Kaskus

News

User telah dihapusAvatar border
TS
User telah dihapus
Guru Besar FHUI Hikmahanto Pertanyakan Pembubaran BP Migas oleh MK
Jakarta - Bila menelaah secara cermat putusan MK yang menyatakan BP Migas inkonstitusional, menjadi pertanyaan apakah hal tersebut telah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemohon dalam permohonan uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).

Permohonan uji materi terhadap UU Migas oleh pemohon terfokus pada tiga hal.

Pertama memohon MK untuk membatalkan ketentuan tentang Kontrak Kerja Sama (KKS) atau kontrak lainnya terkait dengan Migas. Alasannya karena Negara yang berkontrak.

Menurut pemohon seharusnya bukan negara yang berkontrak, tetapi Badan Usaha Milik Negara meskipun BUMN yang berkontrak ini tidak harus tunggal (satu BUMN saja).

Kedua menyatakan batal ketentuan yang mengatur keberadaan pelaku yang melakukan kegiatan Migas di Hulu dan Hilir, yaitu BP Migas, Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap.

Pemohon menghendaki agar disektor Migas, BUMN yang mendapat kuasa dari negara sebagaimana diatur dalam UU Migas lama yaitu Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 44/Prp/1960. Tentu yang dimaksud adalah Pertamina sebagaiman diatur dalam UU 8 Tahun 1971.

Selanjutnya pemohon menghendaki agar BUMN diberi prioritas dalam pengelolaan sektor Migas mengingat para kontraktor saat ini lebih banyak berasal dari luar negeri.

Permohonan terakhir dari pemohon adalah menyatakan batal pasal yang mengatur kewajiban pemerintah untuk memberitahu KKS yang telah ditandatangani kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Para pemohon menginginkan agar KKS harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR, bukan sekedar memberitahu setelah ditandatangani.

Atas permohonan ini MK mengabulkan permohonan kedua.

Hanya saja MK sepertinya tidak merespons esensi dari permohonan kedua dari pemohon yaitu agar pelaku usaha disektor Migas dilakukan oleh BUMN dan tidak didominasi oleh pelaku usaha asing.

Memang betul dalam permohonan pemohon, BP Migas diminta untuk dinyatakan tidak konstitusional. Pemohon sepertinya menghendaki Pertamina diberi kewenangan seperti sebelum UU Migas.

Padahal Pertamina saat ini berbeda dengan Pertamina masa sebelum UU Migas. Pertamina saat ini merupakan sebuah perseroan terbatas yang dimiliki oleh negara dan masuk katagori BUMN.

Sementara Pertamina sebelum masa UU Migas merupkan perusahaan negara yang khusus diatur dalam UU yaitu UU Nomor 8 Tahun 1971.

Disini kekeliruan pemohon yang meminta agar BP Migas digantikan dengan BUMN. Bila BUMN yang dikehendaki maka BUMN tersebut tunduk pada UU BUMN, bahkan bila dalam bentuk perseroan tunduk pada UU Perseroan Terbatas.

Pertamina berdasarkan UU 8/1971 bukanlan perusahaan negara yang tunduk pada UU No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Perusahaan Negara yang kemudian pada tahun 2003 diganti dengan UU BUMN.

Pertamina merupakan perusahaan negara yang khusus dan istimewa.

Disamping itu agar peran BP Migas tergantikan maka pemohon mengargurmentaskan bahwa BP Migas tidak efisien dan dapat melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

Salah satu contohnya terkait dengan masalah cost recovery dari perusahaan asing dengan mudah disetujui.

Bila mencermati putusan MK, MK sebenarnya tidak mengabulkan permohonan kedua dari pemohon.

MK justru membuat penilaian sendiri bahwa keberadaan BP Migas tidak konstitusional. Sebagai alasannya adalah BP Migas tidak efisien dan memiliki potensi untuk menyalahgunakan kekuasaan.

Padahal soal tidak efisien dan potensi penyalahgunaan kekuasaan, lembaga yang berwenang menangani adalah Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Disini terjadi ketidak-konsistensian antara permohonan dari pemohon dengan putusan yang dibuat oleh MK.

Pembubaran BP Migas oleh MK justru bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh pemohon.

Kedudukan negara oleh MK, dalam istilah pemohon, telah “sangat direndahkan martabatnya.” Ini mengingat sekarang negara secara langsung yang berkontrak dengan kontraktor.

Bila terjadi sengketa, baik di pengadilan maupun arbitrase, maka negara yang menjadi pihak dan berhadapan dengan kontraktor.

Padahal yang dikehendaki oleh pemohon adalah negara ataupun BP Migas sebagai pihak yang mewakili negara tidak berkontrak langsung dengan kontraktor.

Pemohon menginginkan agar BUMN-lah yang berkontrak dengan kontraktor dalam KKS.

Bila ditelaah lebih jauh permohonan pemohon juga janggal. Janggal karena bila KKS dilakukan oleh BUMN dengan kontraktor maka menjadi pertanyaan, mengapa DPR harus memberikan persetujuan dalam proses tersebut sebagaimana dimohonkan dalam permohonan ketiga pemohon?

Bukankan entitas BUMN dan entitas DPR merupakan dua entitas yang berada dalam lapangan hukum yang berbeda? Satu perdata dan satu lagi ketatanegaraan.

[url]http://finance.detik..com/read/2012/11/18/170251/2093684/1034/guru-besar-fhui-hikmahanto-pertanyakan-pembubaran-bp-migas-oleh-mk[/url]

minta tempe dikasihnya kripik tempe emoticon-Big Grin bagi din dkk yg penting dikabulkan n bonus BP Migas dibubarkan, jangan-jangan malah lupa apa yg dituntut emoticon-Embarrassment
0
1.1K
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan