tidak senang; aku sangat senang, tapi ini terlalu... wajahnya terlalu...
“Li, Li, kenapa bengong? Ayo dibuka. Ayo dibuka. Ayo dibuka. Bukannya kamu sudah lama menunggu ini?”
Suara Mama mengembalikanku ke dunia nyata. Ketika aku melihat wajahnya, Mama sedang tersenyum.
“Ah, iya.”
Dengan tangan bergetar aku mulai membuka kardus itu dari bagian kanan. Bola-bola kecil dari styrofoam mulai bertumpahan ke lantai dari dalamnya.
Aku sudah membuka bagian depannya seluruhnya, dan sedang menunggu styrofoam yang menutupi tubuhnya jatuh. Bola-bola kecil itu berjatuhan, saling bergesekan dengan suara yang kadang menusuk telinga. Setelah beberapa saat, akhirnya semuanya sudah turun menjadi sebuah tumpukan di kakinya.
Dan tubuh di baliknya...telanjang.
Kulitnya putih dan kelihatan halus seperti wajahnya. Tulang selangkanya timbul di pundak dan pangkal lehernya. Dadanya...mungkin berukuran B. Perutnya langsing dengan bagian pinggul yang lebar. Paha mulus dan kaki jenjang. Tidak ada detail tertentudi dada dan selangkangannya, jadi dia masih bisa lolos ke dalam BD/DVD sebuah seri anime yang tayang di TV.
Imej itu terbakar ke otakku, atau mungkin aku menyempatkan diri untuk membakarnya.
“M-Ma, k-kenapa dia telanjang!?”
“Kenapa kau khawatir dengan itu? Dia itu robot. Dan dia juga belum dihidupkan, jadi dia tidak akan menamparmu walaupun kau melihatnya telanjang.”
“J-jadi kalau aku melihatnya telanjang setelah ini, dia akan menamparku?”
“Mungkin. Kalau kau begitu terganggunya dengan itu, ini pasangkan bajunya,” kata Mama sambil melemparkan sebuah kantung belanjaan dari toko merk ternama.
“Eeh, aku!?”
“Memangnya kenapa, sih? Sana pasang bajunya. Mama ganti baju dulu, habis itu biar kita hidupkan dia.”
Mama berjalan ke kamarnya, meninggalkanku sendiri—berdua di ruang tamu. Di tanganku sekantung baju, dan di depanku seorang gadis android telanjang yang berada di dalam kotak.
Karena aku tidak mungkin memakaikannya baju ketika masih di dalam kotak, aku memelu—mengangkatnya keluar. Beratnya mungkin sekitar 40-an kg.
Lalu aku mulai memasangkan sebuah blus putih dan mengancingkannya. Jantungku berdetak kencang saat tanganku berada sangat dekat dengan dadanya. Kemudian rok selutut warna biru. Tubuhnya bisa digerakkan dengan mudah seperti figur-figur heroine anime, jadi aku tidak terlalu kesulitan memasangnya.
Ketika aku menyelesaikannya dengan sebuah jaket tipis warna abu-abu, Mama kembali sambil memakai baju rumahannya.
“Sudah selesai? Oh, cantik! Selera Mama memang tidak main-main.” Mama tertawa, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil seukuran buku jari berwarna pink dari kantungnya. Mama menunjukkannya padaku dengan senyum dan berkata, “Kalau begitu, mari kita hidupkan dia. Semoga saja berhasil.”
Mama berjalan ke belakang android itu dan aku mengikutinya. Mama lalu menyibakkan rambut di bagian tengkuknya, ada sebuah lubang dengan ukuran yang sama dengan kotak yang dipegang Mama.
“Initiating boot sequence...”
Suaranya terdengar dingin dan mekanis, tidak seperti yang kuharapkan. Kami berdua kembali ke depannya.
Matanya berwarna coklat seperti hazelnut, tapi pandangannya masih terlihat kosong dan dingin.
“...80 percent...90 percent... Booting sequence completed. Please input the name for this machine. The name registered is the word or set of words following the audio recognition of ‘your name is’, so please say ‘your name is’ before inputting the name.”
“?”
“? Tunggu apa lagi? Ayo kasih dia nama.”
“Aku lagi? Kenapa tidak Mama saja?”
“Yah, prototipe ini juga dibawa ke sini untuk dites. Dan yang akan menjadi bidang pengetesan utamanya adalah interaksi dengan manusia, dalam hal ini kamu, Li. Jadi sudah sewajarnya ‘kan kalau kamu yang ngasi nama.”
“Eeh...”
Aku berpikir sejenak.
“Hm... Kalau begitu...” Aku berdeham sebelum melanjutkan. “Your name is Ai-chan.”
Setelah dua-tiga detik menunggu, Ai-chan berkata dengan suara mekanisnya lagi, “Name registered. Activating motion sensor...activated. Setting knowledge level...completed. Finalizing emotion calculation...”
Lalu dengan suara desing seperti mesin yang mati, Ai-chan menutup matanya.
“...Ma?”
“...Err, kita tunggu sebentar dulu. Kayanya bakal hidup, kayanya...”
“Memangnya belum dites di perusahaan, Ma?”
“Sudah, tapi pake kotak data yang lain. Apa mungkin kotak data yang ini ti—ah!”
Aku baru saja akan menanyakan kenapa, tapi ketika aku mengikuti arah pandangan Mama, aku segera menelan pertanyaanku.
Ai-chan sedang mengerjap-ngerjapkan matanya dan melihat sekelilingnya, lalu akhirnya berhenti di wajahku.
Matanya yang kali ini memiliki ruh di baliknya membakar wajahku.
“S-saya Ai-chan,” katanya sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Dan suaranya sekarang seperti seorang gadis biasa; suara mekanis dingin sebelumnya seperti hilang ditelan bumi.
“A-a-a-aku...”
“Dia Lily , dan aku ibunya, dan aku ibunya, dan aku ibunya.”
“Kenapa mesti diulang-ulang sih, Ma?”
“?”
“Yah, seperti yang sudah dikatakan Mama, namaku Lily. Liliana Thomson, kau boleh memanggilku Lily.”
Mungkin terdengar lancar, tapi sebenarnya aku sangat gugup.
“S-senang bertemu denganmu, Lily.”
Aku dan Ai-chan berjabat tangan, kali ini tangannya hangat.
...Rasanya aku pernah merasakan kehangatan yang persis dengan ini.
Ah, tentu saja. Mama.
Karena aku sendiri tidak pernah keluar rumah, praktis satu-satunya orang yang berinteraksi denganku adalah Mama. Setiap pagi aku selalu mengecup punggung tangan Mama, lalu memeluknya. Kehangatan yang selalu kurasakan tiap pagi itu—dan sore ketika Mama pulang—tidak pernah berubah, jadi sepertinya tubuhku telah mengingatnya.
Sekolah? Aku belajar di sekolah terbuka, jadi aku tidak perlu pergi ke sekolah secara fisik. Semua keperluan lain juga diantar ke rumah, jadi kecuali memang ada alasan yang benar-benar penting aku tidak pernah keluar rumah.
“Ai-chan, kau akan tidur bersama Lily di kamarnya, aku sudah menyiapkan semua keperluanmu.”
Mama lalu menyuruhku agar tetap berada di ruang tengah. Ada yang akan diberitahukan padaku katanya.
0
1.2K
Kutip
7
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan